Jumat, 23 November 2007

Kontributor


Artikel

Agus Subhan Malma
Pekerja-pemerhati seni budaya alumnus IAIN Sunan Kalijaga, Fakultas Filsafat UGM dan sekarang tinggal di Tangerang.

Agus Sulistyo
Mahasiwa Sosiologi UAJY angkatan 2002.

Basilius Triharyanto
Mahasiswa Komunikasi UAJY angkatan 2000.

Cindy Hapsari
Mahasiswi Komunikasi UAJY angkatan 1998.

Danto
Pemerhati Lingkungan tinggal di Jogonalan Yogyakarta.

Heribertus Sulis
Mahasiwa Komunikasi UAJY angkatan 2000

Yuli Purnomo
Mahasiswa Komunikasi UAJY angkatan 2003

Wawancara

Hersri Setiawan
Sastrawan, penulis Negara Madiun, Aku Eks Tapol, Kamus Gestok dan Memoar Pulau Buru, sempat ditahan di Salemba dan Tangerang, terakhir dibuang ke pulau Buru dan kini menetap di desa Kockengen, Amsterdam.

Cerpen

Ag Wahyu
Mahasiswa Komunikasi UAJY angkatan 2000

J Prapta Diharja, SJ
Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.

Sihar Ramses
Alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga, saat ini berkerja sebagai wartawan budaya di Harian Umum Sore Sinar Harapan.

Puisi

Ag Wahyu

Catur Wibawa
Mahasiswa Fakultas Teologi Wredabhakti USD

Cindy Hapsari

Tina
Pelajar SMU tinggal di Jakarta.

Kartun

Panji
Alumnus mahasiswa komunikasi UAJY

Ilustrasi

Ag Adi Winarto
Pendiri Komunitas Pelukis Muda Borobudur, dan sekarang menjadi konsultan Borobudur Elephant Art Fondation (BEAF)

Agus Subhan Malma
Agus Sulistyo
Cindy Hapsari

Ismedi
Pelukis tinggal di Borobudur, sekarang sedang menekuni seni keramik.


Teguh Prastowo
Mahasiswa ISI Yogyakarta

Y Darmawan
Pelajar SMSR Yogyakarta

Foto

GB Peter Johan
Mahasiswa Komunikasi UAJY angkatan 1997

Artistik dan Tata Letak

Agus Sulistyo
Cindy Hapsari

Cover

Y Darmawan

Sidang Redaksi
Agus Sulistyo, Ag Wahyu, Cindy Hapsari, Heribertus Sulis, Yuli Purnomo,Contact person: +62819.311.78.457;+62815.686.9580; +62816.18.37736; +62815.7888.1216;+62815.799.2469
E-mail: jp7jalur@yahoo.com; Add: FISIP UAJY Jl. Moses Gatot Kaca No. 28 Mrican Yogyakarta, 55281. Untuk keterangan lebih lanjut hubungi contact person terdekat.

1. Cerita Pembuka, 2 Cerita Penutup

Sejak awal, aku tahu maksudmu, Kawan! Dan, senyumku tumpah tak tertahankan mengingat apa yang terbersit dalam benakku malam itu.

***
Bodoh! B-o-d-o-h ?

Apa yang barusan tetua katakan? Aku telah melaksanakan tugasku dengan baik. Sesuai perintah. Aku bahkan masih mengingat dengan jelas kata tetua. Tarik pemicu pada hitungan ketiga! Dan, suatu ledakan besar terjadi. Pasukan kita terpukul mundur. Aku tambah tak paham lagi. Tetua berdiri membelakangi tembok, dan memerintahkanku menghantam mukanya pada hitungan ketiga. Satu. Dua. Tiga. Tinjuku kuarahkan ke mukanya. Sekuat tenaga. Aduh! Tanganku bengkak memerah. Tetua memiringkan kepalanya ke kanan rupanya. Itulah yang membuatku masih mengingat perkataannya. Tetua meneriakkan kata aneh: Ingat, garda depan! Ooo, yang terpenting adalah menyelamatkan muka! Setelah meninggalkan tetua, teman-teman bertanya kepadaku mengapa pasukan kita terpukul mundur. Di depan mereka, aku menirukan kata tetua tadi. Mereka tak mengerti rupanya. Mohon dijelaskan! Katanya. Salah satu dari antara mereka. Eh, tapi di sini tak ada tembok. Baiklah aku akan menjadi temboknya. Aku butuh dua orang. Untuk memerankan diriku dan tetua. Ha, mereka melakukannya dengan baik. Sekarang, pukul pada hitungan ketiga! Satu. Dua. Tiga. Buk! Kupikir, mereka telah mengerti. Aku senang sekali. Tapi, yang tak kumengerti, mataku berkunang-kunang. Dan, dunia berubah jadi gelap. Buk! Ah, aku tambah tak mengerti.

***

Aku tahu, Kawan! Mukaku merah ungu tak terselamatkan oleh ceritamu malam itu. Sekarang, gantian aku yang akan bercerita. Namun, ini hanya cerita soal tanya-jawab teman lama yang juga mengutipnya dari sebuah buku. Mungkin, pengarangnya juga mengutipnya dari orang lain lagi. Ha-ha-ha…, ingat, yang terpenting adalah menyelamatkan muka!



***

Di hadapanku, berdiri Caesar yang telah menawan Asterix atas tuduhan spionase.:”Tahukah kamu apa yang sedang kupikirkan?” kata Caesar” Hukuman apa yang pantas bagi seorang pemberontak? Gantung atau Pancung?”

“Keduanya sekaligus, hukuman yang pantas bagi seorang pemberontak: Pancung setelah itu gantung. Atau sebaliknya.”

Caesar diam sejenak, lalu berkatalah ia,“ Keduanya, tidak mungkin. Pertama, tidak ada penjahat yang mempunyai dua leher. Kedua, tidak ada penjahat yang memiliki nyawa rangkap!”

“Anda cukup pintar, Caesar” sahutku, ” pemuda Galia pembuat Menhir ini tak perlu lagi menjawab apa yang sedang Anda pikirkan.”

Caesar tertawa. Lepas. Aku tahu bahwa nyawa Asterix itu tidak berharga baginya. Namun, jauh dari itu aku sangat tahu ia menginginkan Galia. Akhirnya, Asterix dibebaskan tanpa syarat, dan aku dijamunya untuk bercakap soal jual beli Menhir antara kekaisaran Rum dan negeri Galia.

***

Tahukah, setelah teman lamaku menceritakan hal itu kepadaku, dia tak pernah lagi muncul?Namun aku masih menikmati senyum yang tertumpah oleh karenanya. Bagaimana denganmu, Sobat?

Merayapi Dunia melalui Kerja Kebudayaan

Oleh Heribertus Sulis

“Ngomong-ngomong soal organisasi dan gerakan, menurut saya, gerakan politik itu sebenarnya tidak efisien, yang lebih efisien adalah gerakan kebudayaan. Tidak ada revolusi politik yang berhasil tanpa dibarengi atau didahului oleh gerakan kebudayaan. Karena itulah, yang terjadi pada revolusi 45 hanya bedil-bedilan saja, tradisi feodalnya masih ada sampai sekarang; padahal revolusi itu artinya menjungkir-balikkan nilai-nilai. Tapi, kok tradisi feodalnya masih tetap ada.”

Pembangunan Indonesia—semenjak Orde Baru menerapkan paradigma pembangunan modernisasi-globalisasi dan menitikberatkan proses pembangunannya dalam bidang ekonomi—telah membawa masyarakatnya ke dalam gulungan globalisasi. Kota-kota di Indonesia berlomba-lomba membangun diri menjadi sekumpulan tempat belanja yang megah dan mengkilap, dengan menarik investor sebanyak-banyaknya, dengan harapan mendapatkan suntikan modal sebesar-besarnya; pembangunan gedung-gedung megah yang tak menggubris urusan tata rancang bangun sebagai bagian dari urusan lingkungan alam dan manusia. (Yogyakarta misalkan, saat ini gaungnya malahan lebih keras terdengar sebagai surga belanja dari pada kota budaya dan kota pelajar.)

Sebagai bagian dari rangkaian pembangunan yang lebih kompleks, atau katakanlah menyeluruh, pembangunan “megah” Indonesia adalah bagian dari sebuah tantangan besar bagi manusia dan kebudayaan Indonesia dalam menghadapi globalisasi dunia. Bagaimana manusia yang terlibat di dalamnya bisa selalu menjaga jarak dan tidak kehilangan daya kreativitas oleh arus tersebut, adalah salah satu “PR” yang menjadi tanggung jawab bersama. Di bidang kebudayaan, mencakup soal kreativitas, moral dan mental manusia dan masyarakat, ini adalah sebuah tantangan berat. Pola konsumtif dalam bentuk konsumerisme gaya hidup adalah salah satu contoh.

Masyarakat, terutama anak-anak dan kaum muda, adalah sasaran paling empuk dalam pembentukan pola konsumtif ini; mulai dari model rambut, trend pakaian, konsumsi makanan, kebiasaan nongkrong, gaya bahasa hingga pernak-pernik asesoris lainnya macam piercing, hand phone, atau sepatu. Kesulitan ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan, misalnya, bukan suatu penghalang untuk menjadi bagian dari pencitraan yang mendunia ini. Seorang teman saya (masih SMA, tinggalnya di dekat terminal kecil, di dekat Tugu), demi memiliki hand phone yang katanya untuk menjamin dirinya menjadi gaul, dan supaya tidak lagi dianggap ketinggalan jaman oleh teman-temannya, rela mencuri barang yang diinginkannya itu dari salah seorang penumpang bus. Seorang teman yang lain bahkan rela mencuri uang milik ibunya sendiri untuk membeli celana “skater” gombrong yang katanya lagi ngetrend.

Gejala tersebut bisa menjadi contoh dari apa yang disebut sebagai bagian dari pembentukan citra manusia global tersebut di atas. Manusia dijejali citra asing yang bukan bagian dari dunianya, atau lingkungannya, seolah-olah ia adalah bagian dari dunia asing itu sendiri. Manusia direngkuh dalam satu bahasa yang seragam tetapi menikam: global. Anak muda dirujuk dalam satu bahasa yang menggiurkan tetapi mematikan: gaul. Penggambaran yang tampaknya berlebihan ini, jika kita mau melihatnya secara lebih jeli, sebenarnya merupakan gambaran riil yang terjadi di sekitar kita. Manusia dijauhkan dari sejarah diri dan lingkungannya, masyarakat dan budayanya. Bukan berarti yang asing itu selalu buruk, tetapi yang menjadi soal adalah keterasingan manusia dari diri dan lingkungannya tersebut, suatu kehilangan daya kreativitas di bawah bayang-bayang ilusi global.

Inilah tugas besar kita bersama, sebagai manusia, dalam menghadapi tantangan riil saat ini. Bagaimana strategi kebudayaan bisa disusun sebagai sebuah dimensi yang potensial untuk melawan dunia yang mengasingkan tersebut? Atau, pertanyaan pendahuluan yang mungkin bisa diajukan: apakah lapangan kebudayaan masih strategis untuk dijadikan sebagai sebuah kekuatan untuk melawan penindasan budaya?

Beberapa waktu yang lalu Jalur Pitu, bersama beberapa kawan, pergi mengunjungi Hersri Setiawan. Hari itu kami datang untuk memenuhi janji bertemu, dengan keterlambatan waktu selama kurang lebih setengah jam. Pertemuan yang sebelumnya kami maksudkan dalam bentuk wawancara, berubah menjadi perbincangan tukar pikiran yang mengasyikan, bersama suguhan teh dan makanan kecil dari sang tuan rumah. Pak Hersri—salah seorang kawan menyebutnya sebagai seorang tua yang santun, banyak berkisah tentang pengalamannya ketika berkiprah di lembaga kebudayaan rakyat tahun pertengahan 1950-an hingga tahun 1960-an.

Pertemuan itu memang tidak ditujukan untuk mencari jawaban atas persoalan kebudayaan yang sedang dialami oleh Indonesia saat ini, tetapi setidaknya, melalui sepotong kisah pengalaman Pak Hersri ini, kita bisa berefleksi bersama dalam melihat kondisi dan potensi kebudayaan yang dimiliki bangsa ini.

***

Setelah perkenalan singkat kami dengan Pak Hersri, kami kemudian menanyakan soal ceramah yang pernah dilakukan oleh beliau beberapa waktu yang lalu, tentang hubungan antara kebudayaan dan gerakan, dan bagaimana potensi kebudayaan yang ada di Indonesia dalam kaitannya dengan perubahan masyarakat.

”Kegiatan kebudayaan, agar bisa menjadi arah bagi jalannya kebudayaan masyarakat atau berperanan dalam masyarakat, haruslah dilakukan dalam bentuk gerakan kebudayaan. Saya akan bercerita tentang pengalaman saya ketika saya memimpin Lekra cabang Jawa Tengah, dulu. Pada waktu itu, Lekra tampil sebagai sebuah lembaga kebudayaan yang dianggap ‘berbahaya’ (sebelum Orde Baru lahir) oleh musuh-musuhnya, terutama oleh lembaga kebudayaan setingkat, yang dibekingi tentara. Mengapa sebagai lembaga Lekra dianggap berbahaya? Adalah karena Lekra berdiri sebagai sebuah lembaga yang bukan sekedar lembaga kebudayaan, melainkan lembaga gerakan kebudayaan, itulah yang membuat ia dianggap berbahaya.

Di Jakarta, mungkin kegiatan itu tidak begitu terasa di dalam organisasi, sebab kegiatan Lekra lebih didominasi oleh gerakan seniman dan sastrawan kota. Selain itu, kegiatan mereka dilakukan dengan menggunakan, misalnya, pers: untuk pembentukan pendapat umum. Di kota sasarannya adalah masyarakat kota, kelas menengah kota, pelibatan pers, dengan demikian, menjadi sangat penting peranannya. Tetapi di daerah-daerah, seperti di Jawa Barat, kegiatan budaya dilakukan lebih melalui bentuk-bentuk kesenian rakyat, seperti pedalangan, wayang atau musik (misalnya, Cianjuran). Di Jawa Tengah, Lekra itu lahir justru tidak melalui sastra, tetapi musik angklung, yang hanya memilki satu oktaf, yang dimainkan oleh anak-anak seusia sepuluhan tahun, untuk memainkan berbagai jenis lagu perjuangan. Even-even kebudayaan dan politik ketika itu selalu diwarnai oleh kegiatan kebudayaan. Dalam ceramah politik, misalnya, biasanya diselang-seling dengan kegiatan kebudayaan seperti musik angklung itu. Dalam kondisi yang demikianlah, semangat perjuangan menjadi modal bagi gerakan kami. Terutama di daerah-daerah, kegiatan seni atau kebudayaan menjadi sangat terasa, lebih terasa dibandingkan dengan yang di kota.

Kemudian Pak Hersri bercerita pula tentang pengalamannya ketika berkiprah di lapangan kebudayaan, sebelum memimpin Lekra hingga saat ia terlibat dalam oraganisasi Lekra; dan bagaimana gerakan kebudayaan itu dilakukan tidak hanya dalam arti politik saja, melainkan juga dalam arti moral.

“Ketika saya kuliah di UGM tahun pertama—belum memimpin lekra, tapi sudah berkiprah di lapangan budaya, khususnya sastra dan drama radio di RRI dengan ruang siar dua minggu sekali untuk drama radio, dan seminggu sekali untuk sastra—kegiatan kesenian yang dilakukan belum begitu terorganisir. Untuk sandiwara radio kelompok sandiwaranya bernama Remujung Lima, untuk kelompok sastra, dengan kegiatan diskusi teoritik sebulan sekali dan juga pembahasan puisi atau pembacaan esai-esai budaya, saya membentuk kelompok dengan nama Lingkaran Sastra. Mula-mula berangotakan tujuh orang lalu menjadi 150 orang. Jogja ketika itu betul-betul adalah kota kebudayaan, tidak ada bulan lewat tanpa kegiatan budaya, sehingga ada diskusi tentang kelompok kecil saya, tapi di masyarakat itu juga selalu ada kegiatan seperti lomba baca puisi, cerpen, atau ceramah kebudayaan yang tidak one way, tapi selalu ada dialog antara pembicara dan hadirin yang berasal dari kalangan anak SMA hingga dosen. Salah soerang akitivis kebudayaan dan sastra di Jogja ketika itu adalah Sutarno Y.C, anak SMA kelas dua. Kegiatan kebudayaan yang dilakukan kami biayai sendiri dari uang saku masing-masing.”

“Mengapa kebudayaan dibikin gerakan bukan saja secara politik, tetapi juga dalam arti moral? Pada tahun 1955-57 sisa-sisa gaya hidup kesenimanan gelandangan gaya Chairil, seperti kebiasaan tidak mandi, berambut gondrong, jajan tidak bayar, itu masih ada. Dan itulah salah satu hal yang kita lawan. Caranya tidak dengan ceramah tetapi dengan mengadakan kegiatan-kegiatan budaya yang konkret. Ketika saya masih tinggal di Panembahan, biasanya sore hari bersama teman-teman muda sejumlah 20-an orang, kami duduk-duduk ngopi sambil ngobrol sampai jam 12 malam. Dengan begitulah kami menghidupi kegiatan kebudayaan bersama teman-teman muda.

Demikian pun setelah saya memimpin Lekra. Dengan pengetahuan sastra dan kegiatan seni lainnya yang saya miliki, termasuk pengalaman mengajar di beberapa sekolah seperti di Taman Siswa, dan Piri, kalau pagi saya mengasuh anak-anak sebagai murid saya, kalau sore menjadi adik-adik saya. Ini bagusnya alam pergaulan ketika itu, terutama Taman Siswa, yang memang tidak membenarkan hubungan patron-klien antara guru dan muridnya, tetapi membangun hubungan pamong dan yang diemong, yaitu siswa. Jadi kita kalau di rumah sebaya.

Problem yang kita perbincangkan di rumah, dengan demikian, bisa meliputi segala macam hal: lukisan, sastra, musik. (Saya belajar lukis itu dari sanggar-sanggar, dan sanggar ini sudah termasuk sebagai suatu gerakan.) Jadi kalau kegiatan kebudayaan mau berperanan dalam masyarakat, merubah atau memberi arah bagi jalannya kebudayaan masyarakat, caranya adalah harus menjadi gerakan.”

Mengenai makna sastra (literate) yang berkembang saat ini, Pak Hersri mengungkapkan perlunya suatu definisi sastra yang tidak hanya bermakna “tulisan” = literate.
“Saya setuju kalau yang disebut sastra di Indonesia ini adalah sastra dalam arti tertulis dan tidak tertulis. Jadi lembaga budaya, khususnya sastra, yang sayang sekali sekarang sudah hilang, yaitu macapat, bisa dihidupkan kembali. Macapat ini sebenarnya ada di beberapa daerah di Indonesia, seperti Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Batak, tapi sejak Orde Baru sudah tidak ada lagi. Kegiatan ini, terutama dulu, ada di kampung-kampung setiap ada jagong bayen; meliputi kegiatan penembangan, yang kemudian ditafsirkan dalam bentuk sambung rasa antara pembaca dan pendengarnya.

Kegiatan macapatan ini sebenarnya bisa menjadi media gerakan, karena ini bisa menjadi media untuk memeratakan ide. Gerakan, pada dasarnya, adalah soal bagaimana memeratakan ide dan diberi organ, tubuh. Makanya disebut sebagai organisasi. Ngomong-ngomong soal organisasi dan gerakan, menurut saya, gerakan politik itu sebenarnya tidak efisien, yang lebih efisien adalah gerakan kebudayaan. Tidak ada revolusi politik yang berhasil tanpa dibarengi atau didahului oleh gerakan kebudayaan. Karena itulah, yang terjadi pada revolusi 45 hanya bedil-bedilan saja, tradisi feodalnya masih ada sampai sekarang; padahal revolusi itu artinya menjungkir-balikkan nilai-nilai. Tapi, kok tradisi feodalnya masih tetap ada.

Yang penting dalam suatu gerakan kebudayaan adalah potensi lokalnya. Indonesia ini merupakan satu bangsa yang memiliki (meminjam istilah Sartono dari seorang kawan—peny.) kompleks historis yang beragam. Jadi untuk melakukan gerakan di bidang kebudayaan, kita tidak usah menggagas soal perbedaan isme-isme yang ada; apakah itu realisme sosialis atau bukan, apakah itu pop atau tradisional, tidak perlu dibeda-bedakan. Yang penting adalah gerakan untuk tujuan yang sama, yaitu tetap pada komitmen sosialnya. Kalau dalam tradisi lekra itu ada semboyan mengembangkan tradisi positif. Seni itu jangan dijadikan barang dagangan. Meski tuntutan jaman membuat arah kebudayaan bisa berubah, tetapi tuntutan jaman itu tidak harus mengorbankan apa yang tidak perlu. Misalnya dalam wayang, perbincangan filosofis itu harus ada, jangan dihapus, harus tetap diadakan karena di sini isi dakwahnya. Jadi tradisi atau kebudayaan itu harus dilihat sisi positifnya. Macapat, karena perkembangan jaman, juga menjadi tidak ada peminatnya kecuali di kalangan orang-orang tua. Oleh karena itu, kita tidak harus mengembangkan macapat sesuai tradisi lama. Kita bisa mengambil modelnya untuk diterapkan dalam bentuk yang berbeda.”

Menurut Pak Hersri, dunia kita ini memang sedang berubah tak terkendali, sangat dahsyat. Tapi kita tidak boleh pesimis menghadapinya. Segala perubahan yang terjadi dalam kebudayaan jangan kita lawan secara frontal. Menghadapi dunia yang hancur ini, kita harus tetap yakin pada komitmen sosial. Tugas kita bersama sekarang adalah membangun puing-puing yang sudah terlanjur runtuh itu, yaitu dengan merayapi dunia melalui kerja kebudayaan.



Buku Catatan Sejarah: Seni dan Visi Sosial


Oleh Agus Subhan Malma



Khalayak kebudayaan di Indonesia pernah melewati pesta pora kesungguhan bermazhab yang bahkan pernah juga melanggar tata pengertian kebudayaan versi 'resmi'. Sengketa keluhuran berkesenian dan pelenaan jenak-jenak kreatif akibat dirajamnya jantung nurani masyarakat oleh kekuasaan despotik-totaliter, menghumbalang alam kesenian manusia dan bangsa Indonesia menjadi bayangan tanpa cermin, bingkai tanpa gambar, buihan kata nan kerontang, pun banjir bahasa nan garing. Mazhab-mazhab itu membeku sebagai catatan dokumentatif-teoritik yang hanya bisa membisu dalam gelaran tanya: pantaskah mazhab ini hidup, sedang ‘nama saya’ yang lahir dari dentuman-dentuman kreatif ke-seniman-an hanya dijadikan dalih untuk membuka kios-kios dagang perasaan dengan gapura dan spanduk 'selamat datang' atas nama KEBUDAYAAN? Nama-nama besar nan gagah isme-isme panjang dalam berkesenian takluk di bawah ketajaman pisau buruh pabrik cat atau penyerut tangkai kuas. Gemuruh manifesto dan pernyataan kebudayaan menggelepar di tapak kaki perkasa mesin-mesin tenun penghasil kanvas. Sementara, puisi-novel-cerpen seakan beranjak dari naluri dasar keindahan tertekuk urat ulet loper surat kabar dan penjaga kios berita yang kepanasan siang-siang. Inikah metamorfosa aforisme sastra tentang kematian pengarang (the death of author) yang menimpa ranah seni rupa kita; baik ketika berada di bawah panji negara bangsa Indonesia atau di lingkungan kesibukan bermerk dagang 'manusia zaman sekarang'?

Mari kita bicara soal vitalitas kebudayaan, khususnya seni. Vitalitas hidup macam apa yang memberikan udara segar bagi kelahiran seni dan (ke)seniman(an)? Apakah seni selalu merupakan perwujudan terakhir dari yang dinamakan hasrat, desire? Kondisi kemanusian seperti apakah yang dapat kita pastikan, bahwa apa yang kita lakukan dalam (ke)seni(an) adalah refleksi dari situasi normal kita sebagai manusia berakal segenap nurani dan menjunjung kebenaran kemanusiaan kita? Apa artinya kekuatan ekonomi-politik yang merepresentasikan kebijakan supraindividual, sedang dibawahnya, hasrat manusia diorganisasi, dan seringkali dimanipulasi atas nama rust en orde? Dapatkah kita menentukan apa yang kita lihat, semua yang kita perbincangkan, dan semua yang kita katakan benar-benar berasal dari kesadaran kita tentang masyarakat dan kehidupan manusia, yang berasal dari sudut pandang yang menentukan 'cara bicara' manusia? Lantas, siapakah yang lebih pantas untuk berbicara apa pun tentang (penilaian) seni, orang yang melukis berkeringat di hadapan kanvas dengan pallet dan cat air atau minyak di tangannya, ataukah orang-orang yang membuat mereka bisa memperoleh seperangkat alat lukis itu? Bagaimana mazhab yang mengaliri darah pencipta dan karyanya dapat dipahami? Lantas, cita mana yang membedakan keindahan senyum santun lukisan Monalisa dengan foto senyum 'ngangkat' bibir merah cantik dari wajah camera-genic Madonna? Bagaimana seni dipahami dalam disiplin ilmunya? Apakah itu terpahami dari ilmu yang menerangi keindahan atau ilmu dan disiplin tentang cantiknya keteraturan?

Dan, berbicara tentang warna, apakah benar bahwa merah dan hanya merah yang dapat merepresentasikan api semangat juang pemberontakan atau revolusi? Dapatkah kita melihat perbedaan pemahaman yang mengerangkeng visi-visi emansipatoris revolusioner ke dalam revolusionerisme baik dalam politik ataupun seni? Jadi, di manakah warna, dalam mata-pikiran kita? Apakah itu hanya efek cahaya dari hal-hal di luar diri kita, yang mengelilingi kita? Apakah warna tetap berada pada kanvas, meskipun dalam kehidupan sehari-hari kita, hingga sekarang, berpikir dalam kegelapan campuran warna sosial (baca: politik aliran) yang mengaburkan kemampuan rasa kita tentang warna-warni, pada kondisi post-development yang diklaim oleh beberapa kaum intelektual salon (salooners) sebagai kondisi postmodern?

Ketika berbicara mengenai genre estetik dalam periodesasi seni Indonesia modern sebagai sebuah titik tolak perbincangan, kita akan menemukan praktik-praktik pembajakan hasrat dan kreativitas hingga patah arang (block-till-broke) di mana ekspresi estetik hanya dikamuskan melalui identitas rekaan (artifisial) dan terkurung dalam kotak dagang bermerk yang diberi nilai sama seperti halnya apa yang disebut simbol gaya hidup. Apa yang dipahami dari kata-kata penganut ekspresionisme yang digunakan sebagai salah satu genre dalam seni murni, kiranya, cukup memadai untuk digunakan sebagai ilustrasi bagi realitas kontemporer. Tetapi, secara sederhana, mainstream tepatnya suatu percepatan yang bersifat kumulatif seni dalam situasi sejarah kontemporer membuatnya tak bisa dipisahkan dari hal-hal yang bisa kita sebut sebagai expressionita yang diakui secara mantap sebagai produk estetik-kreatif dari ungkapan seniman. Akan tetapi, apakah perbedaan sudut pandang itu terletak pada perbedaan produk material seni misalnya lukisan, ataukah perspektif itu hanya bersifat personal atau subjektif saja hingga seorang seniman seperti penyair, novelis, musisi, dan yang lainnya dapat dinilai lebih estetik dibanding hasil kerja mereka?

Dalam banyak kasus, 'pentingnya' figur kultural (budayawan) di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kuatnya belenggu rantai ekonomi-politik yang tak bisa ditentukan sebelum sisi humanitasnya mengambil peran. Beberapa budayawan membuat jalan pintas penting dengan mencantumkan namanya ke dalam beberapa genre, dan membangun banyak trends dalam gerakan kultural Indonesia tanpa membuat penetapan sejarah tentang orang-orang atau masyarakat yang ingin menjadi 'cukup beradab' sebagai sebuah bangsa yang pernah menjalani proses revolusi sosial semenjak periode kolonialisme/imperialisme.

Semua yang kita bicarakan bukan tentang bagaimana kedekatan kita sebagai pelaku budaya dengan khalayak di satu sisi, atau dengan aparat negara di sisi lain. Yang kita lakukan adalah menginsafi masalah kultural seperti apa yang dapat kita 'rayakan' bersama, entah sebagai pelukis, musisi, penyair, novelis, dan lainnya? Untuk siapa kita bekerja? Apakah itu cukup untuk memberi jawaban tentang pertanyaan dengan kredonya seni untuk seni, yang dioposisikan dengan pernyataan seni untuk masyarakat? Beberapa di antara kita telah memiliki beberapa pilihan yang baik, tetapi masih menempatkan seni lepas dari kemungkinan lari di antara dua kapal mogok yang menjadi karang di tengah lautan (missgrowed ships)?

Secara langsung dan personal, saya berpendapat bahwa 'seni sebagai visi sosial' dikonstatir untuk memberi sebuah jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan itu. Secara singkat, katakanlah, ketika kita menyebut pekerja seni [arter] (atau artist, dalam era identifikasi lama) bekerja untuk seni, kita harus menemukan beberapa kerangka yang dibentuk dengan memperlebar batas pandang cakrawala pemahaman yang lebih baik antara pekerja seni (arter) misalnya, pelukisdari nilai-nilainya: lukisannya, sajaknya, novelnya, ceritanya, dan lain-lain. Setelah itu, kita harus menghitung hubungan macam apa yang oleh orang-orang yang diidentifikasi dirinya sebagai pekerja seni dengan yang mengatakan dia adalah pekerja seni. Dengan situasi dan kondisi seperti apa kita dapat memisahkan pekerja seni atau budayawan (culturallist) sebagai sebuah keseluruhan dari salah satu kelas pruduktif dalam masyarakat, dan pekerja seni/kulturalis sebagai sesuatu produk modern dari masyarakatnya yang memiliki pengalaman hidup yang panjang di bawah tekanan berbeban berat?

Debat klasik tentang dimensi product dan pola productive dari budaya serta hubungannya dengan kelas atau sistem yang berkuasa (rulling-class/rulling system) yang terhubungkan oleh psikologi masyarakat, sepenuhnya mencukupi bagi kita untuk menemukan kembali sebuah cermin. Untuk mendapatkan pelajaran dari konteks bahasa sosio-politik, ketika setiap orang menjadi familiar dengan kata semacam “politik”, pikiran kita langsung tertuju pada orang-orang yang berada di majelis atau pejabat partai politik. Akan tetapi, semenjak kebangkitan diskursus politik praktis pada masa glasnot/perestroika atau kasus reformasi di Indonesia yang ditandai dengan percepatan persebaran informasi politik atas nama emansipasi termasuk lumpenproletariat, dalam batas yang sama dengan kesenimanan seorang, politisi sebagai identitas formalnya, memulangkan proses pemaknaan 'politik' dari gedung DPR MPR atau istana kepresidenan atau kantor-kantor parpol ke dalam kamus dimana politik yang dapat dimaknai sebagai negara kota, dan kemudian politisi sendiri memiliki makna sebagai bangsa, negara dan masyarakat yang tinggal di dalam berberbagai negara kota. Sekarang, setiap orang adalah politisi. Sebentuk revolusi diam-diam sebenarnya telah atau sedang berlangsung di wilayah keramaian opini dan media sosio-politik Indonesia oleh karena serangkaian hubungan komunikan global, dimensi yang dimilikinya semakin global pula.

Dalam konsep konvensional, kita sering menempatkan politik ke dalam kebudayaan. Itu tak jadi soal.Tetapi, revolusi macam apa yang terjadi di Indonesia secara kultural? Dapatkah kita bayangkan seberapa besar revolusi kebudayaan itu? Revolusi yang menyisakan suatu ingatan kolektif sebuah nasion setelah masa penjajahan ekonomi politik merupakan suatu kemungkinan yang terbuka. Revolusi yang memungkinkan bangsa ini terlahir kembali dari kesusahan dan deritanya, yang membangkitkan kekuatan si lemah? Revolusi dalam seni memberikan tempat yang baik bagi -isme di belakang nama ragam aliran seperti kubisme, ekspresionisme, naturalisme, dan sebagainya. Dalam simpang siur kesalahpahaman alur cerita yang biasa ditangkap dari jargon 'seni untuk seni' dan 'seni untuk rakyat' yang menjadi tema sentral perdebatan seni Indonesia modern, tiba saatnya bagi saya untuk mengajukan pendapat, yang kiranya dapat merevisinya dengan masuk ke dalam inti perbincangan kreativa produktiva dua trend seni ini.



Ada ratusan bahkan ribuan lukisan yang mungkin dibuat dengan bersandar pada salah satu alur gagasan yang terpaut satu sama lain yang menjadi cara berujar berekspresi dan merepresentasikan satu dari dua gunung trend itu. Satu di antara dua jalur ini sering diklaim menjadi pilihan ideologis pekerja seni yang sebenarnya, yang sering dipahami dari nama maupun genrenya. Maka, secara teoritik, kita harusnya tahu perbedaan paham sosialisme dan liberalisme universal, baik dalam aliran seni, realis, naturalis, pointilis, kubism, kaligrafis, dan sebagainya.

Dalam sejarah seni, dapat kita lihat sebuah genre berdasarkan periodesasinya: klasik, modern, posmodern, tradisional, individual. Namun, ada juga aliran yang tidak dapat dimasukan ke dalam beberapa sebuah periode secara kaku seperti lukisan Michael Angelo dalam Gothik. Yang menjadi pertanyaan dapatkah kita bedakan masing-masing periode, genre, metode teknisnya, juga gaya seni Indonesia?Apa betul penilaian estetik pelukis hanya didapat dari tampilan warna dan pola di kanvasnya. Tetapi, bagaimana dengan proses kreatifnya? Dapatkah disiplin artography secara meyakinkan menjelaskan posisi pelukis dari peta seni budaya murni (netral) atau relasi sosial yang sebagai sesuatu yang tak terjelaskan oleh tanpa pengabaian terhadap perlawanan kekuasaan institusi yang ada, negara, perusahaan swasta, industri, media, agama, dan sebagainya...dana sebagainya...?

Aspek yang ingin saya tekankan dalam memahami artography di sini adalah visi emansipatoris ekspresi dan representasi seni seorang arter or painter dari kehidupannya nyata sehari-hari, dari lingkaran mereka dilahirkan, belajar, bergaul, berkeluarga, dan sebagainya. Sehingga, proses kreatif yang menghasilkan banyak macam lukisan, bersama dengan kecenderungan utama mereka dan kutub pemahaman bersama atas penilaian seni mereka. Saya pikir kita harusnya tahu apa yang dipikirkan pelukis pikirkan dalam lukisan mereka. Rezim unaesthetics seperti Orde Baru memberi satu pelajaran bagi orang-orangbahkan mereka yang dikenal sebagai budayawan, pemikir, bahkan pekerja seni atau pelukissehingga seni dipisahkan dari ranah pengetahuan meskipun dua wilayah ini memang berbeda. Tetapi, keduanyatidak harus dipisahranjangkan menjadi dua karang kering hingga kegersangan kebudayaan menimpa bangsa ini. Kering pengetahuan, kerontang kesenian.

Proses konstruktif mengenali perkembangan kebudayaan-kesenian melalui apa yang saya sebut artography tersebut, kiranya dapat membantu pemahaman tentang penghargaan atas karya seni sebagai produk nurani yang diungkapkan dan difahami dalam keseluruhan hidup yang nyata di mana terbentang sesungguhnya teori sosial, politik, demokrasi, gerakan sosial, kesejahteraan, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, sejarah, salah paham ideologi menjadi kecemburuan, dan lain sebagainya.

Penghargaan atas karya menjadi sesuatu yang amat sangat penting bagi masyarakat-bangsa kita yang hari-hari ini berada di hadapan sebuah cermin besar bernama pembodohan-pemiskinan tiga puluh tahun bahkan lebih di mana kita dalam hitungan ratusan juta maupun dalam jangkaan individumenjadi nobody, tak berkarakter. Kita sudah sering melihat kesenjangan sejarah dan kesadaran tanpa bisa berbuat sesuatu. Politik perwakilan, negara kesejahteraan, perpecahan masyarakat, membuai hidup kita dalam dunia yang oleh Pramoedya disebut: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.


Apa yang saya tawarkan adalah sebuah hipotesa bahwa posisi ideologis-historis arter/painter seringkali ditentukan oleh wilayah geografis dari posisi kultural yang dimilikinya. Hubungan pemikiran antara pasir dengan beberapa cara produksi utama orang-orang di negara kepulauan seperti Indonesia adalah dasar bagi peningkatan harapan dalam proses sadar aktif tentang peningkatan budaya pasisiran yang sesungguhnya (dalam teater, puisi, tradisi lisan, dsb). Hal yang saya maksud, bagusnya gerakan budaya tidak hanya didasari oleh text book thinking melulu bosen ah!-, tetapi juga dapat menggali konteks sosial dalam ekspresi seninya.


Yang terjadi beberapa waktu belakangan, justru pencampuradukkan yang bersifat manipulatif antara ranah sosial dan ranah kebudayaan-keseniaan. Keduanya sering saling melakukan pelanggaran baik terhadap yang lain maupun terhadap diri sendiri. Contoh-contohnya: praktek pembajakan, plintiran statemen, hubungan politis-kontra-produktif antar pelaku kebudayaan, pemusnahan hak berkarya dengan stigma tentang si bodoh dan si biadab versus si pintar dan si beradab, interferensi moral dalam berkesenian, praktek (maaf) pencurian karya orang lain dengan cara yang lebih sophisticated dan mungkin juga lebih artistic dibanding kerja produktif para kreator kebudayaan karena (pencurian) dilakukan para penyelinap yang sekali waktu menggerombol di jalanan sebagai demonstran, yang sekali waktu wira-wiri di kantor-kantor pemerintahan, dan sekali waktu gojag-gajig petentengan bawa map ke negeri seberang sambil mementaskan luka anak-anak pertiwi dengan hibaan harap bantuan negara “asing” sambil melupakan bahwa negara kita juga dalam banyak hal dasar sudah menjadi negara asing bagi rakyat sahayanya. Itu mestinya yang menjadi alas-an untuk mempertahankan kesenian sebagai sesuatu yang tidak hanya berurusan dengan gedumbrang-gedumbreng bunyi-bunyi gamelan atau gitar dan siter tapi juga mempunyai jalinan yang tak bisa diceraikan dengan dunia pikir alam sadar kita sebagai masyarakat-bangsa, atau dalam ukuran “sederhana”, sebagai anak manusia, di mana ada negosiasi nilai-nilai dan dialektika para pendapat.

Pesatan teknologi media dan grafika tentu tidak bisa kita diamkan hanya menjadi bongkahan batu es kebekuan lifestyle yang membuih sebagai pembicaraan tetapi terlalu gersang untuk kita memberi minum pada kita punya dahaga kesadaran.

Kondisi pasca pembangunan yang membikin konteks kritik marxian revolusi kebudayaan Indonesia atas garis pemikiran marxisme-leninisme yang membangun dasar bagi lahirnya visi besar kebudayaan. Contohnya, Mao Tse Tung melakukan blokade ideologi masyarakat wilayah pedesaan (rural) dan pekerja urban di tempat kerja industrial ke dalam blok yang sama. Namun, revolusi kultural sebagai garda depan dan visi kepemimpinan Partai Komunis Cina semasa pemerintahan Mao yang menekankan ilmu dan praktik ke dalam nilai yang sama pentingnya, tak jarang, disalahpahami. Contohnya, pandangan proletariat revolusioner aseli tentang sejarah perpecahan kekuasaan politik ke sayap kanan dan kesalahurusannya dalam praktiknya hingga tergelar ladang pembantaian seperti yang terjadi di Kamboja, tempat Pol Pot memimpikan terciptanya masyarakat modern di atas kuburan masyarakat lama tanpa perhitungan yang jelas. Ladang merah itu pun menjadi satu genocid. Pol Pot bahkan tak membuat pernyataan publik atau resmi bagaimana tatanan masyarakat baru impiannya akan dibangun seperti apa. Bagaimana juga kebaharuan dan keusangan itu dipahami? Nyatanya, keusangan itu menyisakan tulang-belulang tengkorak. Kebaharuan itu lahir dengan membiarkan tengkorak itu bicara?

Periode Sosial terjadi ketika konsep revolusi kultural menjadi revolusi sosial melalui pemerdekaan telah membuka mata pikiran rakyat negara dunia ketiga untuk membangun tanah airnya. Secara umum, konsep ini adalah sebuah usaha para pejuang revolusioner atau para foundingfather sejarah politik Indonesia- untuk menemukan titik temu kekuatan produktif yang massif negara-negara dunia ketiga dengan sejarah panjang di bawah jerat tekanan pemiskinan imperialisme/kolonialisme. Dan, adalah sebuah tantangan menjadi negara kebangsaan modern, dengan kondisi institusional yang tidak memungkinkan akibat cacat warisan kolonialisme/imperialisme, serangkaian usaha dilakukan untuk berdiri sejajar sama tinggi dengan kemampuan kaki sendiri. Kondisi warisan institusional kolonial di Indonesia telah membikin semua proletar memaksa diri untuk melakukan ‘lompatan-lompatan’ (terlalu) besar untuk memasuki sejarah baru. Namun, nasionalisme state oriented Orde Baru tidak memberi tempat bagi setiap orang untuk berbicara nasionalisme di luar NKRI, dan asas tunggal Pancasila. Semua dari negara oleh negara dan untuk negara.

Meski demikian, pada hubungan internasional di mana ekonomi pasar menjadi pemenang, masour society consumpt tidak hanya produk material dari mode produksi industri modern, tapi juga mengkonsumsi mimpi-mimpi sosial atau imajinasi politik yang memiliki dua kemungkinan sisi, negatif dan positif. Mimpi dan imajinasi menjadi terlalu ‘mahal’ bagi kebutuhan dasar sosial dan dunia kita. Secara sederhana, saya hanya akan mengatakan bahwa selama 30 tahun di bawah rezim developmentalis: apa yang kita miliki? Apa yang bisa kita lakukan untuk hari-hari panjang yang akan datang? Sama seperti rantai tak terputus dari utang luar negeri dengan standar minimum kemampuan pemerintah dalam mengendalikan, memimpin dan membangun bangsa besar ini, dengan pertanyaan terbesar yang menjadi tugas rumah bagi para economicust and economiceurs, politikus dan politisi. Setiap orang harus membuktikan apa yang disebut dengan tanggung jawab, sebagai pribadi, sebagai warga kolektif. Dalam situasi ini, memberi orang-orang Indonesia sebuah jalan keluar dari lingkaran sub-liberated memiliki kesamaan nilai historis dengan memberi semua orang di nation-state mereka masing-masing di seluruh dunia atas nama kemakmuran, keadilan sosial, demokrasi, hak manusia dan warga.

Tahun-tahun susah di bawah kepeminpinan Suharto, hari-hari kelaparan di bawah developmentalisme, pra-edukasi pemikiran di bawah doktrin sistemik, berita sampah kekerasan, pornografi politik, economycal jurky, represi informasi yang dimanipulasi dan diulang-ulang, politik uang, aktivis sosial chicken, hipokrasi: betapa gilanya kita! Apa yang sedang kita rindukan sebenarnya? Impian pengganti dusta? Atau, kenyataan yang mengejutkan? Hanya sensasi-kah obat bagi kita yang telah lama mati rasa dan manghianatinya dengan serapah bernama uangisme yang kita salahfahami sebagai kapitalisme? Mana kekayaan sebuah nama berbunyi NUSANTARA? Adakah mimpi kita terlalu besar dan panjang untuk jam tidur kita yang selalu terganggu dengan ngelunjak-nya hasrat kekuasaan?

Kalau dalam debat postmodern, orang sering mengatakan intimnya pengetahuan dan kekuasaan, kenapa sekarang kita tidak memutar haluan kesadaran kita dan mengolah kehendak (daya, kemampuan, karsa) besar kita atas kuasa menjadi kehendak, daya, kemampuan, dan karsa akan pengetahuan. Ini kemestian. Ini pencerahan. Dan ini pula yang disebut Revolusi Kebudayaan. Ribuan buku bernama pengalaman massa siap dituliskan. Adakah kita masih akan terus memangukan nurani kita untuk zaman begini menggairahkan? Akankah kita terus memanjakan hasrat penghancuran dari kepribadian juggernaut dan memurahkan cemerlang keringat rakyat Indonesia hanya dengan pesta pora di meja kekuasaan yang telah berulangkali diselewengkan untuk pelanggaran tak terampunkan berupa pemerosokan mata kehormatan kita? Haruskan kita khianati kepatuhan jutaan kaki dan tangan kepercayaan bahwa siapa menanam bakal menuai dengan buihan dusta nyata para penghapal kata tanpa kerja yang terus memberi sifat ini pada si itu dan sifat itu pada si anu?

Kata melanggar manusia. Gambar menghianati fakta. Gambar yang digembar-gemborkan tiga puluh tahun lebih tentang komunisme membuat tak satupun orang tahu apa itu komunisme, tetapi segala bentuk kejahatan yang selama ini diterakan kepada kaum komunis dipraktikkan. Di manakah kegembiraan? Lalu, di mana kebahagiaan? Untuk ribuan remaja dan pemuda yang hari ini membaca buku-buku pelajaran di sekolah dan di rumah sementara kita tegasnya merekamencuri paksa itu kegembiraan dan kebahagiaan demi kerakusan yang ironisnya tidak pernah mereka sadari. Negara ini telah lama dikalahkan oleh mereka yang justru kalah kaya dibanding uang. Bangsa ini telah lama ditipu oleh mereka yang saking bodohnya selalu minta belas kasihan sementara di tangan mereka, di sekitar mereka, di dalam tanah di atas tanah, dan di bawah langit tempat hidup mereka, ada kesejahteraan yang merdeka, ada kemerdekaan yang mensejahterakan.

Indonesia, mana samudera limpahan karunia alammu? Bolehkah kami terus tinggal di sini sebagai makhluk yang punya hak untuk diakui dengan kerja? Indonesia, mana gemunung hangat solidaritas dan persaudaraanmu: masihkah kami layak menjadi penyendiri dan menjadi bangsa paling kucil-kucel di antara bangsa semanusia? Saksikan: zaman sudah berubah.

Salam.