Jumat, 23 November 2007

Merayapi Dunia melalui Kerja Kebudayaan

Oleh Heribertus Sulis

“Ngomong-ngomong soal organisasi dan gerakan, menurut saya, gerakan politik itu sebenarnya tidak efisien, yang lebih efisien adalah gerakan kebudayaan. Tidak ada revolusi politik yang berhasil tanpa dibarengi atau didahului oleh gerakan kebudayaan. Karena itulah, yang terjadi pada revolusi 45 hanya bedil-bedilan saja, tradisi feodalnya masih ada sampai sekarang; padahal revolusi itu artinya menjungkir-balikkan nilai-nilai. Tapi, kok tradisi feodalnya masih tetap ada.”

Pembangunan Indonesia—semenjak Orde Baru menerapkan paradigma pembangunan modernisasi-globalisasi dan menitikberatkan proses pembangunannya dalam bidang ekonomi—telah membawa masyarakatnya ke dalam gulungan globalisasi. Kota-kota di Indonesia berlomba-lomba membangun diri menjadi sekumpulan tempat belanja yang megah dan mengkilap, dengan menarik investor sebanyak-banyaknya, dengan harapan mendapatkan suntikan modal sebesar-besarnya; pembangunan gedung-gedung megah yang tak menggubris urusan tata rancang bangun sebagai bagian dari urusan lingkungan alam dan manusia. (Yogyakarta misalkan, saat ini gaungnya malahan lebih keras terdengar sebagai surga belanja dari pada kota budaya dan kota pelajar.)

Sebagai bagian dari rangkaian pembangunan yang lebih kompleks, atau katakanlah menyeluruh, pembangunan “megah” Indonesia adalah bagian dari sebuah tantangan besar bagi manusia dan kebudayaan Indonesia dalam menghadapi globalisasi dunia. Bagaimana manusia yang terlibat di dalamnya bisa selalu menjaga jarak dan tidak kehilangan daya kreativitas oleh arus tersebut, adalah salah satu “PR” yang menjadi tanggung jawab bersama. Di bidang kebudayaan, mencakup soal kreativitas, moral dan mental manusia dan masyarakat, ini adalah sebuah tantangan berat. Pola konsumtif dalam bentuk konsumerisme gaya hidup adalah salah satu contoh.

Masyarakat, terutama anak-anak dan kaum muda, adalah sasaran paling empuk dalam pembentukan pola konsumtif ini; mulai dari model rambut, trend pakaian, konsumsi makanan, kebiasaan nongkrong, gaya bahasa hingga pernak-pernik asesoris lainnya macam piercing, hand phone, atau sepatu. Kesulitan ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan, misalnya, bukan suatu penghalang untuk menjadi bagian dari pencitraan yang mendunia ini. Seorang teman saya (masih SMA, tinggalnya di dekat terminal kecil, di dekat Tugu), demi memiliki hand phone yang katanya untuk menjamin dirinya menjadi gaul, dan supaya tidak lagi dianggap ketinggalan jaman oleh teman-temannya, rela mencuri barang yang diinginkannya itu dari salah seorang penumpang bus. Seorang teman yang lain bahkan rela mencuri uang milik ibunya sendiri untuk membeli celana “skater” gombrong yang katanya lagi ngetrend.

Gejala tersebut bisa menjadi contoh dari apa yang disebut sebagai bagian dari pembentukan citra manusia global tersebut di atas. Manusia dijejali citra asing yang bukan bagian dari dunianya, atau lingkungannya, seolah-olah ia adalah bagian dari dunia asing itu sendiri. Manusia direngkuh dalam satu bahasa yang seragam tetapi menikam: global. Anak muda dirujuk dalam satu bahasa yang menggiurkan tetapi mematikan: gaul. Penggambaran yang tampaknya berlebihan ini, jika kita mau melihatnya secara lebih jeli, sebenarnya merupakan gambaran riil yang terjadi di sekitar kita. Manusia dijauhkan dari sejarah diri dan lingkungannya, masyarakat dan budayanya. Bukan berarti yang asing itu selalu buruk, tetapi yang menjadi soal adalah keterasingan manusia dari diri dan lingkungannya tersebut, suatu kehilangan daya kreativitas di bawah bayang-bayang ilusi global.

Inilah tugas besar kita bersama, sebagai manusia, dalam menghadapi tantangan riil saat ini. Bagaimana strategi kebudayaan bisa disusun sebagai sebuah dimensi yang potensial untuk melawan dunia yang mengasingkan tersebut? Atau, pertanyaan pendahuluan yang mungkin bisa diajukan: apakah lapangan kebudayaan masih strategis untuk dijadikan sebagai sebuah kekuatan untuk melawan penindasan budaya?

Beberapa waktu yang lalu Jalur Pitu, bersama beberapa kawan, pergi mengunjungi Hersri Setiawan. Hari itu kami datang untuk memenuhi janji bertemu, dengan keterlambatan waktu selama kurang lebih setengah jam. Pertemuan yang sebelumnya kami maksudkan dalam bentuk wawancara, berubah menjadi perbincangan tukar pikiran yang mengasyikan, bersama suguhan teh dan makanan kecil dari sang tuan rumah. Pak Hersri—salah seorang kawan menyebutnya sebagai seorang tua yang santun, banyak berkisah tentang pengalamannya ketika berkiprah di lembaga kebudayaan rakyat tahun pertengahan 1950-an hingga tahun 1960-an.

Pertemuan itu memang tidak ditujukan untuk mencari jawaban atas persoalan kebudayaan yang sedang dialami oleh Indonesia saat ini, tetapi setidaknya, melalui sepotong kisah pengalaman Pak Hersri ini, kita bisa berefleksi bersama dalam melihat kondisi dan potensi kebudayaan yang dimiliki bangsa ini.

***

Setelah perkenalan singkat kami dengan Pak Hersri, kami kemudian menanyakan soal ceramah yang pernah dilakukan oleh beliau beberapa waktu yang lalu, tentang hubungan antara kebudayaan dan gerakan, dan bagaimana potensi kebudayaan yang ada di Indonesia dalam kaitannya dengan perubahan masyarakat.

”Kegiatan kebudayaan, agar bisa menjadi arah bagi jalannya kebudayaan masyarakat atau berperanan dalam masyarakat, haruslah dilakukan dalam bentuk gerakan kebudayaan. Saya akan bercerita tentang pengalaman saya ketika saya memimpin Lekra cabang Jawa Tengah, dulu. Pada waktu itu, Lekra tampil sebagai sebuah lembaga kebudayaan yang dianggap ‘berbahaya’ (sebelum Orde Baru lahir) oleh musuh-musuhnya, terutama oleh lembaga kebudayaan setingkat, yang dibekingi tentara. Mengapa sebagai lembaga Lekra dianggap berbahaya? Adalah karena Lekra berdiri sebagai sebuah lembaga yang bukan sekedar lembaga kebudayaan, melainkan lembaga gerakan kebudayaan, itulah yang membuat ia dianggap berbahaya.

Di Jakarta, mungkin kegiatan itu tidak begitu terasa di dalam organisasi, sebab kegiatan Lekra lebih didominasi oleh gerakan seniman dan sastrawan kota. Selain itu, kegiatan mereka dilakukan dengan menggunakan, misalnya, pers: untuk pembentukan pendapat umum. Di kota sasarannya adalah masyarakat kota, kelas menengah kota, pelibatan pers, dengan demikian, menjadi sangat penting peranannya. Tetapi di daerah-daerah, seperti di Jawa Barat, kegiatan budaya dilakukan lebih melalui bentuk-bentuk kesenian rakyat, seperti pedalangan, wayang atau musik (misalnya, Cianjuran). Di Jawa Tengah, Lekra itu lahir justru tidak melalui sastra, tetapi musik angklung, yang hanya memilki satu oktaf, yang dimainkan oleh anak-anak seusia sepuluhan tahun, untuk memainkan berbagai jenis lagu perjuangan. Even-even kebudayaan dan politik ketika itu selalu diwarnai oleh kegiatan kebudayaan. Dalam ceramah politik, misalnya, biasanya diselang-seling dengan kegiatan kebudayaan seperti musik angklung itu. Dalam kondisi yang demikianlah, semangat perjuangan menjadi modal bagi gerakan kami. Terutama di daerah-daerah, kegiatan seni atau kebudayaan menjadi sangat terasa, lebih terasa dibandingkan dengan yang di kota.

Kemudian Pak Hersri bercerita pula tentang pengalamannya ketika berkiprah di lapangan kebudayaan, sebelum memimpin Lekra hingga saat ia terlibat dalam oraganisasi Lekra; dan bagaimana gerakan kebudayaan itu dilakukan tidak hanya dalam arti politik saja, melainkan juga dalam arti moral.

“Ketika saya kuliah di UGM tahun pertama—belum memimpin lekra, tapi sudah berkiprah di lapangan budaya, khususnya sastra dan drama radio di RRI dengan ruang siar dua minggu sekali untuk drama radio, dan seminggu sekali untuk sastra—kegiatan kesenian yang dilakukan belum begitu terorganisir. Untuk sandiwara radio kelompok sandiwaranya bernama Remujung Lima, untuk kelompok sastra, dengan kegiatan diskusi teoritik sebulan sekali dan juga pembahasan puisi atau pembacaan esai-esai budaya, saya membentuk kelompok dengan nama Lingkaran Sastra. Mula-mula berangotakan tujuh orang lalu menjadi 150 orang. Jogja ketika itu betul-betul adalah kota kebudayaan, tidak ada bulan lewat tanpa kegiatan budaya, sehingga ada diskusi tentang kelompok kecil saya, tapi di masyarakat itu juga selalu ada kegiatan seperti lomba baca puisi, cerpen, atau ceramah kebudayaan yang tidak one way, tapi selalu ada dialog antara pembicara dan hadirin yang berasal dari kalangan anak SMA hingga dosen. Salah soerang akitivis kebudayaan dan sastra di Jogja ketika itu adalah Sutarno Y.C, anak SMA kelas dua. Kegiatan kebudayaan yang dilakukan kami biayai sendiri dari uang saku masing-masing.”

“Mengapa kebudayaan dibikin gerakan bukan saja secara politik, tetapi juga dalam arti moral? Pada tahun 1955-57 sisa-sisa gaya hidup kesenimanan gelandangan gaya Chairil, seperti kebiasaan tidak mandi, berambut gondrong, jajan tidak bayar, itu masih ada. Dan itulah salah satu hal yang kita lawan. Caranya tidak dengan ceramah tetapi dengan mengadakan kegiatan-kegiatan budaya yang konkret. Ketika saya masih tinggal di Panembahan, biasanya sore hari bersama teman-teman muda sejumlah 20-an orang, kami duduk-duduk ngopi sambil ngobrol sampai jam 12 malam. Dengan begitulah kami menghidupi kegiatan kebudayaan bersama teman-teman muda.

Demikian pun setelah saya memimpin Lekra. Dengan pengetahuan sastra dan kegiatan seni lainnya yang saya miliki, termasuk pengalaman mengajar di beberapa sekolah seperti di Taman Siswa, dan Piri, kalau pagi saya mengasuh anak-anak sebagai murid saya, kalau sore menjadi adik-adik saya. Ini bagusnya alam pergaulan ketika itu, terutama Taman Siswa, yang memang tidak membenarkan hubungan patron-klien antara guru dan muridnya, tetapi membangun hubungan pamong dan yang diemong, yaitu siswa. Jadi kita kalau di rumah sebaya.

Problem yang kita perbincangkan di rumah, dengan demikian, bisa meliputi segala macam hal: lukisan, sastra, musik. (Saya belajar lukis itu dari sanggar-sanggar, dan sanggar ini sudah termasuk sebagai suatu gerakan.) Jadi kalau kegiatan kebudayaan mau berperanan dalam masyarakat, merubah atau memberi arah bagi jalannya kebudayaan masyarakat, caranya adalah harus menjadi gerakan.”

Mengenai makna sastra (literate) yang berkembang saat ini, Pak Hersri mengungkapkan perlunya suatu definisi sastra yang tidak hanya bermakna “tulisan” = literate.
“Saya setuju kalau yang disebut sastra di Indonesia ini adalah sastra dalam arti tertulis dan tidak tertulis. Jadi lembaga budaya, khususnya sastra, yang sayang sekali sekarang sudah hilang, yaitu macapat, bisa dihidupkan kembali. Macapat ini sebenarnya ada di beberapa daerah di Indonesia, seperti Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Batak, tapi sejak Orde Baru sudah tidak ada lagi. Kegiatan ini, terutama dulu, ada di kampung-kampung setiap ada jagong bayen; meliputi kegiatan penembangan, yang kemudian ditafsirkan dalam bentuk sambung rasa antara pembaca dan pendengarnya.

Kegiatan macapatan ini sebenarnya bisa menjadi media gerakan, karena ini bisa menjadi media untuk memeratakan ide. Gerakan, pada dasarnya, adalah soal bagaimana memeratakan ide dan diberi organ, tubuh. Makanya disebut sebagai organisasi. Ngomong-ngomong soal organisasi dan gerakan, menurut saya, gerakan politik itu sebenarnya tidak efisien, yang lebih efisien adalah gerakan kebudayaan. Tidak ada revolusi politik yang berhasil tanpa dibarengi atau didahului oleh gerakan kebudayaan. Karena itulah, yang terjadi pada revolusi 45 hanya bedil-bedilan saja, tradisi feodalnya masih ada sampai sekarang; padahal revolusi itu artinya menjungkir-balikkan nilai-nilai. Tapi, kok tradisi feodalnya masih tetap ada.

Yang penting dalam suatu gerakan kebudayaan adalah potensi lokalnya. Indonesia ini merupakan satu bangsa yang memiliki (meminjam istilah Sartono dari seorang kawan—peny.) kompleks historis yang beragam. Jadi untuk melakukan gerakan di bidang kebudayaan, kita tidak usah menggagas soal perbedaan isme-isme yang ada; apakah itu realisme sosialis atau bukan, apakah itu pop atau tradisional, tidak perlu dibeda-bedakan. Yang penting adalah gerakan untuk tujuan yang sama, yaitu tetap pada komitmen sosialnya. Kalau dalam tradisi lekra itu ada semboyan mengembangkan tradisi positif. Seni itu jangan dijadikan barang dagangan. Meski tuntutan jaman membuat arah kebudayaan bisa berubah, tetapi tuntutan jaman itu tidak harus mengorbankan apa yang tidak perlu. Misalnya dalam wayang, perbincangan filosofis itu harus ada, jangan dihapus, harus tetap diadakan karena di sini isi dakwahnya. Jadi tradisi atau kebudayaan itu harus dilihat sisi positifnya. Macapat, karena perkembangan jaman, juga menjadi tidak ada peminatnya kecuali di kalangan orang-orang tua. Oleh karena itu, kita tidak harus mengembangkan macapat sesuai tradisi lama. Kita bisa mengambil modelnya untuk diterapkan dalam bentuk yang berbeda.”

Menurut Pak Hersri, dunia kita ini memang sedang berubah tak terkendali, sangat dahsyat. Tapi kita tidak boleh pesimis menghadapinya. Segala perubahan yang terjadi dalam kebudayaan jangan kita lawan secara frontal. Menghadapi dunia yang hancur ini, kita harus tetap yakin pada komitmen sosial. Tugas kita bersama sekarang adalah membangun puing-puing yang sudah terlanjur runtuh itu, yaitu dengan merayapi dunia melalui kerja kebudayaan.

Tidak ada komentar: