Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 November 2007

Kepada Para Penggali Kuburku

Oleh Ag Wahyu

Sore tadi kutemukan diriku teronggok di keranda. Dan membenam
di tanah-tanah. Ruang yang seliang dan basah. Hanya cukup untukku.
Lain waktu kubur aku di udara! Tapi tunggu hingga ia bertepi,
tak perlu menggali.

Sore tadi kudapati matahari mengintai biji-biji bumi. Yang tumbuh
di atas bangkai-bangkai.

Aku telah berpesan kepada para penggali kubur: jangan panjatkan
doa-doa untukku!

Bintang

Oleh Catur Wibawa

Kalau malam ini datang, dhik
Segera pejamkan matamu
Karena aku pasti datang ke dalam mimpimu
Dengan dua tiga bintang seperti pintamu
Malam itu.

Satu harapanku:
Bintang itu akan berbinar di malam-malam hidupmu
Di kesunyian tanpa tepian yang mungkin menunggumu.

Pertemuan

Oleh Catur Wibawa

Aku dan masa kecilku berseteru
Kami jarang bertemu

Masa kecilku suka sembunyi di balik pintu
Tapi, malam-malam menjelang tidurku
Aku sering mendengar ia menangis tersedu-sedu

Lama-lama, aku rindu juga padanya
Dan rindu terus menyerangku
Sampai aku terpaksa berjanji untuk bunuh diri jika rasa rindu ini
tak segera dipenuhi

Berulang kuketuk dan kubujuk
Sebelum daun pintu itu akhirnya terbuka
dan terempas debu-debu yang membikinnya tampak tua

Aku melihat masa kecilku tersenyum. Polos
Dan sekalian manja.
(terus terang itu yang paling kusuka darinya)
tapi matanya tak bisa menyembunyikan pedih luka yang seperti
telah ditabung lama sejak ia belum bernama.
(dan luka ini yang paling kubenci darinya)

kami saling pandang. Membiarkan mata kami
berbicara dengan bahasa yang tak dimengerti kata-kata.
lalu serentak kami berangkulan.
Membiarkan jarak itu luluh oleh kerinduan
Sekarang telah kami ikat janji untuk saling setia.

Ia mulai memahamiku.
Selama ini ia bukannya benci.
Ia cuma tak tega melihat aku tak bisa lagi bahagia.
Seperti dulu waktu masih menjadi dirinya.

Aku pun diam-diam mencintai luka-lukanya
Karena yakin bahwa luka-luka itu akan menjadi makna yang
membuat adaku sempurna

(Okt 2003)

will you keep waitin` at the bus stop?

Agus Sulistyo

the freezing wind blew
nothin’ new in my blood tissue flew
even a poured beer or whisky
over the bulb hung on a black coffe ceiiling
shakin`
an empty glass nothin` fills in

and the night fell deep blue
finding a foot step along the highway
as a clue
the shadow of your due

magelang, 2004

a culprit crowned stars

Agus Sulistyo

a culprit crowned stars

thus clock tinkles
the bridge
a train passes
across my ears

zzzzzzzzzzzzzzzzz:
it sound to be a puzzle

hear you
a little angel sings me
a fear?

“let me see
some clues
curtained you said

and
your dues
shadow
my foot steps behind
the tower’s way
to the stars

jogja, dec 24th, 2004

Kehidupan

Oleh Tina

Bagai dunia berpancar sinar
Sejuta misteri dikau lalui
Walau gelap gulita
Cahaya hati selalu terang

Misteri ….
Seindah dunia masa lalu
Terikat emosi yang membara
Bagai batu api yang panas

Kecupan manis, bagaikan bunga yang mekar
Seperti malam yang suram
Walau hati ini tersiksa, selalu ditahan olehnya
Khayalan dunia bagai batu yang terbagi-bagi

Bagai tirai bambu yang terkat kokoh
Tak dapat tertahan rasa duka ini
Walaupun anda menangis
Tetaplah luka yang ada

MEMBUAT PUISI

Oleh Cindy Hapsari

Barusan ada permainan yang menyengsarakan. Gadis kecil bilang kupi dan kacang tak cukup untuk. Gambar-gambar terlalu sederhana buat. Walau surealis sekalipun;

Lalu gadis kecil mengelak. Rambutnya adalah puisi. Yang tidak boleh terkepang. Nanti rumit kalau kamu mau makan…Gadis kecil mengambil ember. Menyirami pagar tanpa tanaman. Dan bunga-bunga di awan. Senja yang mekar berwarna sejuta…

Aku buat puisi mama..
Gadis kecil menarik rok ibunya yang si daun pintu, Aku buat kata tak berpilin mama… Gadis kecil bergelayut di ayahnya, di mur batas ikat

Mereka adalah tiga yang berkumpul .
Jika dahulu disebut tiga menguak takdir. Gadis kecil, ayah dan ibunya.
Pohon-buah dan akarnya. Nama-bentuk-juga isinya. Tiga ikat, tiga dirangkai. Tiga disatu limas memuncak. Mereka adalah para pekerja. Yang menggoreng hari dengan wijen-wijen pengalaman-alam. Dan wajannya dendang hiburan.

Sudah digoreng anakku? Tanya si ibu. Sudah dijemur sebelumnya; jawab si gadis kecil. Ia garing , renyah dan asin sedikit. Sudah disabuni anakku? Si ayah ikut nimbrung. Kemarin sudah direndam dalam mesin cuci dan diperas 7 kali.

Baiklah. Mereka sama-sama tertawa. Tiga merangkai satu dikepal. Bersama. Sampai puyuh angin datang menghadang.

Ditepuk bangga tengkuk gadis kecil. Ia masih bergelayut di daun pintu. Terkikik. Ayo mari makan, ini puisi goreng untukmu…

September 1 2004

Oleh Cindy Hapsari

Ada sebuah kidung tentang manusia yang berjalan. Ia menapak senja
tiada habis dimakan bulan. Berkata ia pada hatinya sendiri. Di manakah
bunda meletakkan rahimnya? Sambil berkata, air mata berlinan mencari
muara kepedihan. (Biar tampung semua terangkat pada surga). (Dan)
sambil menoleh dia lihat kisah yang berjajar di bawah pohon bambu.
(Dan sambil menoleh dia lihat nisan yang berjajar di bawah peraduan
kamboja). Ia menatap sendu dan berkata adakah waktu punya ruang
yang sesungguhnya bisa memberi makan semua. Sang manusia (pejalan)
meniti matahari yang kemerahan, sama seperti darah yang jadi saksi
korban kehidupan. Ia berjalan. Ia menatap. Ia menangis.
Lalu, begitu.

31 agustus 2004
pada kisah perjalanan