Jumat, 23 November 2007

Nama

Oleh J Prata Diharja, SJ

Dia duduk menerawang ke atas, dan tersenyum. Dia bakal melaksanakan rencana yang menurut dia sendiri gila. Kemudian beranjak dari duduknya, pelan-pelan melangkah ke depan. Mulai berjalan. Dia masih tersenyum-senyum memikirkan rencananya.

Nah, tiba-tiba ada gagasan muncul untuk menemui seorang anak. Siapa saja tak pandang bulu, asal dia seorang anak. Untuk kemudian langkahnya tidak tanpa tujuan: menemui seorang anak kecil. Nah, itu dia seorang anak berjalan menuju kepadanya.

"Hei, nak siapa kamu?"

Anak itu tak menjawab. Hanya tersenyum.

"Siapa namamu?”

Malah si anak mengikik sambil menggigit ketiga jari kirinya, dan berlari kecil agak menghindar dari orang tua yang berjenggot memutih dan bercambang itu. Anak kecil itu sudah tahu siapa orang tua itu dan apa pekerjaannya, namun dia senang mengganggu, dan bergurau dengannya.

"He he heee ... hik hik hik .... Mau apa kek?”

"Mau menanyakan namamu. Siapa kamu hei?"

"Namaku ...? Bodong!"

Kini kakek itu ganti terkekeh-kekeh mendengar nama itu.

"Kek, saya minta uangnya."

Kakek itu terkekeh-kekeh lagi.

"Engkau mau uang? Mari, ikut saya, asal kamu mau ...."

"Ah, nggak mau! Jangan-jangan, kau suruh aku telanjang, lalu kau gambar anuku."

Kakek itu terpingkal-pingkal lagi sambil menepuk-nepuk bahu anak itu.

"Tidak, tidak ..., mari to ikut aku."

"Segera, kekek berjalan menuju ke rumahnya. Anak kecil mengikuti agak jauh di belakangnya.

Sampai di rumah.

"Mari masuk! Duduklah!"

Sementara anak kecil itu duduk sambil mengagumi lukisan-lukisan dan hasil karya di sekitarnya, orang tua itu masuk ke ruangan dalam. Kemudian, orang tua yang masih kekar itu keluar lagi dengan membawa kain kanvas serta beberapa cat berwarna serta kuas. Lalu, ia mengeluarkan beberapa uang lima ratusan.

"Nah, kau mau ini?"

Si anak diam saja, menatap orang tua dengan penuh pertanyaan.

"Boleh kamu miliki uang ini. Nah, simpanlah dulu di dalam sakumu!"

Si anak tambah bingung ketika kakek itu memasukkan uang itu ke dalam saku celananya. Belum pernah ia memiliki uang sebanyak itu. Lalu, kakek dengan senyum lebar menepuk-nepuk bahu si anak. Tapi, dengan demikian, kini si anak itu kaku, dan merasa dibatasi ruang geraknya. Tidak bisa lagi dia mempermainkan Pak Tua.

"Nah, sekarang saya minta tolong. Gambarkan pada kain ini awan-awan seperti yang biasa kamu lihat."

"Gambarkan?" Itulah pertanyaan yang timbul di benak si anak. Bukankah dia sendiri seorang pelukis besar dan ternama? Mengapa menyuruh si anak kecil yang tak tahu menahu untuk menggambarkannya? Anak itu lama terdiam sambil menggigit jari.

"Aku tidak bisa, Kek."

Kakek itu terkekeh-kekeh.

"Tidak apa-apa Gus, sebisamu saja. Jangan takut! Ayo coba, Nak! Engkau akan kujadikan pelukis seperti saya, kalau kamu mau. Bila kamu sekiranya malu, akan kutinggalkan tempat ini, dan kau bisa senaknya menggambar. Okey? Baik."

Kemudian, kakek masuk ke ruangan dalam dengan tersenyum-senyum. Di dalam sana, dia merenung, menyusun rencana selanjutnya untuk usaha yang satu itu. Lalu, anak itu dengan sangat hati-hati dan takut mulai mencoba menggunakan cat dan mengoles kuas pada kain kanvas dengan maksud menggambar sebagaimana yang diminta oleh kakek. Setengah jam kemudian, anak kecil berteriak-teriak memanggil-manggil kakek.

"Keeek, sudaaah ..., tidak bisa ...."

Lalu, kakek datang berlari-lari dengan senyum pengharapan. Sedangkan, anak itu meringis kamalu-maluan.

Melihat hasilnya, kakek itu mengangguk-angguk sambil kedua tangannya memegang kedua lengan si anak.

"Bagus, bagus! Nah, ternyata kamu pinter! Sekarang coba di bagian ini gambarkan sebuah cakar ayam. Sini, di bagian bawah dari awan-awan.

"Kakek menoleh ke wajah anak. Terjadi, pertemuan pandangan yang kontras. Yang satu pandangan memimpin dan yang lain pandangan bertanya-tanya. Dipegangnya bahu anak itu, digoyang-goyangkan, dan diciumnya dengan kegembiraan.

"Nah, selamat bekerja!"

Kakek masuk lagi ke ruangan dalam diikuti oleh pandangan anak kecil itu. Di luar rumah, ranting-ranting dan dahan-dahan mengangguk-angguk digerakkan angin. Di dalam, lukisan-lukisan yang berbentuk topeng-topeng terasa menertawakan si bocah. Tersadar dari lamunannya, bocah itu kembali ke kanvas meneruskan kewajibannya. Dia terpaksa berusaha menggambar sebuah cakar ayam.

Setengah jam kemudian, orang tua itu datang lagi.

"Nah, bagaimana Nak?"

"Tidak bisa Kek."

"Ha, ha, haaaa .... Bagus, bagus! Sudah, sudah! Sudah cukup, Gus!"

Sambil mengangguk-angguk dielusnya kepala anak itu, sedang anak itu tak habis bertanya-tanya.

"Nah, Gus ... sekarang sudah selesai. Mau pulang atau mau melihat-lihat di sini dulu? Terserah ....Oya, ini masih ada kembang gula sedikit, ambillah! Atau, mau minum?"

"Tidak Kek, saya mau pulang saja. Sudah ya, Kek"

"Mau pulang? Oo ... terima kasih, terima kasih. Besok main ke sini lagi ya, Gus."

Si anak itu terus lari meninggalkan sanggar ciptaannya. Sedangkan, orang tua terduduk terkekeh-kekeh sendirian dengan bebasnya. Terkekeh-kekeh dan terkekeh-kekeh lagi. Diambilnya kuas kecil, dan dioleskannya sebuah tanda tangan pada bagian bawah kanan lukisan itu. Belum lama juga ia telah membubuhkan tanda tangan untuk sajak-sajak seorang penyair yang karena belum punya nama, sajak-sajaknya yang matang itu selalu ditolak oleh majalah-majalah dan koran-koran di kotanya. Setelah penyair itu menggunakan nama pelukis tua ternama yang kebetulan penyair juga, sajak-sajaknya mulai bermunculan di majalah-majalah. Lucu. Sungguh permainan yang lucu. Kini, dia benar-benar mau membuktikan thesisnya yang akhir-akhir ini menjadi buah renungannya. Tapi, itu baru akan terlaksana nanti.

Akhirnya, telah berlalu pula masa yang ia tunggu-tunggu. Pameran Tunggalnya. Dan, bakal menguji thesis yang telah diyakininya dengan pameran yang akan digelarnya di kota Metropolitan. Berarti pameran itu memiliki bobot nasional. Bahkan, internasional. Dan, kehidupan ini adalah panggung ujian yang sesungguhnya. "Non scholae, sed vitae" kata orang-orang sono. Bukan di sekolah, tetapi di kehidupan ini berlangsung ujian yang sebenarnya.

Seperti biasanya, pameran kali ini banyak dikunjungi orang. Namun, entah karena apa, mungkin karena sedang resesi ekonomi, pada pameran ini yang terbeli hanya 3 lukisan. Tetapi, lumayan harganya; bisa untuk menutup semua biaya pameran. Bahkan, masih tersisa 7 juta rupiah. Pameran tunggal sudah selesai. Kali ini, karya-karyanya yang terjual tak sebanyak yang sudah-sudah. Sungguh suatu warna yang menyolok dalam lukisan sejarah hidupnya. Barangkali, peristiwa ini tak terlupakan. Bukan karena kali ini, karya-karya yang pada pameran biasanya selalu terjual lebih dari 50%, kini hanya terjual 3 buah dari 90 lukisannya. Tetapi, justru di antara yang terjual itu, terdapat satu-satunya lukisan anak kecil itu.

"Ini sungguh lukisan yang paling modern, berseni sangat tinggi yang pernah kujumpai. Inilah versi yang merupakan perkembangan pesat dari karya-karya Bung Arifin. Suatu warna baru!"

Demikianlah komentar seorang pejabat tinggi, penggemar koleksi lukisan dari pelukis-pelukis ternama yang telah punya otoritas besar.

“Ah, tak terkatakan. Hanya bisa dirasakan, dinikmati, dan direnungkan dengan diam," lanjutnya.

Kemudian, dibayarnya lukisan itu dengan uang 5 juta rupiah. Maka, tak habis-habisnya pelukis itu tersenyum, tertawa sendirian, dan terkekeh-kekeh menertawakan kelucuan dunia.

"Memang," katanya dalam hati, "Dunia ini menilai suatu karya hanya berdasarkan otoritas penciptanya. Meski bagaimanapun bentuk karyamya, tapi kalau sang pencipta sudah punya otoritas besar dan kuat, karya itu akan selalu dihargainya. Mereka berasumsi terlebih dahulu. Bukannya karya demi karya itu sendiri, melainkan karya demi penciptanya."

Seorang penyair berbakat harus mencari nama terlebih dahulu dengan mendapatkan pengakuan dari khalayak. Untuk itu, dia mesti menulis pada majalah yang sudah punya otoritas pula, misalnya. Sedangkan, untuk bisa agar karangannya diterima di majalah, terlebih dahulu sudah diandaikan nama. Seorang redaksi yang menerima karangan, entah berbentuk cerpen, puisi, atau tulisan ilmiah lainnya, terlebih dulu dalam hatinya akan bertanya: "Siapakah pengarangnya? Apakah dia sudah punya nama? dsb., dst....” Nama mengandaikan nama. Kalau begitu, bagaimana orang akan mulai kariernya? Sebaliknya bagi orang-orang yang sudah punya nama di kalangan publik, tinggal memasang namanya di setiap karyanya. Apapun karyanya, ia akan mendapat tempat. Seorang penyair tinggal memuntahkan kata-kata yang aneh, dan tak dimengerti massa. Seorang kritikus tinggal melemparkan penilaiannya. Dan, itu akan dipakai sebagai patokan. Bahkan, nama itu bisa disalahgunakan untuk karya orang lain. Ini berlaku bagi orang-orang yang punya otoritas seperti pejabat, cendekiawan, kritikus, seniman, dan semacamnya.

"Nama! Nama! Nama! Sekali lagi nama!”

Secara tak disadarinya kata-kata itu mencuat dengan keras dari mulutnya. Baru kemudian, tersadar bahwa dia telah berteriak-teriak dengan menggebu-gebu. Terhenyak dari lamunannya oleh suaranya sendiri.

"Ah, akan terciptakan orang-orang besar karena nama, koneksi, dan bukan karena prestasi di negara ini?"

Ia berdiri dan berjalan ke rumah sambil membawa kekhawatiran akan masa depan negaranya.

Selesai pulang pameran, pelukis itu mencari si Bodong, anak kecil yang telah berhasil mengelabuhi dunia. Setelah ketemu, dipanggilnya anak itu, diciumnya, dan diberinya sepeda mini. Anak itu amat sangat senang. Sejak saat itu, terjadilah persahabatan dan kerja sama antara pelukis tua dengan si Bodong, bocah ingusan itu.

Tidak ada komentar: