Jumat, 23 November 2007

Kontributor


Artikel

Agus Subhan Malma
Pekerja-pemerhati seni budaya alumnus IAIN Sunan Kalijaga, Fakultas Filsafat UGM dan sekarang tinggal di Tangerang.

Agus Sulistyo
Mahasiwa Sosiologi UAJY angkatan 2002.

Basilius Triharyanto
Mahasiswa Komunikasi UAJY angkatan 2000.

Cindy Hapsari
Mahasiswi Komunikasi UAJY angkatan 1998.

Danto
Pemerhati Lingkungan tinggal di Jogonalan Yogyakarta.

Heribertus Sulis
Mahasiwa Komunikasi UAJY angkatan 2000

Yuli Purnomo
Mahasiswa Komunikasi UAJY angkatan 2003

Wawancara

Hersri Setiawan
Sastrawan, penulis Negara Madiun, Aku Eks Tapol, Kamus Gestok dan Memoar Pulau Buru, sempat ditahan di Salemba dan Tangerang, terakhir dibuang ke pulau Buru dan kini menetap di desa Kockengen, Amsterdam.

Cerpen

Ag Wahyu
Mahasiswa Komunikasi UAJY angkatan 2000

J Prapta Diharja, SJ
Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.

Sihar Ramses
Alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga, saat ini berkerja sebagai wartawan budaya di Harian Umum Sore Sinar Harapan.

Puisi

Ag Wahyu

Catur Wibawa
Mahasiswa Fakultas Teologi Wredabhakti USD

Cindy Hapsari

Tina
Pelajar SMU tinggal di Jakarta.

Kartun

Panji
Alumnus mahasiswa komunikasi UAJY

Ilustrasi

Ag Adi Winarto
Pendiri Komunitas Pelukis Muda Borobudur, dan sekarang menjadi konsultan Borobudur Elephant Art Fondation (BEAF)

Agus Subhan Malma
Agus Sulistyo
Cindy Hapsari

Ismedi
Pelukis tinggal di Borobudur, sekarang sedang menekuni seni keramik.


Teguh Prastowo
Mahasiswa ISI Yogyakarta

Y Darmawan
Pelajar SMSR Yogyakarta

Foto

GB Peter Johan
Mahasiswa Komunikasi UAJY angkatan 1997

Artistik dan Tata Letak

Agus Sulistyo
Cindy Hapsari

Cover

Y Darmawan

Sidang Redaksi
Agus Sulistyo, Ag Wahyu, Cindy Hapsari, Heribertus Sulis, Yuli Purnomo,Contact person: +62819.311.78.457;+62815.686.9580; +62816.18.37736; +62815.7888.1216;+62815.799.2469
E-mail: jp7jalur@yahoo.com; Add: FISIP UAJY Jl. Moses Gatot Kaca No. 28 Mrican Yogyakarta, 55281. Untuk keterangan lebih lanjut hubungi contact person terdekat.

1. Cerita Pembuka, 2 Cerita Penutup

Sejak awal, aku tahu maksudmu, Kawan! Dan, senyumku tumpah tak tertahankan mengingat apa yang terbersit dalam benakku malam itu.

***
Bodoh! B-o-d-o-h ?

Apa yang barusan tetua katakan? Aku telah melaksanakan tugasku dengan baik. Sesuai perintah. Aku bahkan masih mengingat dengan jelas kata tetua. Tarik pemicu pada hitungan ketiga! Dan, suatu ledakan besar terjadi. Pasukan kita terpukul mundur. Aku tambah tak paham lagi. Tetua berdiri membelakangi tembok, dan memerintahkanku menghantam mukanya pada hitungan ketiga. Satu. Dua. Tiga. Tinjuku kuarahkan ke mukanya. Sekuat tenaga. Aduh! Tanganku bengkak memerah. Tetua memiringkan kepalanya ke kanan rupanya. Itulah yang membuatku masih mengingat perkataannya. Tetua meneriakkan kata aneh: Ingat, garda depan! Ooo, yang terpenting adalah menyelamatkan muka! Setelah meninggalkan tetua, teman-teman bertanya kepadaku mengapa pasukan kita terpukul mundur. Di depan mereka, aku menirukan kata tetua tadi. Mereka tak mengerti rupanya. Mohon dijelaskan! Katanya. Salah satu dari antara mereka. Eh, tapi di sini tak ada tembok. Baiklah aku akan menjadi temboknya. Aku butuh dua orang. Untuk memerankan diriku dan tetua. Ha, mereka melakukannya dengan baik. Sekarang, pukul pada hitungan ketiga! Satu. Dua. Tiga. Buk! Kupikir, mereka telah mengerti. Aku senang sekali. Tapi, yang tak kumengerti, mataku berkunang-kunang. Dan, dunia berubah jadi gelap. Buk! Ah, aku tambah tak mengerti.

***

Aku tahu, Kawan! Mukaku merah ungu tak terselamatkan oleh ceritamu malam itu. Sekarang, gantian aku yang akan bercerita. Namun, ini hanya cerita soal tanya-jawab teman lama yang juga mengutipnya dari sebuah buku. Mungkin, pengarangnya juga mengutipnya dari orang lain lagi. Ha-ha-ha…, ingat, yang terpenting adalah menyelamatkan muka!



***

Di hadapanku, berdiri Caesar yang telah menawan Asterix atas tuduhan spionase.:”Tahukah kamu apa yang sedang kupikirkan?” kata Caesar” Hukuman apa yang pantas bagi seorang pemberontak? Gantung atau Pancung?”

“Keduanya sekaligus, hukuman yang pantas bagi seorang pemberontak: Pancung setelah itu gantung. Atau sebaliknya.”

Caesar diam sejenak, lalu berkatalah ia,“ Keduanya, tidak mungkin. Pertama, tidak ada penjahat yang mempunyai dua leher. Kedua, tidak ada penjahat yang memiliki nyawa rangkap!”

“Anda cukup pintar, Caesar” sahutku, ” pemuda Galia pembuat Menhir ini tak perlu lagi menjawab apa yang sedang Anda pikirkan.”

Caesar tertawa. Lepas. Aku tahu bahwa nyawa Asterix itu tidak berharga baginya. Namun, jauh dari itu aku sangat tahu ia menginginkan Galia. Akhirnya, Asterix dibebaskan tanpa syarat, dan aku dijamunya untuk bercakap soal jual beli Menhir antara kekaisaran Rum dan negeri Galia.

***

Tahukah, setelah teman lamaku menceritakan hal itu kepadaku, dia tak pernah lagi muncul?Namun aku masih menikmati senyum yang tertumpah oleh karenanya. Bagaimana denganmu, Sobat?

Merayapi Dunia melalui Kerja Kebudayaan

Oleh Heribertus Sulis

“Ngomong-ngomong soal organisasi dan gerakan, menurut saya, gerakan politik itu sebenarnya tidak efisien, yang lebih efisien adalah gerakan kebudayaan. Tidak ada revolusi politik yang berhasil tanpa dibarengi atau didahului oleh gerakan kebudayaan. Karena itulah, yang terjadi pada revolusi 45 hanya bedil-bedilan saja, tradisi feodalnya masih ada sampai sekarang; padahal revolusi itu artinya menjungkir-balikkan nilai-nilai. Tapi, kok tradisi feodalnya masih tetap ada.”

Pembangunan Indonesia—semenjak Orde Baru menerapkan paradigma pembangunan modernisasi-globalisasi dan menitikberatkan proses pembangunannya dalam bidang ekonomi—telah membawa masyarakatnya ke dalam gulungan globalisasi. Kota-kota di Indonesia berlomba-lomba membangun diri menjadi sekumpulan tempat belanja yang megah dan mengkilap, dengan menarik investor sebanyak-banyaknya, dengan harapan mendapatkan suntikan modal sebesar-besarnya; pembangunan gedung-gedung megah yang tak menggubris urusan tata rancang bangun sebagai bagian dari urusan lingkungan alam dan manusia. (Yogyakarta misalkan, saat ini gaungnya malahan lebih keras terdengar sebagai surga belanja dari pada kota budaya dan kota pelajar.)

Sebagai bagian dari rangkaian pembangunan yang lebih kompleks, atau katakanlah menyeluruh, pembangunan “megah” Indonesia adalah bagian dari sebuah tantangan besar bagi manusia dan kebudayaan Indonesia dalam menghadapi globalisasi dunia. Bagaimana manusia yang terlibat di dalamnya bisa selalu menjaga jarak dan tidak kehilangan daya kreativitas oleh arus tersebut, adalah salah satu “PR” yang menjadi tanggung jawab bersama. Di bidang kebudayaan, mencakup soal kreativitas, moral dan mental manusia dan masyarakat, ini adalah sebuah tantangan berat. Pola konsumtif dalam bentuk konsumerisme gaya hidup adalah salah satu contoh.

Masyarakat, terutama anak-anak dan kaum muda, adalah sasaran paling empuk dalam pembentukan pola konsumtif ini; mulai dari model rambut, trend pakaian, konsumsi makanan, kebiasaan nongkrong, gaya bahasa hingga pernak-pernik asesoris lainnya macam piercing, hand phone, atau sepatu. Kesulitan ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan, misalnya, bukan suatu penghalang untuk menjadi bagian dari pencitraan yang mendunia ini. Seorang teman saya (masih SMA, tinggalnya di dekat terminal kecil, di dekat Tugu), demi memiliki hand phone yang katanya untuk menjamin dirinya menjadi gaul, dan supaya tidak lagi dianggap ketinggalan jaman oleh teman-temannya, rela mencuri barang yang diinginkannya itu dari salah seorang penumpang bus. Seorang teman yang lain bahkan rela mencuri uang milik ibunya sendiri untuk membeli celana “skater” gombrong yang katanya lagi ngetrend.

Gejala tersebut bisa menjadi contoh dari apa yang disebut sebagai bagian dari pembentukan citra manusia global tersebut di atas. Manusia dijejali citra asing yang bukan bagian dari dunianya, atau lingkungannya, seolah-olah ia adalah bagian dari dunia asing itu sendiri. Manusia direngkuh dalam satu bahasa yang seragam tetapi menikam: global. Anak muda dirujuk dalam satu bahasa yang menggiurkan tetapi mematikan: gaul. Penggambaran yang tampaknya berlebihan ini, jika kita mau melihatnya secara lebih jeli, sebenarnya merupakan gambaran riil yang terjadi di sekitar kita. Manusia dijauhkan dari sejarah diri dan lingkungannya, masyarakat dan budayanya. Bukan berarti yang asing itu selalu buruk, tetapi yang menjadi soal adalah keterasingan manusia dari diri dan lingkungannya tersebut, suatu kehilangan daya kreativitas di bawah bayang-bayang ilusi global.

Inilah tugas besar kita bersama, sebagai manusia, dalam menghadapi tantangan riil saat ini. Bagaimana strategi kebudayaan bisa disusun sebagai sebuah dimensi yang potensial untuk melawan dunia yang mengasingkan tersebut? Atau, pertanyaan pendahuluan yang mungkin bisa diajukan: apakah lapangan kebudayaan masih strategis untuk dijadikan sebagai sebuah kekuatan untuk melawan penindasan budaya?

Beberapa waktu yang lalu Jalur Pitu, bersama beberapa kawan, pergi mengunjungi Hersri Setiawan. Hari itu kami datang untuk memenuhi janji bertemu, dengan keterlambatan waktu selama kurang lebih setengah jam. Pertemuan yang sebelumnya kami maksudkan dalam bentuk wawancara, berubah menjadi perbincangan tukar pikiran yang mengasyikan, bersama suguhan teh dan makanan kecil dari sang tuan rumah. Pak Hersri—salah seorang kawan menyebutnya sebagai seorang tua yang santun, banyak berkisah tentang pengalamannya ketika berkiprah di lembaga kebudayaan rakyat tahun pertengahan 1950-an hingga tahun 1960-an.

Pertemuan itu memang tidak ditujukan untuk mencari jawaban atas persoalan kebudayaan yang sedang dialami oleh Indonesia saat ini, tetapi setidaknya, melalui sepotong kisah pengalaman Pak Hersri ini, kita bisa berefleksi bersama dalam melihat kondisi dan potensi kebudayaan yang dimiliki bangsa ini.

***

Setelah perkenalan singkat kami dengan Pak Hersri, kami kemudian menanyakan soal ceramah yang pernah dilakukan oleh beliau beberapa waktu yang lalu, tentang hubungan antara kebudayaan dan gerakan, dan bagaimana potensi kebudayaan yang ada di Indonesia dalam kaitannya dengan perubahan masyarakat.

”Kegiatan kebudayaan, agar bisa menjadi arah bagi jalannya kebudayaan masyarakat atau berperanan dalam masyarakat, haruslah dilakukan dalam bentuk gerakan kebudayaan. Saya akan bercerita tentang pengalaman saya ketika saya memimpin Lekra cabang Jawa Tengah, dulu. Pada waktu itu, Lekra tampil sebagai sebuah lembaga kebudayaan yang dianggap ‘berbahaya’ (sebelum Orde Baru lahir) oleh musuh-musuhnya, terutama oleh lembaga kebudayaan setingkat, yang dibekingi tentara. Mengapa sebagai lembaga Lekra dianggap berbahaya? Adalah karena Lekra berdiri sebagai sebuah lembaga yang bukan sekedar lembaga kebudayaan, melainkan lembaga gerakan kebudayaan, itulah yang membuat ia dianggap berbahaya.

Di Jakarta, mungkin kegiatan itu tidak begitu terasa di dalam organisasi, sebab kegiatan Lekra lebih didominasi oleh gerakan seniman dan sastrawan kota. Selain itu, kegiatan mereka dilakukan dengan menggunakan, misalnya, pers: untuk pembentukan pendapat umum. Di kota sasarannya adalah masyarakat kota, kelas menengah kota, pelibatan pers, dengan demikian, menjadi sangat penting peranannya. Tetapi di daerah-daerah, seperti di Jawa Barat, kegiatan budaya dilakukan lebih melalui bentuk-bentuk kesenian rakyat, seperti pedalangan, wayang atau musik (misalnya, Cianjuran). Di Jawa Tengah, Lekra itu lahir justru tidak melalui sastra, tetapi musik angklung, yang hanya memilki satu oktaf, yang dimainkan oleh anak-anak seusia sepuluhan tahun, untuk memainkan berbagai jenis lagu perjuangan. Even-even kebudayaan dan politik ketika itu selalu diwarnai oleh kegiatan kebudayaan. Dalam ceramah politik, misalnya, biasanya diselang-seling dengan kegiatan kebudayaan seperti musik angklung itu. Dalam kondisi yang demikianlah, semangat perjuangan menjadi modal bagi gerakan kami. Terutama di daerah-daerah, kegiatan seni atau kebudayaan menjadi sangat terasa, lebih terasa dibandingkan dengan yang di kota.

Kemudian Pak Hersri bercerita pula tentang pengalamannya ketika berkiprah di lapangan kebudayaan, sebelum memimpin Lekra hingga saat ia terlibat dalam oraganisasi Lekra; dan bagaimana gerakan kebudayaan itu dilakukan tidak hanya dalam arti politik saja, melainkan juga dalam arti moral.

“Ketika saya kuliah di UGM tahun pertama—belum memimpin lekra, tapi sudah berkiprah di lapangan budaya, khususnya sastra dan drama radio di RRI dengan ruang siar dua minggu sekali untuk drama radio, dan seminggu sekali untuk sastra—kegiatan kesenian yang dilakukan belum begitu terorganisir. Untuk sandiwara radio kelompok sandiwaranya bernama Remujung Lima, untuk kelompok sastra, dengan kegiatan diskusi teoritik sebulan sekali dan juga pembahasan puisi atau pembacaan esai-esai budaya, saya membentuk kelompok dengan nama Lingkaran Sastra. Mula-mula berangotakan tujuh orang lalu menjadi 150 orang. Jogja ketika itu betul-betul adalah kota kebudayaan, tidak ada bulan lewat tanpa kegiatan budaya, sehingga ada diskusi tentang kelompok kecil saya, tapi di masyarakat itu juga selalu ada kegiatan seperti lomba baca puisi, cerpen, atau ceramah kebudayaan yang tidak one way, tapi selalu ada dialog antara pembicara dan hadirin yang berasal dari kalangan anak SMA hingga dosen. Salah soerang akitivis kebudayaan dan sastra di Jogja ketika itu adalah Sutarno Y.C, anak SMA kelas dua. Kegiatan kebudayaan yang dilakukan kami biayai sendiri dari uang saku masing-masing.”

“Mengapa kebudayaan dibikin gerakan bukan saja secara politik, tetapi juga dalam arti moral? Pada tahun 1955-57 sisa-sisa gaya hidup kesenimanan gelandangan gaya Chairil, seperti kebiasaan tidak mandi, berambut gondrong, jajan tidak bayar, itu masih ada. Dan itulah salah satu hal yang kita lawan. Caranya tidak dengan ceramah tetapi dengan mengadakan kegiatan-kegiatan budaya yang konkret. Ketika saya masih tinggal di Panembahan, biasanya sore hari bersama teman-teman muda sejumlah 20-an orang, kami duduk-duduk ngopi sambil ngobrol sampai jam 12 malam. Dengan begitulah kami menghidupi kegiatan kebudayaan bersama teman-teman muda.

Demikian pun setelah saya memimpin Lekra. Dengan pengetahuan sastra dan kegiatan seni lainnya yang saya miliki, termasuk pengalaman mengajar di beberapa sekolah seperti di Taman Siswa, dan Piri, kalau pagi saya mengasuh anak-anak sebagai murid saya, kalau sore menjadi adik-adik saya. Ini bagusnya alam pergaulan ketika itu, terutama Taman Siswa, yang memang tidak membenarkan hubungan patron-klien antara guru dan muridnya, tetapi membangun hubungan pamong dan yang diemong, yaitu siswa. Jadi kita kalau di rumah sebaya.

Problem yang kita perbincangkan di rumah, dengan demikian, bisa meliputi segala macam hal: lukisan, sastra, musik. (Saya belajar lukis itu dari sanggar-sanggar, dan sanggar ini sudah termasuk sebagai suatu gerakan.) Jadi kalau kegiatan kebudayaan mau berperanan dalam masyarakat, merubah atau memberi arah bagi jalannya kebudayaan masyarakat, caranya adalah harus menjadi gerakan.”

Mengenai makna sastra (literate) yang berkembang saat ini, Pak Hersri mengungkapkan perlunya suatu definisi sastra yang tidak hanya bermakna “tulisan” = literate.
“Saya setuju kalau yang disebut sastra di Indonesia ini adalah sastra dalam arti tertulis dan tidak tertulis. Jadi lembaga budaya, khususnya sastra, yang sayang sekali sekarang sudah hilang, yaitu macapat, bisa dihidupkan kembali. Macapat ini sebenarnya ada di beberapa daerah di Indonesia, seperti Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Batak, tapi sejak Orde Baru sudah tidak ada lagi. Kegiatan ini, terutama dulu, ada di kampung-kampung setiap ada jagong bayen; meliputi kegiatan penembangan, yang kemudian ditafsirkan dalam bentuk sambung rasa antara pembaca dan pendengarnya.

Kegiatan macapatan ini sebenarnya bisa menjadi media gerakan, karena ini bisa menjadi media untuk memeratakan ide. Gerakan, pada dasarnya, adalah soal bagaimana memeratakan ide dan diberi organ, tubuh. Makanya disebut sebagai organisasi. Ngomong-ngomong soal organisasi dan gerakan, menurut saya, gerakan politik itu sebenarnya tidak efisien, yang lebih efisien adalah gerakan kebudayaan. Tidak ada revolusi politik yang berhasil tanpa dibarengi atau didahului oleh gerakan kebudayaan. Karena itulah, yang terjadi pada revolusi 45 hanya bedil-bedilan saja, tradisi feodalnya masih ada sampai sekarang; padahal revolusi itu artinya menjungkir-balikkan nilai-nilai. Tapi, kok tradisi feodalnya masih tetap ada.

Yang penting dalam suatu gerakan kebudayaan adalah potensi lokalnya. Indonesia ini merupakan satu bangsa yang memiliki (meminjam istilah Sartono dari seorang kawan—peny.) kompleks historis yang beragam. Jadi untuk melakukan gerakan di bidang kebudayaan, kita tidak usah menggagas soal perbedaan isme-isme yang ada; apakah itu realisme sosialis atau bukan, apakah itu pop atau tradisional, tidak perlu dibeda-bedakan. Yang penting adalah gerakan untuk tujuan yang sama, yaitu tetap pada komitmen sosialnya. Kalau dalam tradisi lekra itu ada semboyan mengembangkan tradisi positif. Seni itu jangan dijadikan barang dagangan. Meski tuntutan jaman membuat arah kebudayaan bisa berubah, tetapi tuntutan jaman itu tidak harus mengorbankan apa yang tidak perlu. Misalnya dalam wayang, perbincangan filosofis itu harus ada, jangan dihapus, harus tetap diadakan karena di sini isi dakwahnya. Jadi tradisi atau kebudayaan itu harus dilihat sisi positifnya. Macapat, karena perkembangan jaman, juga menjadi tidak ada peminatnya kecuali di kalangan orang-orang tua. Oleh karena itu, kita tidak harus mengembangkan macapat sesuai tradisi lama. Kita bisa mengambil modelnya untuk diterapkan dalam bentuk yang berbeda.”

Menurut Pak Hersri, dunia kita ini memang sedang berubah tak terkendali, sangat dahsyat. Tapi kita tidak boleh pesimis menghadapinya. Segala perubahan yang terjadi dalam kebudayaan jangan kita lawan secara frontal. Menghadapi dunia yang hancur ini, kita harus tetap yakin pada komitmen sosial. Tugas kita bersama sekarang adalah membangun puing-puing yang sudah terlanjur runtuh itu, yaitu dengan merayapi dunia melalui kerja kebudayaan.



Buku Catatan Sejarah: Seni dan Visi Sosial


Oleh Agus Subhan Malma



Khalayak kebudayaan di Indonesia pernah melewati pesta pora kesungguhan bermazhab yang bahkan pernah juga melanggar tata pengertian kebudayaan versi 'resmi'. Sengketa keluhuran berkesenian dan pelenaan jenak-jenak kreatif akibat dirajamnya jantung nurani masyarakat oleh kekuasaan despotik-totaliter, menghumbalang alam kesenian manusia dan bangsa Indonesia menjadi bayangan tanpa cermin, bingkai tanpa gambar, buihan kata nan kerontang, pun banjir bahasa nan garing. Mazhab-mazhab itu membeku sebagai catatan dokumentatif-teoritik yang hanya bisa membisu dalam gelaran tanya: pantaskah mazhab ini hidup, sedang ‘nama saya’ yang lahir dari dentuman-dentuman kreatif ke-seniman-an hanya dijadikan dalih untuk membuka kios-kios dagang perasaan dengan gapura dan spanduk 'selamat datang' atas nama KEBUDAYAAN? Nama-nama besar nan gagah isme-isme panjang dalam berkesenian takluk di bawah ketajaman pisau buruh pabrik cat atau penyerut tangkai kuas. Gemuruh manifesto dan pernyataan kebudayaan menggelepar di tapak kaki perkasa mesin-mesin tenun penghasil kanvas. Sementara, puisi-novel-cerpen seakan beranjak dari naluri dasar keindahan tertekuk urat ulet loper surat kabar dan penjaga kios berita yang kepanasan siang-siang. Inikah metamorfosa aforisme sastra tentang kematian pengarang (the death of author) yang menimpa ranah seni rupa kita; baik ketika berada di bawah panji negara bangsa Indonesia atau di lingkungan kesibukan bermerk dagang 'manusia zaman sekarang'?

Mari kita bicara soal vitalitas kebudayaan, khususnya seni. Vitalitas hidup macam apa yang memberikan udara segar bagi kelahiran seni dan (ke)seniman(an)? Apakah seni selalu merupakan perwujudan terakhir dari yang dinamakan hasrat, desire? Kondisi kemanusian seperti apakah yang dapat kita pastikan, bahwa apa yang kita lakukan dalam (ke)seni(an) adalah refleksi dari situasi normal kita sebagai manusia berakal segenap nurani dan menjunjung kebenaran kemanusiaan kita? Apa artinya kekuatan ekonomi-politik yang merepresentasikan kebijakan supraindividual, sedang dibawahnya, hasrat manusia diorganisasi, dan seringkali dimanipulasi atas nama rust en orde? Dapatkah kita menentukan apa yang kita lihat, semua yang kita perbincangkan, dan semua yang kita katakan benar-benar berasal dari kesadaran kita tentang masyarakat dan kehidupan manusia, yang berasal dari sudut pandang yang menentukan 'cara bicara' manusia? Lantas, siapakah yang lebih pantas untuk berbicara apa pun tentang (penilaian) seni, orang yang melukis berkeringat di hadapan kanvas dengan pallet dan cat air atau minyak di tangannya, ataukah orang-orang yang membuat mereka bisa memperoleh seperangkat alat lukis itu? Bagaimana mazhab yang mengaliri darah pencipta dan karyanya dapat dipahami? Lantas, cita mana yang membedakan keindahan senyum santun lukisan Monalisa dengan foto senyum 'ngangkat' bibir merah cantik dari wajah camera-genic Madonna? Bagaimana seni dipahami dalam disiplin ilmunya? Apakah itu terpahami dari ilmu yang menerangi keindahan atau ilmu dan disiplin tentang cantiknya keteraturan?

Dan, berbicara tentang warna, apakah benar bahwa merah dan hanya merah yang dapat merepresentasikan api semangat juang pemberontakan atau revolusi? Dapatkah kita melihat perbedaan pemahaman yang mengerangkeng visi-visi emansipatoris revolusioner ke dalam revolusionerisme baik dalam politik ataupun seni? Jadi, di manakah warna, dalam mata-pikiran kita? Apakah itu hanya efek cahaya dari hal-hal di luar diri kita, yang mengelilingi kita? Apakah warna tetap berada pada kanvas, meskipun dalam kehidupan sehari-hari kita, hingga sekarang, berpikir dalam kegelapan campuran warna sosial (baca: politik aliran) yang mengaburkan kemampuan rasa kita tentang warna-warni, pada kondisi post-development yang diklaim oleh beberapa kaum intelektual salon (salooners) sebagai kondisi postmodern?

Ketika berbicara mengenai genre estetik dalam periodesasi seni Indonesia modern sebagai sebuah titik tolak perbincangan, kita akan menemukan praktik-praktik pembajakan hasrat dan kreativitas hingga patah arang (block-till-broke) di mana ekspresi estetik hanya dikamuskan melalui identitas rekaan (artifisial) dan terkurung dalam kotak dagang bermerk yang diberi nilai sama seperti halnya apa yang disebut simbol gaya hidup. Apa yang dipahami dari kata-kata penganut ekspresionisme yang digunakan sebagai salah satu genre dalam seni murni, kiranya, cukup memadai untuk digunakan sebagai ilustrasi bagi realitas kontemporer. Tetapi, secara sederhana, mainstream tepatnya suatu percepatan yang bersifat kumulatif seni dalam situasi sejarah kontemporer membuatnya tak bisa dipisahkan dari hal-hal yang bisa kita sebut sebagai expressionita yang diakui secara mantap sebagai produk estetik-kreatif dari ungkapan seniman. Akan tetapi, apakah perbedaan sudut pandang itu terletak pada perbedaan produk material seni misalnya lukisan, ataukah perspektif itu hanya bersifat personal atau subjektif saja hingga seorang seniman seperti penyair, novelis, musisi, dan yang lainnya dapat dinilai lebih estetik dibanding hasil kerja mereka?

Dalam banyak kasus, 'pentingnya' figur kultural (budayawan) di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kuatnya belenggu rantai ekonomi-politik yang tak bisa ditentukan sebelum sisi humanitasnya mengambil peran. Beberapa budayawan membuat jalan pintas penting dengan mencantumkan namanya ke dalam beberapa genre, dan membangun banyak trends dalam gerakan kultural Indonesia tanpa membuat penetapan sejarah tentang orang-orang atau masyarakat yang ingin menjadi 'cukup beradab' sebagai sebuah bangsa yang pernah menjalani proses revolusi sosial semenjak periode kolonialisme/imperialisme.

Semua yang kita bicarakan bukan tentang bagaimana kedekatan kita sebagai pelaku budaya dengan khalayak di satu sisi, atau dengan aparat negara di sisi lain. Yang kita lakukan adalah menginsafi masalah kultural seperti apa yang dapat kita 'rayakan' bersama, entah sebagai pelukis, musisi, penyair, novelis, dan lainnya? Untuk siapa kita bekerja? Apakah itu cukup untuk memberi jawaban tentang pertanyaan dengan kredonya seni untuk seni, yang dioposisikan dengan pernyataan seni untuk masyarakat? Beberapa di antara kita telah memiliki beberapa pilihan yang baik, tetapi masih menempatkan seni lepas dari kemungkinan lari di antara dua kapal mogok yang menjadi karang di tengah lautan (missgrowed ships)?

Secara langsung dan personal, saya berpendapat bahwa 'seni sebagai visi sosial' dikonstatir untuk memberi sebuah jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan itu. Secara singkat, katakanlah, ketika kita menyebut pekerja seni [arter] (atau artist, dalam era identifikasi lama) bekerja untuk seni, kita harus menemukan beberapa kerangka yang dibentuk dengan memperlebar batas pandang cakrawala pemahaman yang lebih baik antara pekerja seni (arter) misalnya, pelukisdari nilai-nilainya: lukisannya, sajaknya, novelnya, ceritanya, dan lain-lain. Setelah itu, kita harus menghitung hubungan macam apa yang oleh orang-orang yang diidentifikasi dirinya sebagai pekerja seni dengan yang mengatakan dia adalah pekerja seni. Dengan situasi dan kondisi seperti apa kita dapat memisahkan pekerja seni atau budayawan (culturallist) sebagai sebuah keseluruhan dari salah satu kelas pruduktif dalam masyarakat, dan pekerja seni/kulturalis sebagai sesuatu produk modern dari masyarakatnya yang memiliki pengalaman hidup yang panjang di bawah tekanan berbeban berat?

Debat klasik tentang dimensi product dan pola productive dari budaya serta hubungannya dengan kelas atau sistem yang berkuasa (rulling-class/rulling system) yang terhubungkan oleh psikologi masyarakat, sepenuhnya mencukupi bagi kita untuk menemukan kembali sebuah cermin. Untuk mendapatkan pelajaran dari konteks bahasa sosio-politik, ketika setiap orang menjadi familiar dengan kata semacam “politik”, pikiran kita langsung tertuju pada orang-orang yang berada di majelis atau pejabat partai politik. Akan tetapi, semenjak kebangkitan diskursus politik praktis pada masa glasnot/perestroika atau kasus reformasi di Indonesia yang ditandai dengan percepatan persebaran informasi politik atas nama emansipasi termasuk lumpenproletariat, dalam batas yang sama dengan kesenimanan seorang, politisi sebagai identitas formalnya, memulangkan proses pemaknaan 'politik' dari gedung DPR MPR atau istana kepresidenan atau kantor-kantor parpol ke dalam kamus dimana politik yang dapat dimaknai sebagai negara kota, dan kemudian politisi sendiri memiliki makna sebagai bangsa, negara dan masyarakat yang tinggal di dalam berberbagai negara kota. Sekarang, setiap orang adalah politisi. Sebentuk revolusi diam-diam sebenarnya telah atau sedang berlangsung di wilayah keramaian opini dan media sosio-politik Indonesia oleh karena serangkaian hubungan komunikan global, dimensi yang dimilikinya semakin global pula.

Dalam konsep konvensional, kita sering menempatkan politik ke dalam kebudayaan. Itu tak jadi soal.Tetapi, revolusi macam apa yang terjadi di Indonesia secara kultural? Dapatkah kita bayangkan seberapa besar revolusi kebudayaan itu? Revolusi yang menyisakan suatu ingatan kolektif sebuah nasion setelah masa penjajahan ekonomi politik merupakan suatu kemungkinan yang terbuka. Revolusi yang memungkinkan bangsa ini terlahir kembali dari kesusahan dan deritanya, yang membangkitkan kekuatan si lemah? Revolusi dalam seni memberikan tempat yang baik bagi -isme di belakang nama ragam aliran seperti kubisme, ekspresionisme, naturalisme, dan sebagainya. Dalam simpang siur kesalahpahaman alur cerita yang biasa ditangkap dari jargon 'seni untuk seni' dan 'seni untuk rakyat' yang menjadi tema sentral perdebatan seni Indonesia modern, tiba saatnya bagi saya untuk mengajukan pendapat, yang kiranya dapat merevisinya dengan masuk ke dalam inti perbincangan kreativa produktiva dua trend seni ini.



Ada ratusan bahkan ribuan lukisan yang mungkin dibuat dengan bersandar pada salah satu alur gagasan yang terpaut satu sama lain yang menjadi cara berujar berekspresi dan merepresentasikan satu dari dua gunung trend itu. Satu di antara dua jalur ini sering diklaim menjadi pilihan ideologis pekerja seni yang sebenarnya, yang sering dipahami dari nama maupun genrenya. Maka, secara teoritik, kita harusnya tahu perbedaan paham sosialisme dan liberalisme universal, baik dalam aliran seni, realis, naturalis, pointilis, kubism, kaligrafis, dan sebagainya.

Dalam sejarah seni, dapat kita lihat sebuah genre berdasarkan periodesasinya: klasik, modern, posmodern, tradisional, individual. Namun, ada juga aliran yang tidak dapat dimasukan ke dalam beberapa sebuah periode secara kaku seperti lukisan Michael Angelo dalam Gothik. Yang menjadi pertanyaan dapatkah kita bedakan masing-masing periode, genre, metode teknisnya, juga gaya seni Indonesia?Apa betul penilaian estetik pelukis hanya didapat dari tampilan warna dan pola di kanvasnya. Tetapi, bagaimana dengan proses kreatifnya? Dapatkah disiplin artography secara meyakinkan menjelaskan posisi pelukis dari peta seni budaya murni (netral) atau relasi sosial yang sebagai sesuatu yang tak terjelaskan oleh tanpa pengabaian terhadap perlawanan kekuasaan institusi yang ada, negara, perusahaan swasta, industri, media, agama, dan sebagainya...dana sebagainya...?

Aspek yang ingin saya tekankan dalam memahami artography di sini adalah visi emansipatoris ekspresi dan representasi seni seorang arter or painter dari kehidupannya nyata sehari-hari, dari lingkaran mereka dilahirkan, belajar, bergaul, berkeluarga, dan sebagainya. Sehingga, proses kreatif yang menghasilkan banyak macam lukisan, bersama dengan kecenderungan utama mereka dan kutub pemahaman bersama atas penilaian seni mereka. Saya pikir kita harusnya tahu apa yang dipikirkan pelukis pikirkan dalam lukisan mereka. Rezim unaesthetics seperti Orde Baru memberi satu pelajaran bagi orang-orangbahkan mereka yang dikenal sebagai budayawan, pemikir, bahkan pekerja seni atau pelukissehingga seni dipisahkan dari ranah pengetahuan meskipun dua wilayah ini memang berbeda. Tetapi, keduanyatidak harus dipisahranjangkan menjadi dua karang kering hingga kegersangan kebudayaan menimpa bangsa ini. Kering pengetahuan, kerontang kesenian.

Proses konstruktif mengenali perkembangan kebudayaan-kesenian melalui apa yang saya sebut artography tersebut, kiranya dapat membantu pemahaman tentang penghargaan atas karya seni sebagai produk nurani yang diungkapkan dan difahami dalam keseluruhan hidup yang nyata di mana terbentang sesungguhnya teori sosial, politik, demokrasi, gerakan sosial, kesejahteraan, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, sejarah, salah paham ideologi menjadi kecemburuan, dan lain sebagainya.

Penghargaan atas karya menjadi sesuatu yang amat sangat penting bagi masyarakat-bangsa kita yang hari-hari ini berada di hadapan sebuah cermin besar bernama pembodohan-pemiskinan tiga puluh tahun bahkan lebih di mana kita dalam hitungan ratusan juta maupun dalam jangkaan individumenjadi nobody, tak berkarakter. Kita sudah sering melihat kesenjangan sejarah dan kesadaran tanpa bisa berbuat sesuatu. Politik perwakilan, negara kesejahteraan, perpecahan masyarakat, membuai hidup kita dalam dunia yang oleh Pramoedya disebut: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.


Apa yang saya tawarkan adalah sebuah hipotesa bahwa posisi ideologis-historis arter/painter seringkali ditentukan oleh wilayah geografis dari posisi kultural yang dimilikinya. Hubungan pemikiran antara pasir dengan beberapa cara produksi utama orang-orang di negara kepulauan seperti Indonesia adalah dasar bagi peningkatan harapan dalam proses sadar aktif tentang peningkatan budaya pasisiran yang sesungguhnya (dalam teater, puisi, tradisi lisan, dsb). Hal yang saya maksud, bagusnya gerakan budaya tidak hanya didasari oleh text book thinking melulu bosen ah!-, tetapi juga dapat menggali konteks sosial dalam ekspresi seninya.


Yang terjadi beberapa waktu belakangan, justru pencampuradukkan yang bersifat manipulatif antara ranah sosial dan ranah kebudayaan-keseniaan. Keduanya sering saling melakukan pelanggaran baik terhadap yang lain maupun terhadap diri sendiri. Contoh-contohnya: praktek pembajakan, plintiran statemen, hubungan politis-kontra-produktif antar pelaku kebudayaan, pemusnahan hak berkarya dengan stigma tentang si bodoh dan si biadab versus si pintar dan si beradab, interferensi moral dalam berkesenian, praktek (maaf) pencurian karya orang lain dengan cara yang lebih sophisticated dan mungkin juga lebih artistic dibanding kerja produktif para kreator kebudayaan karena (pencurian) dilakukan para penyelinap yang sekali waktu menggerombol di jalanan sebagai demonstran, yang sekali waktu wira-wiri di kantor-kantor pemerintahan, dan sekali waktu gojag-gajig petentengan bawa map ke negeri seberang sambil mementaskan luka anak-anak pertiwi dengan hibaan harap bantuan negara “asing” sambil melupakan bahwa negara kita juga dalam banyak hal dasar sudah menjadi negara asing bagi rakyat sahayanya. Itu mestinya yang menjadi alas-an untuk mempertahankan kesenian sebagai sesuatu yang tidak hanya berurusan dengan gedumbrang-gedumbreng bunyi-bunyi gamelan atau gitar dan siter tapi juga mempunyai jalinan yang tak bisa diceraikan dengan dunia pikir alam sadar kita sebagai masyarakat-bangsa, atau dalam ukuran “sederhana”, sebagai anak manusia, di mana ada negosiasi nilai-nilai dan dialektika para pendapat.

Pesatan teknologi media dan grafika tentu tidak bisa kita diamkan hanya menjadi bongkahan batu es kebekuan lifestyle yang membuih sebagai pembicaraan tetapi terlalu gersang untuk kita memberi minum pada kita punya dahaga kesadaran.

Kondisi pasca pembangunan yang membikin konteks kritik marxian revolusi kebudayaan Indonesia atas garis pemikiran marxisme-leninisme yang membangun dasar bagi lahirnya visi besar kebudayaan. Contohnya, Mao Tse Tung melakukan blokade ideologi masyarakat wilayah pedesaan (rural) dan pekerja urban di tempat kerja industrial ke dalam blok yang sama. Namun, revolusi kultural sebagai garda depan dan visi kepemimpinan Partai Komunis Cina semasa pemerintahan Mao yang menekankan ilmu dan praktik ke dalam nilai yang sama pentingnya, tak jarang, disalahpahami. Contohnya, pandangan proletariat revolusioner aseli tentang sejarah perpecahan kekuasaan politik ke sayap kanan dan kesalahurusannya dalam praktiknya hingga tergelar ladang pembantaian seperti yang terjadi di Kamboja, tempat Pol Pot memimpikan terciptanya masyarakat modern di atas kuburan masyarakat lama tanpa perhitungan yang jelas. Ladang merah itu pun menjadi satu genocid. Pol Pot bahkan tak membuat pernyataan publik atau resmi bagaimana tatanan masyarakat baru impiannya akan dibangun seperti apa. Bagaimana juga kebaharuan dan keusangan itu dipahami? Nyatanya, keusangan itu menyisakan tulang-belulang tengkorak. Kebaharuan itu lahir dengan membiarkan tengkorak itu bicara?

Periode Sosial terjadi ketika konsep revolusi kultural menjadi revolusi sosial melalui pemerdekaan telah membuka mata pikiran rakyat negara dunia ketiga untuk membangun tanah airnya. Secara umum, konsep ini adalah sebuah usaha para pejuang revolusioner atau para foundingfather sejarah politik Indonesia- untuk menemukan titik temu kekuatan produktif yang massif negara-negara dunia ketiga dengan sejarah panjang di bawah jerat tekanan pemiskinan imperialisme/kolonialisme. Dan, adalah sebuah tantangan menjadi negara kebangsaan modern, dengan kondisi institusional yang tidak memungkinkan akibat cacat warisan kolonialisme/imperialisme, serangkaian usaha dilakukan untuk berdiri sejajar sama tinggi dengan kemampuan kaki sendiri. Kondisi warisan institusional kolonial di Indonesia telah membikin semua proletar memaksa diri untuk melakukan ‘lompatan-lompatan’ (terlalu) besar untuk memasuki sejarah baru. Namun, nasionalisme state oriented Orde Baru tidak memberi tempat bagi setiap orang untuk berbicara nasionalisme di luar NKRI, dan asas tunggal Pancasila. Semua dari negara oleh negara dan untuk negara.

Meski demikian, pada hubungan internasional di mana ekonomi pasar menjadi pemenang, masour society consumpt tidak hanya produk material dari mode produksi industri modern, tapi juga mengkonsumsi mimpi-mimpi sosial atau imajinasi politik yang memiliki dua kemungkinan sisi, negatif dan positif. Mimpi dan imajinasi menjadi terlalu ‘mahal’ bagi kebutuhan dasar sosial dan dunia kita. Secara sederhana, saya hanya akan mengatakan bahwa selama 30 tahun di bawah rezim developmentalis: apa yang kita miliki? Apa yang bisa kita lakukan untuk hari-hari panjang yang akan datang? Sama seperti rantai tak terputus dari utang luar negeri dengan standar minimum kemampuan pemerintah dalam mengendalikan, memimpin dan membangun bangsa besar ini, dengan pertanyaan terbesar yang menjadi tugas rumah bagi para economicust and economiceurs, politikus dan politisi. Setiap orang harus membuktikan apa yang disebut dengan tanggung jawab, sebagai pribadi, sebagai warga kolektif. Dalam situasi ini, memberi orang-orang Indonesia sebuah jalan keluar dari lingkaran sub-liberated memiliki kesamaan nilai historis dengan memberi semua orang di nation-state mereka masing-masing di seluruh dunia atas nama kemakmuran, keadilan sosial, demokrasi, hak manusia dan warga.

Tahun-tahun susah di bawah kepeminpinan Suharto, hari-hari kelaparan di bawah developmentalisme, pra-edukasi pemikiran di bawah doktrin sistemik, berita sampah kekerasan, pornografi politik, economycal jurky, represi informasi yang dimanipulasi dan diulang-ulang, politik uang, aktivis sosial chicken, hipokrasi: betapa gilanya kita! Apa yang sedang kita rindukan sebenarnya? Impian pengganti dusta? Atau, kenyataan yang mengejutkan? Hanya sensasi-kah obat bagi kita yang telah lama mati rasa dan manghianatinya dengan serapah bernama uangisme yang kita salahfahami sebagai kapitalisme? Mana kekayaan sebuah nama berbunyi NUSANTARA? Adakah mimpi kita terlalu besar dan panjang untuk jam tidur kita yang selalu terganggu dengan ngelunjak-nya hasrat kekuasaan?

Kalau dalam debat postmodern, orang sering mengatakan intimnya pengetahuan dan kekuasaan, kenapa sekarang kita tidak memutar haluan kesadaran kita dan mengolah kehendak (daya, kemampuan, karsa) besar kita atas kuasa menjadi kehendak, daya, kemampuan, dan karsa akan pengetahuan. Ini kemestian. Ini pencerahan. Dan ini pula yang disebut Revolusi Kebudayaan. Ribuan buku bernama pengalaman massa siap dituliskan. Adakah kita masih akan terus memangukan nurani kita untuk zaman begini menggairahkan? Akankah kita terus memanjakan hasrat penghancuran dari kepribadian juggernaut dan memurahkan cemerlang keringat rakyat Indonesia hanya dengan pesta pora di meja kekuasaan yang telah berulangkali diselewengkan untuk pelanggaran tak terampunkan berupa pemerosokan mata kehormatan kita? Haruskan kita khianati kepatuhan jutaan kaki dan tangan kepercayaan bahwa siapa menanam bakal menuai dengan buihan dusta nyata para penghapal kata tanpa kerja yang terus memberi sifat ini pada si itu dan sifat itu pada si anu?

Kata melanggar manusia. Gambar menghianati fakta. Gambar yang digembar-gemborkan tiga puluh tahun lebih tentang komunisme membuat tak satupun orang tahu apa itu komunisme, tetapi segala bentuk kejahatan yang selama ini diterakan kepada kaum komunis dipraktikkan. Di manakah kegembiraan? Lalu, di mana kebahagiaan? Untuk ribuan remaja dan pemuda yang hari ini membaca buku-buku pelajaran di sekolah dan di rumah sementara kita tegasnya merekamencuri paksa itu kegembiraan dan kebahagiaan demi kerakusan yang ironisnya tidak pernah mereka sadari. Negara ini telah lama dikalahkan oleh mereka yang justru kalah kaya dibanding uang. Bangsa ini telah lama ditipu oleh mereka yang saking bodohnya selalu minta belas kasihan sementara di tangan mereka, di sekitar mereka, di dalam tanah di atas tanah, dan di bawah langit tempat hidup mereka, ada kesejahteraan yang merdeka, ada kemerdekaan yang mensejahterakan.

Indonesia, mana samudera limpahan karunia alammu? Bolehkah kami terus tinggal di sini sebagai makhluk yang punya hak untuk diakui dengan kerja? Indonesia, mana gemunung hangat solidaritas dan persaudaraanmu: masihkah kami layak menjadi penyendiri dan menjadi bangsa paling kucil-kucel di antara bangsa semanusia? Saksikan: zaman sudah berubah.

Salam.


Nama

Oleh J Prata Diharja, SJ

Dia duduk menerawang ke atas, dan tersenyum. Dia bakal melaksanakan rencana yang menurut dia sendiri gila. Kemudian beranjak dari duduknya, pelan-pelan melangkah ke depan. Mulai berjalan. Dia masih tersenyum-senyum memikirkan rencananya.

Nah, tiba-tiba ada gagasan muncul untuk menemui seorang anak. Siapa saja tak pandang bulu, asal dia seorang anak. Untuk kemudian langkahnya tidak tanpa tujuan: menemui seorang anak kecil. Nah, itu dia seorang anak berjalan menuju kepadanya.

"Hei, nak siapa kamu?"

Anak itu tak menjawab. Hanya tersenyum.

"Siapa namamu?”

Malah si anak mengikik sambil menggigit ketiga jari kirinya, dan berlari kecil agak menghindar dari orang tua yang berjenggot memutih dan bercambang itu. Anak kecil itu sudah tahu siapa orang tua itu dan apa pekerjaannya, namun dia senang mengganggu, dan bergurau dengannya.

"He he heee ... hik hik hik .... Mau apa kek?”

"Mau menanyakan namamu. Siapa kamu hei?"

"Namaku ...? Bodong!"

Kini kakek itu ganti terkekeh-kekeh mendengar nama itu.

"Kek, saya minta uangnya."

Kakek itu terkekeh-kekeh lagi.

"Engkau mau uang? Mari, ikut saya, asal kamu mau ...."

"Ah, nggak mau! Jangan-jangan, kau suruh aku telanjang, lalu kau gambar anuku."

Kakek itu terpingkal-pingkal lagi sambil menepuk-nepuk bahu anak itu.

"Tidak, tidak ..., mari to ikut aku."

"Segera, kekek berjalan menuju ke rumahnya. Anak kecil mengikuti agak jauh di belakangnya.

Sampai di rumah.

"Mari masuk! Duduklah!"

Sementara anak kecil itu duduk sambil mengagumi lukisan-lukisan dan hasil karya di sekitarnya, orang tua itu masuk ke ruangan dalam. Kemudian, orang tua yang masih kekar itu keluar lagi dengan membawa kain kanvas serta beberapa cat berwarna serta kuas. Lalu, ia mengeluarkan beberapa uang lima ratusan.

"Nah, kau mau ini?"

Si anak diam saja, menatap orang tua dengan penuh pertanyaan.

"Boleh kamu miliki uang ini. Nah, simpanlah dulu di dalam sakumu!"

Si anak tambah bingung ketika kakek itu memasukkan uang itu ke dalam saku celananya. Belum pernah ia memiliki uang sebanyak itu. Lalu, kakek dengan senyum lebar menepuk-nepuk bahu si anak. Tapi, dengan demikian, kini si anak itu kaku, dan merasa dibatasi ruang geraknya. Tidak bisa lagi dia mempermainkan Pak Tua.

"Nah, sekarang saya minta tolong. Gambarkan pada kain ini awan-awan seperti yang biasa kamu lihat."

"Gambarkan?" Itulah pertanyaan yang timbul di benak si anak. Bukankah dia sendiri seorang pelukis besar dan ternama? Mengapa menyuruh si anak kecil yang tak tahu menahu untuk menggambarkannya? Anak itu lama terdiam sambil menggigit jari.

"Aku tidak bisa, Kek."

Kakek itu terkekeh-kekeh.

"Tidak apa-apa Gus, sebisamu saja. Jangan takut! Ayo coba, Nak! Engkau akan kujadikan pelukis seperti saya, kalau kamu mau. Bila kamu sekiranya malu, akan kutinggalkan tempat ini, dan kau bisa senaknya menggambar. Okey? Baik."

Kemudian, kakek masuk ke ruangan dalam dengan tersenyum-senyum. Di dalam sana, dia merenung, menyusun rencana selanjutnya untuk usaha yang satu itu. Lalu, anak itu dengan sangat hati-hati dan takut mulai mencoba menggunakan cat dan mengoles kuas pada kain kanvas dengan maksud menggambar sebagaimana yang diminta oleh kakek. Setengah jam kemudian, anak kecil berteriak-teriak memanggil-manggil kakek.

"Keeek, sudaaah ..., tidak bisa ...."

Lalu, kakek datang berlari-lari dengan senyum pengharapan. Sedangkan, anak itu meringis kamalu-maluan.

Melihat hasilnya, kakek itu mengangguk-angguk sambil kedua tangannya memegang kedua lengan si anak.

"Bagus, bagus! Nah, ternyata kamu pinter! Sekarang coba di bagian ini gambarkan sebuah cakar ayam. Sini, di bagian bawah dari awan-awan.

"Kakek menoleh ke wajah anak. Terjadi, pertemuan pandangan yang kontras. Yang satu pandangan memimpin dan yang lain pandangan bertanya-tanya. Dipegangnya bahu anak itu, digoyang-goyangkan, dan diciumnya dengan kegembiraan.

"Nah, selamat bekerja!"

Kakek masuk lagi ke ruangan dalam diikuti oleh pandangan anak kecil itu. Di luar rumah, ranting-ranting dan dahan-dahan mengangguk-angguk digerakkan angin. Di dalam, lukisan-lukisan yang berbentuk topeng-topeng terasa menertawakan si bocah. Tersadar dari lamunannya, bocah itu kembali ke kanvas meneruskan kewajibannya. Dia terpaksa berusaha menggambar sebuah cakar ayam.

Setengah jam kemudian, orang tua itu datang lagi.

"Nah, bagaimana Nak?"

"Tidak bisa Kek."

"Ha, ha, haaaa .... Bagus, bagus! Sudah, sudah! Sudah cukup, Gus!"

Sambil mengangguk-angguk dielusnya kepala anak itu, sedang anak itu tak habis bertanya-tanya.

"Nah, Gus ... sekarang sudah selesai. Mau pulang atau mau melihat-lihat di sini dulu? Terserah ....Oya, ini masih ada kembang gula sedikit, ambillah! Atau, mau minum?"

"Tidak Kek, saya mau pulang saja. Sudah ya, Kek"

"Mau pulang? Oo ... terima kasih, terima kasih. Besok main ke sini lagi ya, Gus."

Si anak itu terus lari meninggalkan sanggar ciptaannya. Sedangkan, orang tua terduduk terkekeh-kekeh sendirian dengan bebasnya. Terkekeh-kekeh dan terkekeh-kekeh lagi. Diambilnya kuas kecil, dan dioleskannya sebuah tanda tangan pada bagian bawah kanan lukisan itu. Belum lama juga ia telah membubuhkan tanda tangan untuk sajak-sajak seorang penyair yang karena belum punya nama, sajak-sajaknya yang matang itu selalu ditolak oleh majalah-majalah dan koran-koran di kotanya. Setelah penyair itu menggunakan nama pelukis tua ternama yang kebetulan penyair juga, sajak-sajaknya mulai bermunculan di majalah-majalah. Lucu. Sungguh permainan yang lucu. Kini, dia benar-benar mau membuktikan thesisnya yang akhir-akhir ini menjadi buah renungannya. Tapi, itu baru akan terlaksana nanti.

Akhirnya, telah berlalu pula masa yang ia tunggu-tunggu. Pameran Tunggalnya. Dan, bakal menguji thesis yang telah diyakininya dengan pameran yang akan digelarnya di kota Metropolitan. Berarti pameran itu memiliki bobot nasional. Bahkan, internasional. Dan, kehidupan ini adalah panggung ujian yang sesungguhnya. "Non scholae, sed vitae" kata orang-orang sono. Bukan di sekolah, tetapi di kehidupan ini berlangsung ujian yang sebenarnya.

Seperti biasanya, pameran kali ini banyak dikunjungi orang. Namun, entah karena apa, mungkin karena sedang resesi ekonomi, pada pameran ini yang terbeli hanya 3 lukisan. Tetapi, lumayan harganya; bisa untuk menutup semua biaya pameran. Bahkan, masih tersisa 7 juta rupiah. Pameran tunggal sudah selesai. Kali ini, karya-karyanya yang terjual tak sebanyak yang sudah-sudah. Sungguh suatu warna yang menyolok dalam lukisan sejarah hidupnya. Barangkali, peristiwa ini tak terlupakan. Bukan karena kali ini, karya-karya yang pada pameran biasanya selalu terjual lebih dari 50%, kini hanya terjual 3 buah dari 90 lukisannya. Tetapi, justru di antara yang terjual itu, terdapat satu-satunya lukisan anak kecil itu.

"Ini sungguh lukisan yang paling modern, berseni sangat tinggi yang pernah kujumpai. Inilah versi yang merupakan perkembangan pesat dari karya-karya Bung Arifin. Suatu warna baru!"

Demikianlah komentar seorang pejabat tinggi, penggemar koleksi lukisan dari pelukis-pelukis ternama yang telah punya otoritas besar.

“Ah, tak terkatakan. Hanya bisa dirasakan, dinikmati, dan direnungkan dengan diam," lanjutnya.

Kemudian, dibayarnya lukisan itu dengan uang 5 juta rupiah. Maka, tak habis-habisnya pelukis itu tersenyum, tertawa sendirian, dan terkekeh-kekeh menertawakan kelucuan dunia.

"Memang," katanya dalam hati, "Dunia ini menilai suatu karya hanya berdasarkan otoritas penciptanya. Meski bagaimanapun bentuk karyamya, tapi kalau sang pencipta sudah punya otoritas besar dan kuat, karya itu akan selalu dihargainya. Mereka berasumsi terlebih dahulu. Bukannya karya demi karya itu sendiri, melainkan karya demi penciptanya."

Seorang penyair berbakat harus mencari nama terlebih dahulu dengan mendapatkan pengakuan dari khalayak. Untuk itu, dia mesti menulis pada majalah yang sudah punya otoritas pula, misalnya. Sedangkan, untuk bisa agar karangannya diterima di majalah, terlebih dahulu sudah diandaikan nama. Seorang redaksi yang menerima karangan, entah berbentuk cerpen, puisi, atau tulisan ilmiah lainnya, terlebih dulu dalam hatinya akan bertanya: "Siapakah pengarangnya? Apakah dia sudah punya nama? dsb., dst....” Nama mengandaikan nama. Kalau begitu, bagaimana orang akan mulai kariernya? Sebaliknya bagi orang-orang yang sudah punya nama di kalangan publik, tinggal memasang namanya di setiap karyanya. Apapun karyanya, ia akan mendapat tempat. Seorang penyair tinggal memuntahkan kata-kata yang aneh, dan tak dimengerti massa. Seorang kritikus tinggal melemparkan penilaiannya. Dan, itu akan dipakai sebagai patokan. Bahkan, nama itu bisa disalahgunakan untuk karya orang lain. Ini berlaku bagi orang-orang yang punya otoritas seperti pejabat, cendekiawan, kritikus, seniman, dan semacamnya.

"Nama! Nama! Nama! Sekali lagi nama!”

Secara tak disadarinya kata-kata itu mencuat dengan keras dari mulutnya. Baru kemudian, tersadar bahwa dia telah berteriak-teriak dengan menggebu-gebu. Terhenyak dari lamunannya oleh suaranya sendiri.

"Ah, akan terciptakan orang-orang besar karena nama, koneksi, dan bukan karena prestasi di negara ini?"

Ia berdiri dan berjalan ke rumah sambil membawa kekhawatiran akan masa depan negaranya.

Selesai pulang pameran, pelukis itu mencari si Bodong, anak kecil yang telah berhasil mengelabuhi dunia. Setelah ketemu, dipanggilnya anak itu, diciumnya, dan diberinya sepeda mini. Anak itu amat sangat senang. Sejak saat itu, terjadilah persahabatan dan kerja sama antara pelukis tua dengan si Bodong, bocah ingusan itu.

Tlon, Uqbar dan Orbis Tertius: Ensiklopedia Labirin Imaji Jorge Luis Borges

Oleh Agus Sulistyo

The visible universe was an illusion or, more precisely, a sophism. Mirrors and fatherhood are abominable because they multiply it and extend it 1.

Petikan itu kutemukan dalam Encarta ketika satu per satu kata Tlon, Uqbar, dan Orbis Tertius kumasukkan secara bergantian dalam search engine yang tersedia. Kutipan itu kutemukan berkat denyar pikir penasaranku atas judul tulisan Borges yang kubaca dari terjemahan Hasif Amini. Sementara itu, Hasif 2 - temanku yang mengaku pernah bertatap-muka dengannya menyebutnya demikian- menerjemahkannya, “...alam semesta kasatmata ini adalah suatu ilusi atau (tepatnya) sebentuk sofisme. Cermin dan dan hubungan suami istri sama buruknya karena keduanya melipatgandakan dan menyebarluaskan alam semesta3.”

Dalam terjemahan tulisan George Luis Borges (1899-1986) itu, diceritakan bahwa kata-kata itu keluar dari mulut Adolfo Bioy Casares (1914-1999) di gagang telepon setelah menemukan jilid XLVI The Anglo-American Cyclopaedia di Buenos Aires. Bioy bermaksud meyakinkan Borges tentang bunyi kutipan salah seorang cendekiawan penyebal -anonim- di Uqbar pada percakapan seusai makan malam yang berakhir menggantung. Mereka berdua berbincang panjang lebar tentang kemungkinan menulis novel dengan pencerita orang pertama di mana dia menghilangkan atau menyelewengkan fakta-fakta, dan bermain-main dengan kontradiksi sehingga hanya segelintir pembaca -sangat sedikit pembaca- yang mampu menangkap kenyataan banal yang mengerikan dibalik novel tersebut...

‘Seperti laba-laba, yang membangun rumahnya sendiri’, begitu Borges mengutip Alquran XXIX:41. Itu kutemukan di cerpen lain, halaman sebelumnya dalam tulisan terjemahan Hasif yang diberi judul mencurigakan: Ibn Hakkan al-Bokhari Mati di Dalam Labirinnya Sendiri 4. Dan, sekarang gantian aku yang mengutip awal ceritanya:

“Kira-kira seperempat abad yang lalu,” kata Dunraven, ”Ibnu Hakkan al-Bokhari, pemimpin atau raja entah suku apa di sekitar Sungai Nil, tewas di ruang tengah rumah ini di tangan sepupunya Zaid. Setelah sekian lama, fakta-fakta di seputar kematiannya masih saja tidak jelas.”

Uwin, seperti biasanya, bertanya mengapa demikian.

“Ada beberapa alasan,” jawabnya,”Pertama, rumah ini adalah sebuah labirin. Kedua, ia dijaga oleh seorang budak dan seekor singa. Ketiga, setimbun harta karun di sana lenyap. Keempat, pembunuhnya pun tewas ketika pembunuhan itu terjadi. Kelima....“

Capai mendengarkan, Uwin langsung memotong.

“Jangan melipatgandakan misteri,”katanya. “Tapi pertahankan sesederhana mungkin! Ingat surat curian (Allan) Poe (1809-1849); ingat bilik terkunci Zangwill!”

“Atau jadikan sekompleks mungkin “ tukas Dunraven. “Ingat alam semesta.”

Ha, kata lain yang mungkin lebih tepat adalah perihal sepele yang disembunyikan -ditutup-tutupi- dengan fakta-fakta yang dahsyat? Astaga, kerut-kening dan kerja keras usaha untuk menemukan jejak-jejak fakta itu tidak sebanding dengan nilainya? Aku sepakat dengannya, itu mengerikan; membuatku tersenyum pilu oleh karena rasa pusing yang aneh. Bagaimana itu terjadi? Ha-ha-ha, aku coba meniru-niru Borges sekarang....

I
Uqbar dan Tlön


Borges mengaku menemukan Uqbar -astaga, dikatakannya, itu terjadi lima tahun lampau terhitung dari waktu ia mengatakannya- berkat pertautan antara selembar cermin dan sejilid ensiklopedia. Dikatakannya, cermin itu tergantung di ujung koridor sebuah rumah di jalan Ganoa di kawasan Ramos Mejia. Keduanya -cermin dan sejilid ensiklopedi itu- terpaut oleh lontaran Bioy pada suatu makan malam: salah seorang cendekiawan penyebal di Uqbar berpendapat bahwasanya cermin dan senggama sama buruknya karena keduanya memperbanyak jumlah manusia. Namun, artikel mengenai Uqbar seperti apa yang dikatakan Bioy, tidak ditemukan dalam The Anglo-American Cyclopaedia yang ada dalam rumah sewaan tempat mereka berbincang -seperti yang disebutkannya sebagai sumber acuan kata-katanya. Bahkan, Bioy pun tak menemukannya pada jilid Indeks. Beberapa hari setelah memberitahukan Borges melalui telepon dari Buenos Aires bahwa ensiklopedi yang dimaksud telah ada di tangannya, Bioy mendatangi Borges, dan menunjukkan empat halaman artikel tentang Uqbar.

Kalimat yang dikutip Bioy mungkin satu-satunya bagian yang menakjubkan. Selebihnya, tampak sangat masuk akal, selaras dengan keseluruhan corak penulisannya, dan (alhasil) agak membosankan. Di balik kerapian gaya prosanya, terdapat suatu kekaburan mendasar. Begitulah komentar Borges.

Dari empat belas nama yang tertera di bagian geografi, Borges dan Bioy hanya mengenali tiga -Khurasan, Armenia, Erzurum- yang dihubung-hubungkan dalam teks secara membingungkan. Dari nama tokoh-tokoh sejarah, hanya satu: Smerdis, ahli sihir gadungan, yang dikilaskan lebih sebagai kiasan. Tulisan tersebut sepertinya hendak menegaskan juga batas-batas wilayah Uqbar namun dengan menggunakan acuan-acuan samar, yakni sungai-sungai dan kawah-kawah dan jajaran pegunungan yang termasuk di dalam wilayah itu juga. Dataran rendahTsai Khaldun dan Axa Delta menandai batas selatan, serta di pulau-pulau sekitar delta itu hidup dan berkembang biak kuda-kuda liar. Di bagian sejarah (halaman 920), tertulis, para penganut paham ortodoks mengungsi ke pulau-pulau itu akibat suatu penyiksaan religius pada abad ke-13; prasasti-prasasti yang berupa batuan cermin dari dalam tanahnya, bisa ditemukan hingga sekarang. Satu hal yang hal yang layak dicatat: disebutkan bahwa sastra Uqbar bercorak fantasi dan epik serta legenda-legendanya tak sedikit pun merujuk pada realitas melainkan pada dua wilayah imajiner bernama Mlejnas dan Tlön....

Astaga, ini satu-satunya petunjuk yang mempertautkan Uqbar dengan Tlön: bahwa Tlön -selain Mlejnas- merupakan wilayah imajiner yang menjadi rujukan (referensi) bagi sastra di Uqbar yang bercorak fantasi dan epik.

Namun, menurut Borges, ensiklopedi tersebut dinamai secara menyesatkan: The Anglo-American Cyclopaedia (New York, 1917), cetakan ulang dari Encyclopaedia Britanica edisi 1902 -alhasil sama persis namun menyimpang. Yang dibawa, Bioy memang Jilid XLVI The Anglo –American Encyclopaedia. Diamatinya, pada halaman su-judul dan gigir sampul, tanda urut abjadnya (Tor-Ups) sama dengan ensiklopedi yang ada dalam rumah sewaan tersebut, tetapi jumlah halamannya bukan 917 melainkan 921. Empat halaman tambahan yang tidak tercakup dalam jilid indeks maupun abjad tersebut berisi tentang Uqbar. Meskipun sebelumnya Bioy mengatakan bahwa itu suatu wilayah di Irak atau Asia Kecil, pencarian yang sia-sia ke dalam atlas terbaik dunia Justus Perthes meneguhkan keraguan Borges terhadap Bioy. Dia menduga negeri tak terdaftar serta tokoh penyebal anonim tadi tentu rekaan (yang timbul dari kesahajaan) Bioy untuk memperkuat pernyataannya. Namun, teks itu telah ada di depan matanya. Itu mendorong penelusurannya ke seluruh isi perpustakaan nasional. Namun, hasilnya nihil. Bahkan, setelah menemukan ensiklopedi yang sama di sebuah toko buku, Carlos Mastronardi -yang telah diberitahu Borges soal ini- tak menemukan artikel tersebut di dalamnya.

Akhir babak ini tidak memuaskan, bukan? Itu pun berlaku bagi Borges. Namun, terbuka pula bahwa ini sebuah kesengajaan. Kata lain yang lebih tepat adalah ‘trik’ pencerita -siapa lagi, kalau bukan Borges- untuk membuat pembacanya tetap bertahan. Alasan yang dapat aku rumuskan -sebagai pembaca-: keterkaitan keduanya (Tlön dan Uqbar) belum kutemukan sesuai dengan judul yang telah tertera, dan terlanjur membuatku jatuh penasaran.


II
ORBIS TERTIUS dan Tlön


Dalam terjemahan Hasif, dicantumkan keterangan tambahan (apendiks) bahwa orbis tertius adalah nama untuk planet bumi dalam kosmografi di jaman Renaisans. Kata orbis berasal dari kata benda latin yang berarti lingkaran -kata ini lazim dirangkaikan dengan kata terrarum yang kemudian diartikan seluruh bumi-, sedangkan, kata tertius merupakan kata bilangan tingkat (numeralia cardinalia)5 yang berarti ketiga. Maka, secara harafiah kata itu berarti lingkaran atau bumi ketiga. Apakah istilah ini digunakan Borges untuk negara dunia ketiga? Borges tidak berkata demikian secara eksplisit.

Tulisan itu ditemukan Borges (berupa inskripsi) di atas cap biru berbentuk oval -tentu gambar bola dunia- di halaman pertama ensklopedi berbahasa Inggris 1001 halaman: A First Encyclopaedia of Tlön. Volume XI. Haer to Jangr. Ia menemukannya di pojok bar dalam bentuk paket yang tercatat dari Brazil. Paket itu ditujukan kepada Herbert Ashe -insinyur jawatan kereta api daerah selatan, yang juga teman catur dan tukar pinjam buku ayah Borges- yang meninggal akibat pendarahan gondok nadi beberapa hari sebelumnya -tercatat September 1937. Kenangan yang masih tersisa adalah dua topik percakapan yang pernah terjadi: tentang sistem bilangan duodesimal (dimana 12 ditulis10): Ashe mengatakan dia sedang menyalin tabel duodesimal ke dalam sistem seksadesimal (dimana 60 ditulis 10) atas tugas dari seorang Norwegia di Rio Grande do Sul, serta tentang capanga dan asal usul kata gaucho dari bahasa Brazil. Alhasil, keduanya berakhir menggantung.

Sampai disini saja bagiku, petunjuk keterkaitan antara Orbis Tertius dan Tlön telah terjawab: keduanya terkait oleh sejilid ensiklopedi: A First Encyclopaedia of Tlön. Volume XI -dan (cukup mencurigakan) dalam edisi bahasa Inggris Bukankah Uqbar dan Tlön sebelumnya juga demikian? Apa lagi, Secara provokatif, Borges mengatakan bahwa di tangannya telah tergenggam sebuah fragmen utuh sejarah planet tak dikenal, lengkap dengan beragam arsitektur dan kartu kocoknya, keseraman mitologi-mitologi dan berbagai dialek bahasanya, para penguasa dan samudera-samuderanya, aneka mineral dan burung-burung serta ikan-ikannya, aljabar dan apinya, perdebatan-perdebatan teologi dan metafisikanya. Ha, uraian tentang hal ini, harusnya, lebih memuaskan dari pada ensiklopedi bajakan kepunyaan Bioy... ,yang katanya dibelinya pada sebuah bazaar.

Dalam jilid (volume) XI ensiklopedi tersebut, terdapat bagian-bagian yang menjadi rujukan atas jilid sebelum atau sesudahnya. Nestor Ibbara6 menyangkal adanya jilid-jilid tersebut dalam salah satu artikel (di N.R.F7), namun Ezequel Martinez Estrada8 dan Drieu La Rochele9 kemudian menyanggah penyangkalan secara lebih meyakinkan. Pendapat keduanya tidak mengubah fakta yang terjadi: bahwasanya tak ada satu petunjuk pun yang mengarah pada titik terang keberadaan jilid-jilid lainnya. Penelusuran di perpustakaan-perpustakaan di Amerika Selatan, Amerika Utara, dan Eropa telah dilakukan. Hasilnya masih juga nihil. Bahkan, Alfonso Reyes (1889-1952), saking kesalnya, mengusulkan untuk menyusun kembali jilid-jilid yang telah raib itu. Satu generasi ahli Tlön cukuplah; begitu katanya. Cetusan ini mengantar Borges ke pembayangan bahwa dunia ajaib itu adalah karya suatu kelompok rahasia yang terdiri dari para astronom, biolog, ahli teknik, metafisikawan, ahli kimia, ahli aljabar, moralis, pelukis, ahli geometri, yang dipimpin seorang genius yang tidak dikenal namun memiliki kecanggihan daya cipta sehingga mampu mengorganisasikannya ke dalam suatu rencana ketat dan sistematis. Tentu, Borges memperkuatnya dengan penyangkalan terhadap hipotesis pencipta tunggal Ensiklopedi ajaib itu. Ha, dia menambahkannya sebagai sosok ilahi Baron Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716) yang diam-diam berkerja sendirian. Nah, apakah penolakannya itu terkait dengan penolakan pandangan spekulatif Leibniz (monadologinya) tentang harmoni yang telah ditetapkan sebelumnya, yang bersifat rasional dalam kaitannya dengan monad pertama (allah)10?

Ini mengingatkanku kembali kepada kata-kata Dunraven. Jadikan sekompleks mungkin; ingat alam semesta? Apalagi, Borges juga menambahkan bahwa mula-mula Tlön tampak seperti suatu khaos luar biasa, hasil permainan imajinasi yang liar dan gila; namun berangsur-angsur memang kelihatan sebentuk kosmos....

Konsep tentang alam semesta Tlön berpijak pada idealisme. Itu dilukiskan Borges dengan penyangkalannya terhadap uraian David Hume (1711-1776), bahwa sesuatu tidak dapat dipahami sebagai keseluruhan11 –dan dengan demikian ia hendak menunjukan perimaan terhadap argumen George Berkeley (1685-1753). Namun, kemudian, yang terpapar selanjutnya justru menunjukan peneguhan argumen Hume tersebut. Dunia merupakan aneka rentetan tindakan yang berdiri sendiri, bersifat berurutan dalam rentang waktu (temporal), dan bukan sekumpulan objek dalam ruang (spasial). Maka, proses mencerap (mengindera) segumpal asap di langit, api yang berkobar di sebuah dataran serta sebatang puntung cerutu yang menyebabkan kebakaran semata-mata dianggap sebagai contoh asosiasi gagasan. Pertautan gagasan tersebut tidak memepengaruhi, atau menerangi keadaan sebelumnya. Alasannya, setiap keadaan pikiran tidak dapat direduksi, bahkan tindakan menamai sesuatu hal (ke dalam sistem klasifikasi) sekaligus memuat penyangkalan terhadap hal tersebut. Maka, lenyaplah keabsahan ilmu-ilmu.

Paradoksnya, masih ada ilmu pengetahuan, bahkan ditemukan tak terbilang banyaknya. Dalam filsafat Tlön, berlangsung pula proses yang sama dengan apa terjadi pada kata benda dalam bahasa belahan utara. Kata benda dibentuk dengan menggabungkan macam-macam kata sifat. Dicontohkan Borges, untuk menunjuk kata bulan (kata benda) digunakan serangkaian kata sifat: “bulat-terang-bening-atas-kelam” atau “jingga-pucat-di-luas-langit“ atau rangkaian kombinasi kata-kata sifat lainnya. Sehingga, kenyataan tak diakui adanya kata benda justru menyatakan pelipatgandaannya dalam jumlah yang nyaris tak berhingga. Untuk menunjukkan kembali paham idealisme Tlön, Borges juga menambahkan bahwa objek benda (material) nyata yang dijadikan referesi adalah kasus istimewa. Soalnya, perangkaian kata benda dan sifat yang lazim terjadi mengacu pada objek-objek abstrak.

Ha, ini membuatku ternganga....Artinya, peneguhan argumen Hume tersebut ternyata memang kemudian mengantarkan kembali pada penggebahan terhadapnya. Dan dengan demikian, itu kembali memperkuat argumen keberadaan jilid-jilid lain ensiklopedi tersebut –meski perbincangan ini kemudian menjadi tak menarik lagi.

Persoalannya, justru ada pada pada batas kesadaran bahwa suatu sistem selalu berada di bawah subordinasi alam semesta dalam satu aspek ‘tertentu’. Argumen ini didasari oleh kemustahilan terangkumnya waktu sekarang dan lampau. Masa datang hanyalah pengharapan masa kini, dan masa lampau tak lebih dari ingatan masa kini. Ditambahkannya bahwa aliran lain menyatakan, seluruh waktu telah berlangsung, dan hidup cuma secercah ingatan redup, rusak atau terbuka juga pada kemungkinan kekeliruan; sementara, waktu mengalir tak terulang. Ada pula aliran pemikiran yang menarik sisi kelamnya sebagai karya makhluk setengah dewa yang lahir dari perselingkuhannya dengan iblis. Sementara, muncul juga gagasan para pelarian yang bersembunyi di balik sistem sandi semesta yang menyatakan kebenaran hanya sekali tiap tiga ratus malam. Dan, sisanya menganggap setiap orang adalah dua orang yang dipisahkan oleh ruang namun dihubungkan oleh aliran waktu yang sama. Namun, Borges terlanjur menyatakan suatu pernyataan bahwa para metafisikawan Tlön tidak berikhitiar untuk mencari kebenaran tetapi mencari kebenaran atau serangkaian upaya untuk mendekatinya tetapi berlomba-lomba mengejar kedahsyatan. Dan, lagi-lagi secara provokatif, dia menambahkan bahwa filsafat Tlön adalah cabang dari sastra fantasi. Apakah ini cara Borges menghindari lubang nihilisme yang ditinggalkan Hume?

Meski gagasan Zeno di tolak dengan mengajukan Hume, sebagai metafor gagasannya yang agak berlebihan, paradoks Zeno dari Elea (abad kelima SM) dipakainya untuk memasukkan suatu kasus sofistikasi yang disebutnya skandal materialisme:

Pada hari selasa, X melewati sebuah jalan lengang dan kehilangan sembilan keping koin tembaga. Hari Kamis, Y menemukan di jalan itu empat koin, agak berkarat akibat hujan hari Rabu. Hari Jumat, Z menemukan tiga tiga koin di jalan tadi. Jumat pagi, X menemukan dua koin di koridor rumahnya. [Sang penyebal mencoba melakukan deduksi, dari cerita ini, tentang realitas -yakni kontinuitas- sembilan koin yang ditemikan kembali itu.] Sungguh muskil [tandasnya] membayangkan empat dari sembilan koin tersebut tidak eksis antara Selasa dan Kamis, tiga koin antara Selasa dan Jumat, tiga koin antara Selasa dan Jumat, dua koin antara Selasa dan Jumat pagi. Adalah logis berfikir bahwa kesemuanya eksis -setidaknya secara rahasia, tersembunyi dari pemahaman manusia— pada setiap saat dari tiga rentang waktu tersebut.

Sudah tentu, kasus itu disebutkan sebagai skandal materialisme. Soalnya, kata kuncinya: konsep tentang alam semesta Tlön berpijak pada idealisme. Namun, terbuka juga bahwa persoalan ini menandai polarisasi monisme ke dalam monisme materialis dan monisme spiritualis. Gagasan yang kemudian dianggap Borges mendapatkan tempat bagus: subjek tunggal adalah setiap makhluk di alam semesta dan makhluk-mahkluk ini merupakan organ-organ dan topeng Sang Maha Kudus. X adalah Y dan Y adalahZ. Z menemukan menemukan tiga koin karena ingat X telah menghilangkannya; X menemukan dua koin di koridor karena dia ingat koin-koin lainnya telah ditemukan….

Alhasil, jilid XI tersebut mengungkapkan tiga ulasan yang menentukan keberjayaan pantheisme. Pertama, penolakan atas solipsisme (ajaran yang menyangkalan adanya realitas diluar diri sendiri), kedua mempertahankan landasan psikologi ilmu-ilmu; ketiga, kemungkinan mempertahankan pemujaan kepada para dewata.

Namun, seperti yang sudah-sudah, pengungkapan ini bukanlah jawaban final yang ultim karena pengungkapan berarti membuka kemungkinan untuk kembali menggebahnya atau kembali melipatgandakan persoalan. Satu pertimbangan yang bagiku sangat mungkin, Borges telah memiliki simpati yang besar terhadap Berkeley, filsuf dan rohaniwan Irlandia, pendukung idealisme bahkan solipsisme, dan penentang empirisme John Locke (1632-1704). Idea-idea abstrak yang ditarik dari objek konkret berada di luar kesadaran subjek Locke ditolak Berkeley dengan mengajukan gagasannya bahwa idea dan objek yang diacu tersebut berasal dari ide dan kesadaran yang sama. Jadi, yang ditolak dari Locke adalah pembedaan antara pengalaman yang berasal dari objek dan idea sebagai apa yang dicerna subjek. Penolakan terhadap pandangan metafisis yang tidak dapat dipersepsi secara umum dikenal dalam ucapannya: esse est percipi (being is being perceived). Arti yang lebih jauh, dunia material sama dengan idea-idea kita sendiri. Ini kemudian yang ditangkap sebagai solipsisme. Pemutlakan terhadap subjek ini memancing banyak orang untuk memahaminya sebagai pengikut rasionalisme, namun prinsip pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman membuatnya kelihatan sebagai pengikut empirisme12.

Namun, fakta yang disodorkan Borges kemudian: bahwasanya George Berkeley merupakan salah satu nama yang tercantum dalam suatu kelompok rahasia abad 17 dengan tekad penuh suci –dikatakan pada suatu malam pertemuan di Lucerne London- berencana untuk mendirikan sebuah negeri (khayali). Perjanjian turun temurun itu berjalan baik. Pada tahun 1824 seorang anggota dari kelompok itu bertemu dengan Ezra Buckley, seorang hartawan asketis di Memphis, Tennnense. Buckey bersedia membantu dengan hartanya dengan syarat: mahakarya itu tidak akan bersekutu dengan Yesus Kristus. Buckley tewas diracun pada tahun 1828; pada tahun 1914, kelompok itu menyerahkan jilid akhir dari 40 jilid A First Encyclopaedia of Tlön kepada anggotanya yang berjumlah tiga ratus orang. Ensiklopedi itu ditulis masih dalam bahasa Tlön. Revisi atas dunia khayali ini untuk semetara dinamakan Orbis Tertius. Fakta itu ditemukan di selembar surat berstempel Ouro Preto yang ditandatangani oleh Gunnar Erfjord, terselip di antara halaman-halaman buku karya Hinton kepunyaan Herbert Ashe. Dengan demikian, dikatakan bahwa hipotesis Martinez Estrada benar. Dan, sekitar tahun 1944, seorang yang sedang mengadakan riset untuk koran The American menjumpai ke-40 jilid tersebut.

Kembali berbicara tentang sastra Tlön, Borges mengungkapkan bahwa karya fiksi Tlön hanya memiliki satu alur cerita dengan kemungkinan permutasinya. Kata lain yang lebih cocok untuk permutasi adalah pencerminan (refleksi) atau persenggamaan. Jika dunia materi adalah ilusi, melipatgandakannya berbahaya, sama halnya menyusun labirin bagi dirinya sendiri. Petunjuk ini kutemukan dalam cerpen karya Borges yang berjudul Taman Bercecabang13:
..........................................................................................
Barangsiapa hendak melaksanakan perbuatan laknat harus dibayangkan olehnya bahwa perbuatannya telah terlaksana, serta telah ditetapkan atas dirinya suatu masa depan sekokoh masa silamnya.
..........................................................................................
Maka, bertempurlah para pahlawan itu, damai hati mereka, berdarah pedang mereka, dan baginya takdir telah ditetapkan untuk membunuh dan terbunuh di medan laga.
..........................................................................................
Bagiku, harusnya sandaran itu cukup kuat bagi Yu Tsun dalam menyelesaikan misinya untuk membunuh Stephen Albert untuk menunjukkan nama kota rahasia yang harus diserbu: Albert.
..........................................................................................
Aku tinggalkan untuk beragam masa depan (bukan untuk semua) taman jalan setapak bercecabang ini.
..........................................................................................
Dalam tiap kali seseorang dihadapkan beberapa alternatif, dia memilih salah satu dan meninggalkan yang lain; dalam fiksi Ts’ui Pen, dia memilih -sekaligus semuanya. Dengan cara ini, beliau menciptakan berbagai masa depan yang berbeda-beda, waktu yang beraneka, masing-masing terus berkembang biak dan kian bercabang-cabang.
..........................................................................................

Namun, diceritakan bahwa sebelum hukuman gantung dilaksanakan, rasa ngilu dan sesal masih merayapi kedalaman hati Yu Tsun.

***
Maka tahun khayali itu
Menggelar kesalahan, dan kebenaran baru,
Menggulung yang lama, sebaliknya;
Semua orang adalah penari dan langkah mereka
Berduyun ke dentang gong yang keras
Membahana14

—William Butler Yeats (1865-1939), The Tower.
Epilog:

Suatu masa silam fiktif mulai menggusur masa silam lain dalam ingatan buram, dan menghapus sejarah yang pernah dituturkan di masa kanak-kanak. Dan, kenyataan takluk di bawah penggambaran yang beraneka ragam, dan siap bagi aneka ragam penggambaran terhadapnya.

Ah, sepuluh tahun silam (1930-an), setiap simetri yang mencerminkan suatu keteraturan -materialisme dialektis, antisemitisme, Nazism- sudah cukup memabukkan pikiran manusia. Apa lagi yang bisa dilakukan selain menyerahkan diri ke bawah kuasa Tlön dengan kehidupan yang teratur sempurna? Tlön adalah suatu labirin rekaan manusia, permainan tingkat ahli catur. Ah, benar juga kata Borges, Tlön, Uqbar dan Orbis Tertius -bagiku ketiganya- terpaut oleh dua jilid ensiklopedi dan ilusi kaca cermin di antara semerbak bunga sedap malam di Hotel Adrogué, tempat Borges menikmati hari-hari tenteram dan sunyi.

Yogyakarta, Mei 2005

Catatan Akhir

1Appears in a quotation about reality, Jorge Luis Borges (1899 - 1986), Argentinian writer and poet., Ficciones, "Tlön, Uqbar, Orbis Tertius", Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved.

2Lihat Amini, Hasif, Labirin Impian, Yogyakarta:LKiS, 1999, hlm 18-43. Terjemahannya saya jadikan referensi utama dalam tulisan ini, dan juga sebagian saya kutip secara utuh dengan sedikit perbaikan demi mengantar pembaca kepada pendapat saya tentang Borges namun juga penghargaan atas karyanya serta tak lupa hasil penerjemahan Hasif Amini.

3 Bandingkan dengan sumber terjemahan yang digunakan Hasif dari teks berbahasa Inggris oleh James E. Irby, The Labyrinth: Selected Stories and Other Wrintings Jorge Luis Borges, Middlesex England: Penguin Books Ltd., 1964,p. 28,”… the visible universe was an illusion (or more precisely) a sophism. Mirror and fatherhood are abominable because they multiply and disseminate that universe.”

4Amini, Hasif, ibid., hlm.1-15.

5Wanamaja SJ, J., Elementa Linguae Latinae III, Surabaja: P.N. Karya Tjotas.1964.

6 Tokoh itu tidak aku temukan baik dalam Encarata, Encylopaedia Britanica (baik yang berbentuk buku maupun CD-Rom) ataupun Encyclopedia Americana.

7 N.R.F atau La Nouvelle Revue française, merupakan jurnal sastra dan seni terkemuka di Prancis pada masa perang dunia ke II yang didirikan pada bulan Februari 1909 oleh André Gide, Jacques Copeau, and Jean Schlumberger. Awalnya, jurnal ini bersifat independen; setelah kependudukan Jerman pada tahun 1940, juranl ini menjadi pro-fasis dibawah editor Pierre Drieu La Rochelle (Encyclopaedia Britanica Deluxe Edition CD-Rom)

8 Ezequel Martinez Estrada (1895-1964) adalah seorang penyair Agentina; salah satu karyanya yang terkenal, Radiografía de la pampa (X-ray of the Pampa). Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved.

9 Pierre Drieu La Rochelle (1893-1945) adalah seorang penulis Prancis, yang hidup dan karyanya (novel, cerita pendek, dan esai-esai politik) menggambarkan kecarutmarutan orang-orang muda pada masa perang dunia pertama. Ia pernah terlibat dalam gerakan surealis Prancis. Ini tampak dari karya-karyanya: L'Homme couvert de femmes (1925; “The Man Covered With Women”), dan Le Feu follet (1931; The Fire Within, or Will o' the Wisp; filmed by Louis Malle in 1963). La Comédie de Charleroi (1934; The Comedy of Charleroi and Other Stories), sebuah memoar tentang perang; Rêveuse bourgeoisie (1937; “Dreamworld Bourgeoisie”); novel terbaiknya, Gilles (1939) adalah karya-karyanya belakangan. Namun, pada masa perang dunia kedua ia memiliki simpati terhadap fasisme (Encyclopaedia Britanica Deluxe Edition CD-Rom)

10 Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000, hlm.666-672. Itu juga dapat dilihat pada Bakker Anton, Ontologi Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan, Yogyakarta, 1992, hlm 32.

11 Bdk. Suseno, Franz Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius,1992, hlm.74; Atau dapat dilihat dalam Hardiman, Budi F., Filsafat Modern: dari Machiaveli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004, hlm. 85-93.

12Bdk. Hardiman, Budi F., Ibid., hlm.82-85.

13 Amini, Hasif, ibid.,hlm.44-61.

14 Petikan ini diambil dari cerpen Borges yang berjudul Tema Penghianat dan Pahlawan, Ibid.,hlm.76

Kisah Burung Dara Putih dan Sebuah Lukisan

Oleh Sihar Ramses Simatupang



Tidak pernah ada yang tahu, burung dara putih milik siapa yang kerap keluar dan terbang dari rumah itu. Orang-orang kota ini hanya tahu bahwa seekor demi seekor burung dara selalu keluar dari rumah, dan terbang pergi dengan memperlihatkan kedukaan di wajahnya.

Burung yang usianya sangat muda, terlihat indah bulunya, terbang dan menghilang ke langit lepas. Terbang dan tak pernah lagi kembali.

Rumah itu memang sejak dulu tanpa penghuni. Tak ada suara, kecuali mereka sering mendengar setiap waktu selalu saja ada suara burung piyik mencicit sebelum akhirnya seekor burung dara putih muda muncul tiba-tiba dari wuwungan rumah, dan hinggap sejenak untuk kemudian terbang dan pergi.

Suara cicit piyik itu kadang teramat enak untuk didengar, terkadang mirip sebuah keluhan dan kerinduan. Suara yang terdengar mulai pagi, siang, sore, namun berhenti di saat malam hari. Agak lain dari biasanya, suara itu memang bukan misteri dan ganjil, yang mengundang tafsir takhyul buat sekelilingnya.

Tidak setiap orang adalah penduduk asli di sekitar rumah itu, tetap merasa akrab pada suara yang diperdengarkan dari rumah itu. Hingga berminggu-minggu, suara burung dan burung dara putih yang terbang itu selalu muncul. Hingga berbulan-bulan. Hingga bertahun-tahun.

***

"Pasti pemiliknya adalah remaja yang pernah bercinta di tempat itu…"

"Tiga tahun yang lampau, sepasang remaja memang pernah ke rumah itu."

"Tapi, mereka hanya datang sesekali. Itu pun tak lebih dari dua atau tiga hari. Bagaimana mungkin tiga tahun kemudian, dari rumah itu, sering keluar burung dara putih dengan wajah yang penuh duka"

"Ya, kita tak tahu apa yang mereka lakukan di rumah itu tiga tahun yang lalu. Kita hanya tahu apa yang telah terjadi setelah mereka tiga tahun tak lagi kemari."

"Apa yang telah mereka lakukan?"

"Kalau pun bercinta tiga tahun lampau, mereka tentu tak akan bisa menitipkan burung-burung di rumah itu. Apalagi, menciptakan telur burung dara putih, atau mempersiapkan sarang buat cicit burung piyik, yang tahu-tahu bisa terbang beberapa tahun kemudian lalu pergi ke langit," ujar yang lain.

"Siapakah mereka?"

Ya, siapakah mereka?

***

Orang-orang lalu mulai sibuk merenung, dan mengingat semua kenangan tentang sepasang remaja yang pernah datang ke tempat itu. Tiga tahun yang lampau, mereka berdua berjalan ke rumah yang selalu kosong itu dengan pakaian yang telah penuh debu. Seakan, angin telah mempermainkan pakaian kedua remaja itu sejak berhari-hari sebelum mereka akhirnya tiba.

Tak ada yang menegur kedua remaja hingga akhirnya mereka beristirahat di rumah itu. Kedua wajah yang penuh kelelahan, membuat para penduduk mengunci mulutnya, dan membiarkan pertanyaan terus bergelayut di benak mereka masing-masing. Bahkan, saat keduanya menutup pintu rumah kosong yang sudah tak terawat itu. Mereka berdua dibiarkan dalam kelengangan. Bahkan hingga malam berganti malam selanjutnya. Dua hari mereka tak pernah keluar kecuali untuk mandi di bilik kamar mandi yang sejak dulu kosong dan tak terawat itu.

Lelaki itu sempat keluar sebentar mengambil embernya dari sungai di belakang rumah kosong. Ah, apakah cukup dua ember untuk pasangan muda itu?Tapi, tak ada yang bertanya. Mata seakan telah mereka tutup untuk cinta si remaja. Seakan, para penduduk di tempat ini merasakan cinta antar keduanya yang telah begitu erat, dan membiarkan mereka larut dalam keabadian dan kesucian hatinya. Seakan, para penduduk menyaksikan sebuah kisah romantika seperti yang kerap ditayangkan di televisi yang menyala di rumah mereka atau juga kisah cinta lama mereka yang kurang lebih sama dengan kedua remaja.
Para bocah dan remaja anak-anak para penduduk itu pun ikut diam, dan tak ikut campur. Namun, mereka saling bercakap dengan kawan-kawannya tentang kehangatan cinta dua remaja, sibuk mengingat legenda cinta kuno, dan menghubung-hubungkannya dengan kisah lelaki dan perempuan muda itu. Kakek-kakek dan nenek-nenek ikut tersenyum, dan mulai menyelipkan kisah cinta keduanya di antara kisah klasik saat mendongeng buat cucu mereka. "Demikianlah, mereka sungguh tak berbeda dengan Joko Tarub-Nawang Wulan dan Proncitro-Roro Mendut," ujar seorang guru kepada para muridnya, pada suatu pagi yang cerah. Guru itu kemudian menatap rumah yang berisi kedua anak muda itu dari jendela kelas, sibuk membayangkan cinta suci antara keduanya terus terjadi, dan akan berlangsung dengan abadi.



***

“Kenapa kakek masih sering bercerita tentang rumah itu?"

"Sebab disanalah kakek pertama mengenal cinta."

"Maksud kakek, jatuh cinta kepada nenek…"

"Tidak, cinta pertama kakek hanya kepada perempuan itu."

"Ah, kakek ada-ada saja."

"Hmmm. Kamu, anak sekarang, memang tak akan pernah tahu tentang cinta sejati. Tak akan pernah tahu…"

"Akh, kakek ini, bisa saja. Nyindir, ya? Mentang-mentang saya playboy…"

"Tak ada maksudku menyindirmu, cucuku…"

"Siapa dia?"

"Seorang perempuan, dan dia bersayap."

"Kakek ada-ada saja. Memangnya perempuan yang kakek cintai itu seorang bidadari…"

"Barangkali, dia memang seorang bidadari…"

"Kakek mulai pikun. Saya serius, siapakah dia?"

"Aku pun tak pernah tahu. Kecuali, dia perempuan. Dan, dia bersaya. Barangkali, dia bidadari seperti katamu. Atau, dia malaikat…."

"Terlalu sulit dimengerti, Kek…."

"Tak perlu engkau mengerti. Cinta memang tak selalu untuk dimengerti, tapi dirasakan…"

"Ah, kakek kayak filsuf!"

"Hmmm…."

"Kakek tak pernah menyebutkan di kota mana …."

"Tak akan pernah aku menyebutkannya padamu. Sedang, seluruh orang di kota itu pun tak pernah tahu."

"Kenapa? Kenapa kakek merahasiakannya. Kenapa tak memberitahu di kota mana itu terjadi? Kenapa harus pake rahasia segala?"

"Tiap orang punya rahasia, cucuku…"

Si cucu pun diam mendapatkan jawaban yang mengunci dari kakeknya itu. Bila sudah berkata begitu, dia tak akan bisa lagi mendapat jawaban yang lain dari kakeknya itu.
Itu yang selalu terjadi pada akhir percakapan mereka.

"Kakek…!" ujarnya pelan.

"Hmmm?"

"Seberapa besarkah cinta kakek kepada nenek bila nyatanya kakek selalu bercerita tentang bidadari itu?"

Kali ini, si kakek tak menjawab. Kecuali, diam dan menghisap cerutunya. Kenangannya kembali menembus tentang masa lalunya, saat bercengkerama dan bersenda-gurau bersama kekasih di masa lalunya itu. Pada sebuah rumah, di tengah kota.
Kisah pertemuan masa silam itu, suatu saat, pasti akan terhapus juga oleh peta-peta waktu. Serupa beberapa lembar uban di rambutnya yang lepas, kulitnya yang keriput dan mengelupas, masa lalu hanya tinggal debu yang tertimbun kerumunan padang pasir.

***

"Apa yang kau lukis itu, anak muda?"

"Seekor burung dara…”

"Dan, lelaki itu?"

"Brotosilo, namanya.…"

"Nah, kalau perempuan yang menebar rambutnya dan menciptakan tangga-tangga untuk ke langit itu siapa? Kayaknya, dia jadi fokus di lukisanmu. Gede banget kamu nggambarnya .”

"Itu nenekku…"

"Pantesan, kamu nggak berani gambarin gadis di lukisan itu nude." ujar lelaki itu menggoda. Tawa ngakak terdengar. Namun, berhenti saat menyadari kalau si pelukis muda itu tidak ikut tertawa.

Muka si seniman itu malah menyiratkan ketersinggungan.
Si lelaki penikmat lukisan menyadarinya.

"Maaf, kalau saya lancang. Ngomong-ngomong, Brotosusilo itu kakekmu?"

"Bukan, nama kakekku Bayu Sutedja. Entah siapa, Brotosusilo itu.…"

"Kok , nggak tahu? Karanganmu saja?"

Pelukis muda itu menggeleng. Dengan mimik yang serius dan getir, dia menatap lukisan di hadapannya. Si pelukis muda pun mengucap pelan, "Nama itu, yang kerap mengalir dari bibir nenekku bertahun-tahun menjelang dia wafat."

"Siapa dia?"

"Aku tak pernah tahu. Tapi, katanya, dia seorang lelaki suci. Berwajah terang. Bersayap malaikat. Sampai sekarang, aku masih takjub pada perkataan nenekku itu…"

"Kau tak pernah menanyakannya?"

"Sudah. Tak pernah berhasil," ujar si pelukis muda.

"Akh, perempuan. Memang, selalu pandai menyimpan rahasia," ujar si lelaki penikmat, masih terus menyimak kisahnya tadi dengan heran.

"Ya, perempuan selalu penuh rahasia," tanggap pelukis muda itu lagi.

Si pelukis pun melanjutkan. "Itu sebabnya saya memutuskan untuk tidak menikah," ujarnya.

Dia pun kembali menggoreskan kwas pada lukisan yang belum selesai. Diguratnya lagi, sebuah rumah di antara lelaki dan perempuan yang berjalan dengan rambut ke atas pelangi. Di latar semua obyek, dilukisnya orang-orang berkerumun. Dilukisnya juga burung-burung darah putih yang keluar dari rumah itu. Sekarang, lukisan terbarunya sudah sempurna. Hasil karyanya jelas. Obyek orang-orang di dalam lukisannya itu sedang berusaha untuk menangkap burung-burung dara putih yang terbang. Tapi, tangannya tak mampu menjangkau. Burung darah putih itu terbang terlalu tinggi dan menghilang di balik awan. Tentu saja, semua usaha orang-orang itu, jadi sia-sia.

"Hmm, lantas, apa maksud burung dara putih itu?"

"Jawab saja dengan cintamu. Dengan hatimu. Bukan dengan otakmu. Itu juga perkataan nenekku. Sampai sekarang pun, aku masih merenungkannya," tandas si lelaki muda itu sambil terus menggores kuas di atas permukaan kanvas.


Jakarta, 2003

Siapa Tak Ingin Mencuri Sorga?

Oleh Danto



Sebisa mungkin, tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar. Pertama-tama, diharapkan ini bisa mengantarkan lahirnya Jaka Tarub, dan kemudian menjadi pengantar bertemunya Si Jaka, yang menurunkan raja-raja Jawa itu, dengan seorang tokoh mitologi Yunani yang dihukum para Dewa untuk mengerjakan pekerjaan yang sia-sia, Sisifus. Tulisan ini adalah buah dari pohon hasrat dan keinginan untuk melompat dari sisi tebing ini, dengan menggandeng “campuran” yang menyebar dalam budi dan pikiran Jaka Tarub, ke sisi tebing seberang sana, dimana Sisifus terus mendorong batunya sampai ke puncak gunung, dan menyaksikannya berguling-guling ke bawah lagi karena beratnya sendiri. Di jaman ini, pertemuan kedua tokoh ini sangat diperlukan, terutama karena siapa saja butuh untuk melipatgandakan dirinya.

~~~~~=*$$$*=~~~~~

Melahirkan kembali Jaka Tarub ditengah generasi yang terlanjur menganggap sepi kelebihan manusia untuk sanggup melakukan hal-hal yang luar biasa dan sanggup juga menanggung segala kesia-siaannya dan kegelisahan pikirannya, jelas bukan hal yang memerlukan energi biasa-biasa saja. Keduanya tidak mau tenggelam kedalam idealisme dan tidak mau tertelan oleh empirisme.

Hebatnya lagi, generasi yang terlanjur menganggap sepi keyakinan terhadap segala kemungkinan yang bisa dilakukan manusia ini juga terlanjur merendahkan potensi tak terbayangkan dalam segala hal termasuk kebaikan dan kemuliaan yang dikandungnya sendiri. Dari mulut atau pikiran mereka, sering muncul kebijaksanaan yang dengan sangat jelas memberitahukan siapa mereka, dan apa yang bisa mereka kerjakan ditengah-tengah dunia ini; … kita hanyalah pupuk bawang, yang dilibatkan dalam percaturan sekedar supaya tidak menangis….

Kita toh sebenarnya perlu bersyukur karena memiliki mereka sebagai bagian dari generasi ini. Di lapisan terdalam kepribadian mereka, terdapat energi ketidak (mau) tahuan yang sangat besar, di atasnya adalah lapisan kesombongan, dan di atasnya lagi adalah kepengecutan. Senyawa dari ketiga hal itu adalah penyusun yang paling sempurna untuk menjadikan masing-masing dari mereka sebagai the reasonable man. Inilah jenis yang paling membutuhkan dunia supaya mereka bisa senantiasa menyesuaikan diri terhadapnya.
Melahirkan kembali Jaka Tarub di hadapan mereka adalah melahirkan kembali kesan negatif yang tertimbun dalam penggalan ingatan salah paham mereka. Tentu saja, karena Mas Jaka Tarub pakai mencuri selendang segala, sih, alasan mereka. Yang lain dengan lebih gagah menjelaskan ikatan bodoh yang dijalin Mas Jaka dan Dik bidadari Nawang Wulan hanya karena sebatas selendang. Sehingga, begitu Nawang Wulan menemukan kembali selendang itu, kaburlah dewi itu kembali ke tempat asalnya, Surga.

~~~~~=$***$=~~~~~

Generasi yang terus menerus memupuk ketidaktahuan sebagai benteng pertahanan ini, barangkali, juga menaruh minat yang besar terhadap feminisme, dan isme-isme, sepotong keju dan tepung terigu yang diaduk dengan potongan-potongan tulang sapi dengan bawang putih, garam, gula dan merica sehingga tak lupa mereka pun menunjukkan sikap kritis yang dewasa terhadap Nawang Wulan. Sikap itu ditunjukkan untuk menegaskan bahwa sang Bidadari, yang mau-maunya berserah diri untuk diperistri oleh Jaka Tarub itu, juga berperan membentuk ingatan negatif dalam benak masa kecil mereka.
Barang kali, masa kecil mereka adalah masa kecil yang tidak berani memandang surga sama dengan buah mangga tetangga, yang begitu jatuh ketangan kita tanpa tahu yang punya, rasa manisnya jadi terasa berlipatganda. Atau, jangan-jangan mereka menganggap buah mangga berjenis kelamin perempuan? Tapi, jika demikian, mereka juga yang harus bertanggungjawab atas jalannya pikiran mereka sendiri lepas bahwa kita di Jogja mengenal mangga sebagai pelem yang kemudian 'sesuai tradisi' sering berlanjut menjadi pelempuan.

~~~~=*$$$$$$$$$$$$…….

Maaf, jika ada kesinisan dalam nada bicara saya. Saya sekedar memantulkan wajah tertentu seseorang dengan apa adanya.

Tetapi, apa sih masalahnya ?

Begini, anda boleh-boleh saja tidak suka dengan segala yang saya bicarakan. Saya sama sekali tidak keberatan. Karena betapapun anda membenci tulisan saya -sebesar anda membenci Jaka Tarub atau Sisifus- anda tetap tidak bisa membuangnya begitu saja. Anda tentu begitu ingin melakukannya, karena tak tahan lagi membaca tiap kata yang dengan begitu yakin keluar dari benak saya yang kemudian menikam-nikam, bahkan meludahi harga dan kehormatan diri anda. Tapi, sungguh anda tak akan bisa benar-benar melakukannya, bukan?

Harusnya, anda tahu alasan utamanya. Secara umum, simbol fonetik yang saya hasilkan dapat dipastikan mewarisi setiap denyut kesadaran yang secara kodrati menjadi sifat organ dalam tubuh. Replika yang paling mendekati sempurna dari alam semesta. Karena itulah bahkan simbol fonetik, huruf-huruf itu, dapat “memberitahukan” suasana hati anda kepada udara. Huruf-huruf itu sangat terlatih dalam memanfaatkan segala ingatan anda tentang segala sesuatu. Dengan mengetahui segala ingatan sadar maupun tak sadar anda, mereka, huruf-huruf itu, dapat berpartisipasi di dalamnya dengan leluasa.

~~~***$***~~~

Baiklah saya tidak akan akan memperpanjang ketakutan Anda. Pada intinya, saya berbicara pada siapa yang dengan sangat dewasa mencukupkan diri sebagai pupuk bawang itu. Kenapa itu menjadi soal serius? Ijinkan saya bertanya. Siapa yang meminta anda datang kesini? Jikalau anda adalah seorang penganut agama yang baik, anda akan menjawab tanpa keraguan, Tuhan. Jika anda seorang religius orang yang paham religiositas- atau dengan kata lain orang tolol, anda akan menjawab, orang tualah yang menghendaki saya ada.
Siapapun anda dan jawaban apapun yang bisa anda berikan, saya tidak terlalu yakin bahwa anda sanggup menjawab bahwa anda datang kesini sepenuhnya karena kehendak anda sendiri kecuali anda pernah atau sedang serius mendalami bagian-bagian tertentu dari filsafat Jawa. Bukankah bahkan Yesus Kristus dan para nabipun tak ada yang mengeluarkan pernyataan seperti itu?

Jadi, kecuali anda pernah atau sedang serius mendalami bagian-bagian tertentu dari filsafat Jawa, andapun tentu berpegang pada keyakinan bahwa kita kesini bukan karena kehendak kita sendiri. Konon kabarnya, sebelum meledakkan kepalanya sendiri dengan pistol, Adolf Hitler mengucapkan kata-kata mutiara ini; “Saya tidak pernah minta untuk dilahirkan.” Lupakan! Lupakan! HAAH! Hidup toh hanyalah latihan pertunjukan yang tidak pernah dipentaskan, kata Hipolito. Mari kembali ke Jaka Tarub.

~~~~~=*$$$*=~~~~~

Jaka Tarub. 'Jaka' menunjukkan bahwa dia lelaki (muda) yang selangkah lagi bergabung dengan masyarakat menjadi lelaki dewasa. Tarub berasal dari bahasa Arab, taroqum, yang kurang lebih berarti, meditasi.

Meskipun bukan aktifitas gerak motoris, meditasi merupakan sebuah proses pencarian batin. Itu sebabnya kenapa dalam tradisi Jawa, bertapa diistilahkan sebagai laku. Berjalan. Perjalanan. Pergerakan batin. Itu mengingatkan kita kepada seseorang, nda? Bagi saya, ya. Henri Bergson, orangnya













~~~~~=*$$$*=~~~~~

Henri Bergson (1859-1941) adalah seorang filosof Prancis yang lahir di Paris. Pemenang hadiah Nobel untuk sastra tahun 1927.

Filsafat Bergson bersifat evolusioner, tetapi tidak materialistik. Kehidupan diintuisikan sebagai aliran batiniah. Perubahan-perubahan material dan badaniah merupakan mekanisme dari aktivitas spiritual. Aktivitas manusia dalam dirinya sendiri mengandung sebuah kebebasan yang berbeda dari mekanisme ini. Sebagai contoh, ada dua jenis waktu yang berbeda secara radikal: (a) waktu terukur (waktu alamiah; waktu obyektif; waktu konseptual; waktu mekanis) dan (b) waktu pengalaman kita yang mengalir, intuitif, dan langsung. Waktu terukur bersifat matematis, simbolik, bagian dari penjelasan fisik, menggunakan satuan-satuan atau momen standar yang diukur melalui berkas-berkas spasial pada kronometer, jam,dll. Waktu terukur dilihat sebagai perluasan, homogen dan memasuki masa depan dengan arah linear kedepan.

Waktu intuitif dan batiniah kita bersifat tak dapat balik. Ia mengalir secara aktif dan membaur dengan sangat kental ke dalam diri sehingga aktivitas atau proses waktu itu tak dapat dibagi-bagi. Namun ia bersifat heterogen (terdiri atas serentetan kualitas-kualitas dan peristiwa-peristiwa yang berbeda), konkret, tidak abstrak, nyata, tidak simbolik, langsung, tidak terlepas secara obyektif, berlanjut dan mengalir secara aktif. Ia dialami dan dirasakan dengan cepat dan intuitif; selalu menjadi bagian dari kesadaran kita. Sedangkan waktu terukur itu bersifat khayali, tetapi dipandang oleh para ilmuwan sebagai waktu riil.

Bergson menganjurkan penggunaan élan vital yang diintuisi untuk dapat mengetahui daya-daya sejati yang bekerja pada setiap hal. Pengetahuan tentang élan vital merupakan dasar penjelasan yang benar bagi perubahan, dan bagi evolusi alam semesta.
Élan vital (bhs. Prancis); dorongan hidup, prinsip hidup, denyut kehidupan, sebuah term yang digunakan dalam teori-teori evolusi kreatif dan tidak mekanistik (seperti teori Bergson) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa organisme hidup berevolusi menjadi semakin kompleks sepanjang waktu. Élan vital adalah (a) daya yang mendorong kehidupan ke struktur dan organisasi yang semakin tinggi dan (b) daya kreatif yang memberi arah pada evolusi. (kamus Filsafat halaman 89)

~~~~~=*$$$*=~~~~~

“Tapi, kenapa harus dengan mencuri? Dan, kenapa harus menipu Nawangwulan, sang bidadari?”

“Karena, itulah dadining carita, sebab musabab yang melahirkan sejarah manusia dan kemanusiaannya. Jaka Tarub membutuhkan Nawangwulan untuk memulai proses menyejarahnya, dan Nawangwulan membutuhkan pelindung, di tengah dunia yang serba buas dan tak dikenalnya. Jadi, barangkali ini memang sebuah kewajaran budaya.”

“Sayang, akhir ceritanya menyakitkan. Nawangwulan menemukan selendangnya, dan terbang kembali menuju Khayangan, ke tempat dia berasal.”

“Lho, bukankah itu justru semakin menegaskan konteks kemanusiaannya? Bukankah siapa saja akhirnya bisa pergi ke khayangan juga? Nawangwulan, bukannya pergi karena dia kecewa dan menyesal atau bermaksud melupakan sejarah yang ditempuhnya, sampai lahir putra dari pernikahan mereka, tapi yang dimaksud disini, ya dia mati….
Urusannya dengan dunia sudah selesai.

~~~~~=*$$$*=~~~~~

Dalam buku Mite Sisifus halaman 155 terjemahan Apsanti. D, Camus (kamu?) menulis begini; “kita sudah mengerti bahwa Sisifus adalah sang pahlawan absurd… Sikapnya yang meremehkan para dewa, penghinaannya terhadap kematian… harus dibayarnya dengan siksaan tak terperikan dengan mengerahkan seluruh dirinya untuk tidak menyelesaikan apa pun. Itulah harga yang harus ia bayar untuk segala nafsu di bumi ini… Mengenai mite yang satu ini, kita hanya melihat usaha suatu tubuh yang meregang untuk mengangkat batu raksasa, menggelindingkan dan mendorongnya di lereng berulang-ulang tanpa berhenti… Di ujung usaha yang lama, dalam dimensi ruang tanpa langit dan waktu tanpa dasar itu, tercapailah tujuannya…

Saya melihat laki-laki itu turun kembali dengan langkah berat tetapi teratur ke arah siksaan yang tidak ia ketahui kapan akan berakhir. Saat yang bagaikan nafasnya sendiri, dan yang pasti kembali lagi seperti halnya kesengsaraannya, saat itu adalah saat kesadaran. Pada saat ketika ia meninggalkan puncak gunung dan sedikit demi sedikit masuk ke sarang para dewa, ia lebih tinggi dari pada takdirnya. Ia lebih kuat dari pada batunya. …

Seluruh kegembiraan Sisifus terletak di sana. Nasibnya adalah miliknya. Batunya adalah bendanya. …Tiada matahari tanpa bayangan dan kita harus mengenal malam. Manusia absurd mengatakan ya, dan usahanya tak akan pernah berhenti. Jika takdir pribadi itu ada, tak ada takdir yang lebih tinggi, atau setidaknya hanya ada satu yang dinilainya fatal dan nista. Selebihnya, ia tahu bahwa dirinyalah yang menguasai hari-harinya. …Sisifus kembali lagi ke arah batunya, merenungi rangkaian tindakan tanpa kaitan itu yang menjadi takdirnya, yang diciptakan olehnya, terpadu dibawah tatapan ingatannya… semua yang manusiawi bersumber pada manusia… .”

Pemaparan yang luar biasa itu diakhiri dengan; “Perjuangan ke puncak gunung itu sendiri cukup untuk mengisi hati seorang manusia. Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia.” Anda bisa bayangkan seberapa besar energinya? HAAH !!!

~~~~=*$$$$$$$$$$$$…….

Baik, kita toh harus mengalah pada akhirnya. Langit hanya satu. Musim tak bisa lebih according to mister Gunawan Mohamad: hidup Utan Kayu, betapapun kita tak lagi punya utan belantara! Tapi, dengan sadar, saya memang akan berlaku agak curang. Seperti saya sampaikan di awal tadi, saya dan susunan simbol fonetik yang dihasilkan atau yang terlahir kembali melalui saya, sebisa mungkin, akan sampai pada tahap mempertemukan kedua tokoh itu. Saya beranggapan bahwa dengan demikian keduanya telah bertemu. Apa yang akan terjadi kemudian dan apa yang akan mereka lakukan, tidak akan saya panjang-lebarkan. Namun, sisifus telah mengajarkan kesetiaan lebih tinggi yang menyangkal para dewa, dan mengangkat batu-batu besar. Ia juga menilai bahwa semua baik adanya(Mite Sisifus, hal. 159).


Dalam keseluruhan bangunan fisik cerita yang berbeda, Jaka Tarub juga menyampaikan hal atau tema yang sama pada akhirnya. Namun, dengan laku yang berbeda, anda akan mendapatkan ilmu dan tingkat energi yang berbeda pula. Setidaknya, kita tahu bahwa Jaka Tarub sendiri, maupun imajinasi kita yang menghidupinyasetidaknya sampai saat inidicegah untuk mempertemukan Jaka Tarub dengan penanggung jawab swarga, dan meminta supaya Nawang Wulan dikembalikan lagi ke dunia. Atau, melompati tembok swarga begitu saja, dan sekali lagi, mencuri Nawang Wulan dengan kereta impiannya.
Batas itu, kesia-siaan itu, begitu saja menerkamnya. Dan, dia merasakan keterbelahan yang sama. Absurditas? Saya belum menemukan istilah lain. Konon kabarnya, begitu kita lahir kita sebenarnya mengalami tidur panjang. Jadi, kehidupan ini adalah mimpi. Kematian berarti terjaga, dan bangun lagi. Waking life (?). Waktu memang bisa terasa amat keras terhadap siapa saja yang bisa bermimpi….

Republik Indonesia, Propinsi DIY, Kabupaten Bantul, Kecamatan Kasihan, Kelurahan Tirtonirmolo, Dusun VII Jogonalan Lor, September , 2003