Jumat, 23 November 2007

Buku Catatan Sejarah: Seni dan Visi Sosial


Oleh Agus Subhan Malma



Khalayak kebudayaan di Indonesia pernah melewati pesta pora kesungguhan bermazhab yang bahkan pernah juga melanggar tata pengertian kebudayaan versi 'resmi'. Sengketa keluhuran berkesenian dan pelenaan jenak-jenak kreatif akibat dirajamnya jantung nurani masyarakat oleh kekuasaan despotik-totaliter, menghumbalang alam kesenian manusia dan bangsa Indonesia menjadi bayangan tanpa cermin, bingkai tanpa gambar, buihan kata nan kerontang, pun banjir bahasa nan garing. Mazhab-mazhab itu membeku sebagai catatan dokumentatif-teoritik yang hanya bisa membisu dalam gelaran tanya: pantaskah mazhab ini hidup, sedang ‘nama saya’ yang lahir dari dentuman-dentuman kreatif ke-seniman-an hanya dijadikan dalih untuk membuka kios-kios dagang perasaan dengan gapura dan spanduk 'selamat datang' atas nama KEBUDAYAAN? Nama-nama besar nan gagah isme-isme panjang dalam berkesenian takluk di bawah ketajaman pisau buruh pabrik cat atau penyerut tangkai kuas. Gemuruh manifesto dan pernyataan kebudayaan menggelepar di tapak kaki perkasa mesin-mesin tenun penghasil kanvas. Sementara, puisi-novel-cerpen seakan beranjak dari naluri dasar keindahan tertekuk urat ulet loper surat kabar dan penjaga kios berita yang kepanasan siang-siang. Inikah metamorfosa aforisme sastra tentang kematian pengarang (the death of author) yang menimpa ranah seni rupa kita; baik ketika berada di bawah panji negara bangsa Indonesia atau di lingkungan kesibukan bermerk dagang 'manusia zaman sekarang'?

Mari kita bicara soal vitalitas kebudayaan, khususnya seni. Vitalitas hidup macam apa yang memberikan udara segar bagi kelahiran seni dan (ke)seniman(an)? Apakah seni selalu merupakan perwujudan terakhir dari yang dinamakan hasrat, desire? Kondisi kemanusian seperti apakah yang dapat kita pastikan, bahwa apa yang kita lakukan dalam (ke)seni(an) adalah refleksi dari situasi normal kita sebagai manusia berakal segenap nurani dan menjunjung kebenaran kemanusiaan kita? Apa artinya kekuatan ekonomi-politik yang merepresentasikan kebijakan supraindividual, sedang dibawahnya, hasrat manusia diorganisasi, dan seringkali dimanipulasi atas nama rust en orde? Dapatkah kita menentukan apa yang kita lihat, semua yang kita perbincangkan, dan semua yang kita katakan benar-benar berasal dari kesadaran kita tentang masyarakat dan kehidupan manusia, yang berasal dari sudut pandang yang menentukan 'cara bicara' manusia? Lantas, siapakah yang lebih pantas untuk berbicara apa pun tentang (penilaian) seni, orang yang melukis berkeringat di hadapan kanvas dengan pallet dan cat air atau minyak di tangannya, ataukah orang-orang yang membuat mereka bisa memperoleh seperangkat alat lukis itu? Bagaimana mazhab yang mengaliri darah pencipta dan karyanya dapat dipahami? Lantas, cita mana yang membedakan keindahan senyum santun lukisan Monalisa dengan foto senyum 'ngangkat' bibir merah cantik dari wajah camera-genic Madonna? Bagaimana seni dipahami dalam disiplin ilmunya? Apakah itu terpahami dari ilmu yang menerangi keindahan atau ilmu dan disiplin tentang cantiknya keteraturan?

Dan, berbicara tentang warna, apakah benar bahwa merah dan hanya merah yang dapat merepresentasikan api semangat juang pemberontakan atau revolusi? Dapatkah kita melihat perbedaan pemahaman yang mengerangkeng visi-visi emansipatoris revolusioner ke dalam revolusionerisme baik dalam politik ataupun seni? Jadi, di manakah warna, dalam mata-pikiran kita? Apakah itu hanya efek cahaya dari hal-hal di luar diri kita, yang mengelilingi kita? Apakah warna tetap berada pada kanvas, meskipun dalam kehidupan sehari-hari kita, hingga sekarang, berpikir dalam kegelapan campuran warna sosial (baca: politik aliran) yang mengaburkan kemampuan rasa kita tentang warna-warni, pada kondisi post-development yang diklaim oleh beberapa kaum intelektual salon (salooners) sebagai kondisi postmodern?

Ketika berbicara mengenai genre estetik dalam periodesasi seni Indonesia modern sebagai sebuah titik tolak perbincangan, kita akan menemukan praktik-praktik pembajakan hasrat dan kreativitas hingga patah arang (block-till-broke) di mana ekspresi estetik hanya dikamuskan melalui identitas rekaan (artifisial) dan terkurung dalam kotak dagang bermerk yang diberi nilai sama seperti halnya apa yang disebut simbol gaya hidup. Apa yang dipahami dari kata-kata penganut ekspresionisme yang digunakan sebagai salah satu genre dalam seni murni, kiranya, cukup memadai untuk digunakan sebagai ilustrasi bagi realitas kontemporer. Tetapi, secara sederhana, mainstream tepatnya suatu percepatan yang bersifat kumulatif seni dalam situasi sejarah kontemporer membuatnya tak bisa dipisahkan dari hal-hal yang bisa kita sebut sebagai expressionita yang diakui secara mantap sebagai produk estetik-kreatif dari ungkapan seniman. Akan tetapi, apakah perbedaan sudut pandang itu terletak pada perbedaan produk material seni misalnya lukisan, ataukah perspektif itu hanya bersifat personal atau subjektif saja hingga seorang seniman seperti penyair, novelis, musisi, dan yang lainnya dapat dinilai lebih estetik dibanding hasil kerja mereka?

Dalam banyak kasus, 'pentingnya' figur kultural (budayawan) di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kuatnya belenggu rantai ekonomi-politik yang tak bisa ditentukan sebelum sisi humanitasnya mengambil peran. Beberapa budayawan membuat jalan pintas penting dengan mencantumkan namanya ke dalam beberapa genre, dan membangun banyak trends dalam gerakan kultural Indonesia tanpa membuat penetapan sejarah tentang orang-orang atau masyarakat yang ingin menjadi 'cukup beradab' sebagai sebuah bangsa yang pernah menjalani proses revolusi sosial semenjak periode kolonialisme/imperialisme.

Semua yang kita bicarakan bukan tentang bagaimana kedekatan kita sebagai pelaku budaya dengan khalayak di satu sisi, atau dengan aparat negara di sisi lain. Yang kita lakukan adalah menginsafi masalah kultural seperti apa yang dapat kita 'rayakan' bersama, entah sebagai pelukis, musisi, penyair, novelis, dan lainnya? Untuk siapa kita bekerja? Apakah itu cukup untuk memberi jawaban tentang pertanyaan dengan kredonya seni untuk seni, yang dioposisikan dengan pernyataan seni untuk masyarakat? Beberapa di antara kita telah memiliki beberapa pilihan yang baik, tetapi masih menempatkan seni lepas dari kemungkinan lari di antara dua kapal mogok yang menjadi karang di tengah lautan (missgrowed ships)?

Secara langsung dan personal, saya berpendapat bahwa 'seni sebagai visi sosial' dikonstatir untuk memberi sebuah jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan itu. Secara singkat, katakanlah, ketika kita menyebut pekerja seni [arter] (atau artist, dalam era identifikasi lama) bekerja untuk seni, kita harus menemukan beberapa kerangka yang dibentuk dengan memperlebar batas pandang cakrawala pemahaman yang lebih baik antara pekerja seni (arter) misalnya, pelukisdari nilai-nilainya: lukisannya, sajaknya, novelnya, ceritanya, dan lain-lain. Setelah itu, kita harus menghitung hubungan macam apa yang oleh orang-orang yang diidentifikasi dirinya sebagai pekerja seni dengan yang mengatakan dia adalah pekerja seni. Dengan situasi dan kondisi seperti apa kita dapat memisahkan pekerja seni atau budayawan (culturallist) sebagai sebuah keseluruhan dari salah satu kelas pruduktif dalam masyarakat, dan pekerja seni/kulturalis sebagai sesuatu produk modern dari masyarakatnya yang memiliki pengalaman hidup yang panjang di bawah tekanan berbeban berat?

Debat klasik tentang dimensi product dan pola productive dari budaya serta hubungannya dengan kelas atau sistem yang berkuasa (rulling-class/rulling system) yang terhubungkan oleh psikologi masyarakat, sepenuhnya mencukupi bagi kita untuk menemukan kembali sebuah cermin. Untuk mendapatkan pelajaran dari konteks bahasa sosio-politik, ketika setiap orang menjadi familiar dengan kata semacam “politik”, pikiran kita langsung tertuju pada orang-orang yang berada di majelis atau pejabat partai politik. Akan tetapi, semenjak kebangkitan diskursus politik praktis pada masa glasnot/perestroika atau kasus reformasi di Indonesia yang ditandai dengan percepatan persebaran informasi politik atas nama emansipasi termasuk lumpenproletariat, dalam batas yang sama dengan kesenimanan seorang, politisi sebagai identitas formalnya, memulangkan proses pemaknaan 'politik' dari gedung DPR MPR atau istana kepresidenan atau kantor-kantor parpol ke dalam kamus dimana politik yang dapat dimaknai sebagai negara kota, dan kemudian politisi sendiri memiliki makna sebagai bangsa, negara dan masyarakat yang tinggal di dalam berberbagai negara kota. Sekarang, setiap orang adalah politisi. Sebentuk revolusi diam-diam sebenarnya telah atau sedang berlangsung di wilayah keramaian opini dan media sosio-politik Indonesia oleh karena serangkaian hubungan komunikan global, dimensi yang dimilikinya semakin global pula.

Dalam konsep konvensional, kita sering menempatkan politik ke dalam kebudayaan. Itu tak jadi soal.Tetapi, revolusi macam apa yang terjadi di Indonesia secara kultural? Dapatkah kita bayangkan seberapa besar revolusi kebudayaan itu? Revolusi yang menyisakan suatu ingatan kolektif sebuah nasion setelah masa penjajahan ekonomi politik merupakan suatu kemungkinan yang terbuka. Revolusi yang memungkinkan bangsa ini terlahir kembali dari kesusahan dan deritanya, yang membangkitkan kekuatan si lemah? Revolusi dalam seni memberikan tempat yang baik bagi -isme di belakang nama ragam aliran seperti kubisme, ekspresionisme, naturalisme, dan sebagainya. Dalam simpang siur kesalahpahaman alur cerita yang biasa ditangkap dari jargon 'seni untuk seni' dan 'seni untuk rakyat' yang menjadi tema sentral perdebatan seni Indonesia modern, tiba saatnya bagi saya untuk mengajukan pendapat, yang kiranya dapat merevisinya dengan masuk ke dalam inti perbincangan kreativa produktiva dua trend seni ini.



Ada ratusan bahkan ribuan lukisan yang mungkin dibuat dengan bersandar pada salah satu alur gagasan yang terpaut satu sama lain yang menjadi cara berujar berekspresi dan merepresentasikan satu dari dua gunung trend itu. Satu di antara dua jalur ini sering diklaim menjadi pilihan ideologis pekerja seni yang sebenarnya, yang sering dipahami dari nama maupun genrenya. Maka, secara teoritik, kita harusnya tahu perbedaan paham sosialisme dan liberalisme universal, baik dalam aliran seni, realis, naturalis, pointilis, kubism, kaligrafis, dan sebagainya.

Dalam sejarah seni, dapat kita lihat sebuah genre berdasarkan periodesasinya: klasik, modern, posmodern, tradisional, individual. Namun, ada juga aliran yang tidak dapat dimasukan ke dalam beberapa sebuah periode secara kaku seperti lukisan Michael Angelo dalam Gothik. Yang menjadi pertanyaan dapatkah kita bedakan masing-masing periode, genre, metode teknisnya, juga gaya seni Indonesia?Apa betul penilaian estetik pelukis hanya didapat dari tampilan warna dan pola di kanvasnya. Tetapi, bagaimana dengan proses kreatifnya? Dapatkah disiplin artography secara meyakinkan menjelaskan posisi pelukis dari peta seni budaya murni (netral) atau relasi sosial yang sebagai sesuatu yang tak terjelaskan oleh tanpa pengabaian terhadap perlawanan kekuasaan institusi yang ada, negara, perusahaan swasta, industri, media, agama, dan sebagainya...dana sebagainya...?

Aspek yang ingin saya tekankan dalam memahami artography di sini adalah visi emansipatoris ekspresi dan representasi seni seorang arter or painter dari kehidupannya nyata sehari-hari, dari lingkaran mereka dilahirkan, belajar, bergaul, berkeluarga, dan sebagainya. Sehingga, proses kreatif yang menghasilkan banyak macam lukisan, bersama dengan kecenderungan utama mereka dan kutub pemahaman bersama atas penilaian seni mereka. Saya pikir kita harusnya tahu apa yang dipikirkan pelukis pikirkan dalam lukisan mereka. Rezim unaesthetics seperti Orde Baru memberi satu pelajaran bagi orang-orangbahkan mereka yang dikenal sebagai budayawan, pemikir, bahkan pekerja seni atau pelukissehingga seni dipisahkan dari ranah pengetahuan meskipun dua wilayah ini memang berbeda. Tetapi, keduanyatidak harus dipisahranjangkan menjadi dua karang kering hingga kegersangan kebudayaan menimpa bangsa ini. Kering pengetahuan, kerontang kesenian.

Proses konstruktif mengenali perkembangan kebudayaan-kesenian melalui apa yang saya sebut artography tersebut, kiranya dapat membantu pemahaman tentang penghargaan atas karya seni sebagai produk nurani yang diungkapkan dan difahami dalam keseluruhan hidup yang nyata di mana terbentang sesungguhnya teori sosial, politik, demokrasi, gerakan sosial, kesejahteraan, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, sejarah, salah paham ideologi menjadi kecemburuan, dan lain sebagainya.

Penghargaan atas karya menjadi sesuatu yang amat sangat penting bagi masyarakat-bangsa kita yang hari-hari ini berada di hadapan sebuah cermin besar bernama pembodohan-pemiskinan tiga puluh tahun bahkan lebih di mana kita dalam hitungan ratusan juta maupun dalam jangkaan individumenjadi nobody, tak berkarakter. Kita sudah sering melihat kesenjangan sejarah dan kesadaran tanpa bisa berbuat sesuatu. Politik perwakilan, negara kesejahteraan, perpecahan masyarakat, membuai hidup kita dalam dunia yang oleh Pramoedya disebut: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.


Apa yang saya tawarkan adalah sebuah hipotesa bahwa posisi ideologis-historis arter/painter seringkali ditentukan oleh wilayah geografis dari posisi kultural yang dimilikinya. Hubungan pemikiran antara pasir dengan beberapa cara produksi utama orang-orang di negara kepulauan seperti Indonesia adalah dasar bagi peningkatan harapan dalam proses sadar aktif tentang peningkatan budaya pasisiran yang sesungguhnya (dalam teater, puisi, tradisi lisan, dsb). Hal yang saya maksud, bagusnya gerakan budaya tidak hanya didasari oleh text book thinking melulu bosen ah!-, tetapi juga dapat menggali konteks sosial dalam ekspresi seninya.


Yang terjadi beberapa waktu belakangan, justru pencampuradukkan yang bersifat manipulatif antara ranah sosial dan ranah kebudayaan-keseniaan. Keduanya sering saling melakukan pelanggaran baik terhadap yang lain maupun terhadap diri sendiri. Contoh-contohnya: praktek pembajakan, plintiran statemen, hubungan politis-kontra-produktif antar pelaku kebudayaan, pemusnahan hak berkarya dengan stigma tentang si bodoh dan si biadab versus si pintar dan si beradab, interferensi moral dalam berkesenian, praktek (maaf) pencurian karya orang lain dengan cara yang lebih sophisticated dan mungkin juga lebih artistic dibanding kerja produktif para kreator kebudayaan karena (pencurian) dilakukan para penyelinap yang sekali waktu menggerombol di jalanan sebagai demonstran, yang sekali waktu wira-wiri di kantor-kantor pemerintahan, dan sekali waktu gojag-gajig petentengan bawa map ke negeri seberang sambil mementaskan luka anak-anak pertiwi dengan hibaan harap bantuan negara “asing” sambil melupakan bahwa negara kita juga dalam banyak hal dasar sudah menjadi negara asing bagi rakyat sahayanya. Itu mestinya yang menjadi alas-an untuk mempertahankan kesenian sebagai sesuatu yang tidak hanya berurusan dengan gedumbrang-gedumbreng bunyi-bunyi gamelan atau gitar dan siter tapi juga mempunyai jalinan yang tak bisa diceraikan dengan dunia pikir alam sadar kita sebagai masyarakat-bangsa, atau dalam ukuran “sederhana”, sebagai anak manusia, di mana ada negosiasi nilai-nilai dan dialektika para pendapat.

Pesatan teknologi media dan grafika tentu tidak bisa kita diamkan hanya menjadi bongkahan batu es kebekuan lifestyle yang membuih sebagai pembicaraan tetapi terlalu gersang untuk kita memberi minum pada kita punya dahaga kesadaran.

Kondisi pasca pembangunan yang membikin konteks kritik marxian revolusi kebudayaan Indonesia atas garis pemikiran marxisme-leninisme yang membangun dasar bagi lahirnya visi besar kebudayaan. Contohnya, Mao Tse Tung melakukan blokade ideologi masyarakat wilayah pedesaan (rural) dan pekerja urban di tempat kerja industrial ke dalam blok yang sama. Namun, revolusi kultural sebagai garda depan dan visi kepemimpinan Partai Komunis Cina semasa pemerintahan Mao yang menekankan ilmu dan praktik ke dalam nilai yang sama pentingnya, tak jarang, disalahpahami. Contohnya, pandangan proletariat revolusioner aseli tentang sejarah perpecahan kekuasaan politik ke sayap kanan dan kesalahurusannya dalam praktiknya hingga tergelar ladang pembantaian seperti yang terjadi di Kamboja, tempat Pol Pot memimpikan terciptanya masyarakat modern di atas kuburan masyarakat lama tanpa perhitungan yang jelas. Ladang merah itu pun menjadi satu genocid. Pol Pot bahkan tak membuat pernyataan publik atau resmi bagaimana tatanan masyarakat baru impiannya akan dibangun seperti apa. Bagaimana juga kebaharuan dan keusangan itu dipahami? Nyatanya, keusangan itu menyisakan tulang-belulang tengkorak. Kebaharuan itu lahir dengan membiarkan tengkorak itu bicara?

Periode Sosial terjadi ketika konsep revolusi kultural menjadi revolusi sosial melalui pemerdekaan telah membuka mata pikiran rakyat negara dunia ketiga untuk membangun tanah airnya. Secara umum, konsep ini adalah sebuah usaha para pejuang revolusioner atau para foundingfather sejarah politik Indonesia- untuk menemukan titik temu kekuatan produktif yang massif negara-negara dunia ketiga dengan sejarah panjang di bawah jerat tekanan pemiskinan imperialisme/kolonialisme. Dan, adalah sebuah tantangan menjadi negara kebangsaan modern, dengan kondisi institusional yang tidak memungkinkan akibat cacat warisan kolonialisme/imperialisme, serangkaian usaha dilakukan untuk berdiri sejajar sama tinggi dengan kemampuan kaki sendiri. Kondisi warisan institusional kolonial di Indonesia telah membikin semua proletar memaksa diri untuk melakukan ‘lompatan-lompatan’ (terlalu) besar untuk memasuki sejarah baru. Namun, nasionalisme state oriented Orde Baru tidak memberi tempat bagi setiap orang untuk berbicara nasionalisme di luar NKRI, dan asas tunggal Pancasila. Semua dari negara oleh negara dan untuk negara.

Meski demikian, pada hubungan internasional di mana ekonomi pasar menjadi pemenang, masour society consumpt tidak hanya produk material dari mode produksi industri modern, tapi juga mengkonsumsi mimpi-mimpi sosial atau imajinasi politik yang memiliki dua kemungkinan sisi, negatif dan positif. Mimpi dan imajinasi menjadi terlalu ‘mahal’ bagi kebutuhan dasar sosial dan dunia kita. Secara sederhana, saya hanya akan mengatakan bahwa selama 30 tahun di bawah rezim developmentalis: apa yang kita miliki? Apa yang bisa kita lakukan untuk hari-hari panjang yang akan datang? Sama seperti rantai tak terputus dari utang luar negeri dengan standar minimum kemampuan pemerintah dalam mengendalikan, memimpin dan membangun bangsa besar ini, dengan pertanyaan terbesar yang menjadi tugas rumah bagi para economicust and economiceurs, politikus dan politisi. Setiap orang harus membuktikan apa yang disebut dengan tanggung jawab, sebagai pribadi, sebagai warga kolektif. Dalam situasi ini, memberi orang-orang Indonesia sebuah jalan keluar dari lingkaran sub-liberated memiliki kesamaan nilai historis dengan memberi semua orang di nation-state mereka masing-masing di seluruh dunia atas nama kemakmuran, keadilan sosial, demokrasi, hak manusia dan warga.

Tahun-tahun susah di bawah kepeminpinan Suharto, hari-hari kelaparan di bawah developmentalisme, pra-edukasi pemikiran di bawah doktrin sistemik, berita sampah kekerasan, pornografi politik, economycal jurky, represi informasi yang dimanipulasi dan diulang-ulang, politik uang, aktivis sosial chicken, hipokrasi: betapa gilanya kita! Apa yang sedang kita rindukan sebenarnya? Impian pengganti dusta? Atau, kenyataan yang mengejutkan? Hanya sensasi-kah obat bagi kita yang telah lama mati rasa dan manghianatinya dengan serapah bernama uangisme yang kita salahfahami sebagai kapitalisme? Mana kekayaan sebuah nama berbunyi NUSANTARA? Adakah mimpi kita terlalu besar dan panjang untuk jam tidur kita yang selalu terganggu dengan ngelunjak-nya hasrat kekuasaan?

Kalau dalam debat postmodern, orang sering mengatakan intimnya pengetahuan dan kekuasaan, kenapa sekarang kita tidak memutar haluan kesadaran kita dan mengolah kehendak (daya, kemampuan, karsa) besar kita atas kuasa menjadi kehendak, daya, kemampuan, dan karsa akan pengetahuan. Ini kemestian. Ini pencerahan. Dan ini pula yang disebut Revolusi Kebudayaan. Ribuan buku bernama pengalaman massa siap dituliskan. Adakah kita masih akan terus memangukan nurani kita untuk zaman begini menggairahkan? Akankah kita terus memanjakan hasrat penghancuran dari kepribadian juggernaut dan memurahkan cemerlang keringat rakyat Indonesia hanya dengan pesta pora di meja kekuasaan yang telah berulangkali diselewengkan untuk pelanggaran tak terampunkan berupa pemerosokan mata kehormatan kita? Haruskan kita khianati kepatuhan jutaan kaki dan tangan kepercayaan bahwa siapa menanam bakal menuai dengan buihan dusta nyata para penghapal kata tanpa kerja yang terus memberi sifat ini pada si itu dan sifat itu pada si anu?

Kata melanggar manusia. Gambar menghianati fakta. Gambar yang digembar-gemborkan tiga puluh tahun lebih tentang komunisme membuat tak satupun orang tahu apa itu komunisme, tetapi segala bentuk kejahatan yang selama ini diterakan kepada kaum komunis dipraktikkan. Di manakah kegembiraan? Lalu, di mana kebahagiaan? Untuk ribuan remaja dan pemuda yang hari ini membaca buku-buku pelajaran di sekolah dan di rumah sementara kita tegasnya merekamencuri paksa itu kegembiraan dan kebahagiaan demi kerakusan yang ironisnya tidak pernah mereka sadari. Negara ini telah lama dikalahkan oleh mereka yang justru kalah kaya dibanding uang. Bangsa ini telah lama ditipu oleh mereka yang saking bodohnya selalu minta belas kasihan sementara di tangan mereka, di sekitar mereka, di dalam tanah di atas tanah, dan di bawah langit tempat hidup mereka, ada kesejahteraan yang merdeka, ada kemerdekaan yang mensejahterakan.

Indonesia, mana samudera limpahan karunia alammu? Bolehkah kami terus tinggal di sini sebagai makhluk yang punya hak untuk diakui dengan kerja? Indonesia, mana gemunung hangat solidaritas dan persaudaraanmu: masihkah kami layak menjadi penyendiri dan menjadi bangsa paling kucil-kucel di antara bangsa semanusia? Saksikan: zaman sudah berubah.

Salam.

Tidak ada komentar: