Jumat, 23 November 2007

Siapa Tak Ingin Mencuri Sorga?

Oleh Danto



Sebisa mungkin, tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar. Pertama-tama, diharapkan ini bisa mengantarkan lahirnya Jaka Tarub, dan kemudian menjadi pengantar bertemunya Si Jaka, yang menurunkan raja-raja Jawa itu, dengan seorang tokoh mitologi Yunani yang dihukum para Dewa untuk mengerjakan pekerjaan yang sia-sia, Sisifus. Tulisan ini adalah buah dari pohon hasrat dan keinginan untuk melompat dari sisi tebing ini, dengan menggandeng “campuran” yang menyebar dalam budi dan pikiran Jaka Tarub, ke sisi tebing seberang sana, dimana Sisifus terus mendorong batunya sampai ke puncak gunung, dan menyaksikannya berguling-guling ke bawah lagi karena beratnya sendiri. Di jaman ini, pertemuan kedua tokoh ini sangat diperlukan, terutama karena siapa saja butuh untuk melipatgandakan dirinya.

~~~~~=*$$$*=~~~~~

Melahirkan kembali Jaka Tarub ditengah generasi yang terlanjur menganggap sepi kelebihan manusia untuk sanggup melakukan hal-hal yang luar biasa dan sanggup juga menanggung segala kesia-siaannya dan kegelisahan pikirannya, jelas bukan hal yang memerlukan energi biasa-biasa saja. Keduanya tidak mau tenggelam kedalam idealisme dan tidak mau tertelan oleh empirisme.

Hebatnya lagi, generasi yang terlanjur menganggap sepi keyakinan terhadap segala kemungkinan yang bisa dilakukan manusia ini juga terlanjur merendahkan potensi tak terbayangkan dalam segala hal termasuk kebaikan dan kemuliaan yang dikandungnya sendiri. Dari mulut atau pikiran mereka, sering muncul kebijaksanaan yang dengan sangat jelas memberitahukan siapa mereka, dan apa yang bisa mereka kerjakan ditengah-tengah dunia ini; … kita hanyalah pupuk bawang, yang dilibatkan dalam percaturan sekedar supaya tidak menangis….

Kita toh sebenarnya perlu bersyukur karena memiliki mereka sebagai bagian dari generasi ini. Di lapisan terdalam kepribadian mereka, terdapat energi ketidak (mau) tahuan yang sangat besar, di atasnya adalah lapisan kesombongan, dan di atasnya lagi adalah kepengecutan. Senyawa dari ketiga hal itu adalah penyusun yang paling sempurna untuk menjadikan masing-masing dari mereka sebagai the reasonable man. Inilah jenis yang paling membutuhkan dunia supaya mereka bisa senantiasa menyesuaikan diri terhadapnya.
Melahirkan kembali Jaka Tarub di hadapan mereka adalah melahirkan kembali kesan negatif yang tertimbun dalam penggalan ingatan salah paham mereka. Tentu saja, karena Mas Jaka Tarub pakai mencuri selendang segala, sih, alasan mereka. Yang lain dengan lebih gagah menjelaskan ikatan bodoh yang dijalin Mas Jaka dan Dik bidadari Nawang Wulan hanya karena sebatas selendang. Sehingga, begitu Nawang Wulan menemukan kembali selendang itu, kaburlah dewi itu kembali ke tempat asalnya, Surga.

~~~~~=$***$=~~~~~

Generasi yang terus menerus memupuk ketidaktahuan sebagai benteng pertahanan ini, barangkali, juga menaruh minat yang besar terhadap feminisme, dan isme-isme, sepotong keju dan tepung terigu yang diaduk dengan potongan-potongan tulang sapi dengan bawang putih, garam, gula dan merica sehingga tak lupa mereka pun menunjukkan sikap kritis yang dewasa terhadap Nawang Wulan. Sikap itu ditunjukkan untuk menegaskan bahwa sang Bidadari, yang mau-maunya berserah diri untuk diperistri oleh Jaka Tarub itu, juga berperan membentuk ingatan negatif dalam benak masa kecil mereka.
Barang kali, masa kecil mereka adalah masa kecil yang tidak berani memandang surga sama dengan buah mangga tetangga, yang begitu jatuh ketangan kita tanpa tahu yang punya, rasa manisnya jadi terasa berlipatganda. Atau, jangan-jangan mereka menganggap buah mangga berjenis kelamin perempuan? Tapi, jika demikian, mereka juga yang harus bertanggungjawab atas jalannya pikiran mereka sendiri lepas bahwa kita di Jogja mengenal mangga sebagai pelem yang kemudian 'sesuai tradisi' sering berlanjut menjadi pelempuan.

~~~~=*$$$$$$$$$$$$…….

Maaf, jika ada kesinisan dalam nada bicara saya. Saya sekedar memantulkan wajah tertentu seseorang dengan apa adanya.

Tetapi, apa sih masalahnya ?

Begini, anda boleh-boleh saja tidak suka dengan segala yang saya bicarakan. Saya sama sekali tidak keberatan. Karena betapapun anda membenci tulisan saya -sebesar anda membenci Jaka Tarub atau Sisifus- anda tetap tidak bisa membuangnya begitu saja. Anda tentu begitu ingin melakukannya, karena tak tahan lagi membaca tiap kata yang dengan begitu yakin keluar dari benak saya yang kemudian menikam-nikam, bahkan meludahi harga dan kehormatan diri anda. Tapi, sungguh anda tak akan bisa benar-benar melakukannya, bukan?

Harusnya, anda tahu alasan utamanya. Secara umum, simbol fonetik yang saya hasilkan dapat dipastikan mewarisi setiap denyut kesadaran yang secara kodrati menjadi sifat organ dalam tubuh. Replika yang paling mendekati sempurna dari alam semesta. Karena itulah bahkan simbol fonetik, huruf-huruf itu, dapat “memberitahukan” suasana hati anda kepada udara. Huruf-huruf itu sangat terlatih dalam memanfaatkan segala ingatan anda tentang segala sesuatu. Dengan mengetahui segala ingatan sadar maupun tak sadar anda, mereka, huruf-huruf itu, dapat berpartisipasi di dalamnya dengan leluasa.

~~~***$***~~~

Baiklah saya tidak akan akan memperpanjang ketakutan Anda. Pada intinya, saya berbicara pada siapa yang dengan sangat dewasa mencukupkan diri sebagai pupuk bawang itu. Kenapa itu menjadi soal serius? Ijinkan saya bertanya. Siapa yang meminta anda datang kesini? Jikalau anda adalah seorang penganut agama yang baik, anda akan menjawab tanpa keraguan, Tuhan. Jika anda seorang religius orang yang paham religiositas- atau dengan kata lain orang tolol, anda akan menjawab, orang tualah yang menghendaki saya ada.
Siapapun anda dan jawaban apapun yang bisa anda berikan, saya tidak terlalu yakin bahwa anda sanggup menjawab bahwa anda datang kesini sepenuhnya karena kehendak anda sendiri kecuali anda pernah atau sedang serius mendalami bagian-bagian tertentu dari filsafat Jawa. Bukankah bahkan Yesus Kristus dan para nabipun tak ada yang mengeluarkan pernyataan seperti itu?

Jadi, kecuali anda pernah atau sedang serius mendalami bagian-bagian tertentu dari filsafat Jawa, andapun tentu berpegang pada keyakinan bahwa kita kesini bukan karena kehendak kita sendiri. Konon kabarnya, sebelum meledakkan kepalanya sendiri dengan pistol, Adolf Hitler mengucapkan kata-kata mutiara ini; “Saya tidak pernah minta untuk dilahirkan.” Lupakan! Lupakan! HAAH! Hidup toh hanyalah latihan pertunjukan yang tidak pernah dipentaskan, kata Hipolito. Mari kembali ke Jaka Tarub.

~~~~~=*$$$*=~~~~~

Jaka Tarub. 'Jaka' menunjukkan bahwa dia lelaki (muda) yang selangkah lagi bergabung dengan masyarakat menjadi lelaki dewasa. Tarub berasal dari bahasa Arab, taroqum, yang kurang lebih berarti, meditasi.

Meskipun bukan aktifitas gerak motoris, meditasi merupakan sebuah proses pencarian batin. Itu sebabnya kenapa dalam tradisi Jawa, bertapa diistilahkan sebagai laku. Berjalan. Perjalanan. Pergerakan batin. Itu mengingatkan kita kepada seseorang, nda? Bagi saya, ya. Henri Bergson, orangnya













~~~~~=*$$$*=~~~~~

Henri Bergson (1859-1941) adalah seorang filosof Prancis yang lahir di Paris. Pemenang hadiah Nobel untuk sastra tahun 1927.

Filsafat Bergson bersifat evolusioner, tetapi tidak materialistik. Kehidupan diintuisikan sebagai aliran batiniah. Perubahan-perubahan material dan badaniah merupakan mekanisme dari aktivitas spiritual. Aktivitas manusia dalam dirinya sendiri mengandung sebuah kebebasan yang berbeda dari mekanisme ini. Sebagai contoh, ada dua jenis waktu yang berbeda secara radikal: (a) waktu terukur (waktu alamiah; waktu obyektif; waktu konseptual; waktu mekanis) dan (b) waktu pengalaman kita yang mengalir, intuitif, dan langsung. Waktu terukur bersifat matematis, simbolik, bagian dari penjelasan fisik, menggunakan satuan-satuan atau momen standar yang diukur melalui berkas-berkas spasial pada kronometer, jam,dll. Waktu terukur dilihat sebagai perluasan, homogen dan memasuki masa depan dengan arah linear kedepan.

Waktu intuitif dan batiniah kita bersifat tak dapat balik. Ia mengalir secara aktif dan membaur dengan sangat kental ke dalam diri sehingga aktivitas atau proses waktu itu tak dapat dibagi-bagi. Namun ia bersifat heterogen (terdiri atas serentetan kualitas-kualitas dan peristiwa-peristiwa yang berbeda), konkret, tidak abstrak, nyata, tidak simbolik, langsung, tidak terlepas secara obyektif, berlanjut dan mengalir secara aktif. Ia dialami dan dirasakan dengan cepat dan intuitif; selalu menjadi bagian dari kesadaran kita. Sedangkan waktu terukur itu bersifat khayali, tetapi dipandang oleh para ilmuwan sebagai waktu riil.

Bergson menganjurkan penggunaan élan vital yang diintuisi untuk dapat mengetahui daya-daya sejati yang bekerja pada setiap hal. Pengetahuan tentang élan vital merupakan dasar penjelasan yang benar bagi perubahan, dan bagi evolusi alam semesta.
Élan vital (bhs. Prancis); dorongan hidup, prinsip hidup, denyut kehidupan, sebuah term yang digunakan dalam teori-teori evolusi kreatif dan tidak mekanistik (seperti teori Bergson) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa organisme hidup berevolusi menjadi semakin kompleks sepanjang waktu. Élan vital adalah (a) daya yang mendorong kehidupan ke struktur dan organisasi yang semakin tinggi dan (b) daya kreatif yang memberi arah pada evolusi. (kamus Filsafat halaman 89)

~~~~~=*$$$*=~~~~~

“Tapi, kenapa harus dengan mencuri? Dan, kenapa harus menipu Nawangwulan, sang bidadari?”

“Karena, itulah dadining carita, sebab musabab yang melahirkan sejarah manusia dan kemanusiaannya. Jaka Tarub membutuhkan Nawangwulan untuk memulai proses menyejarahnya, dan Nawangwulan membutuhkan pelindung, di tengah dunia yang serba buas dan tak dikenalnya. Jadi, barangkali ini memang sebuah kewajaran budaya.”

“Sayang, akhir ceritanya menyakitkan. Nawangwulan menemukan selendangnya, dan terbang kembali menuju Khayangan, ke tempat dia berasal.”

“Lho, bukankah itu justru semakin menegaskan konteks kemanusiaannya? Bukankah siapa saja akhirnya bisa pergi ke khayangan juga? Nawangwulan, bukannya pergi karena dia kecewa dan menyesal atau bermaksud melupakan sejarah yang ditempuhnya, sampai lahir putra dari pernikahan mereka, tapi yang dimaksud disini, ya dia mati….
Urusannya dengan dunia sudah selesai.

~~~~~=*$$$*=~~~~~

Dalam buku Mite Sisifus halaman 155 terjemahan Apsanti. D, Camus (kamu?) menulis begini; “kita sudah mengerti bahwa Sisifus adalah sang pahlawan absurd… Sikapnya yang meremehkan para dewa, penghinaannya terhadap kematian… harus dibayarnya dengan siksaan tak terperikan dengan mengerahkan seluruh dirinya untuk tidak menyelesaikan apa pun. Itulah harga yang harus ia bayar untuk segala nafsu di bumi ini… Mengenai mite yang satu ini, kita hanya melihat usaha suatu tubuh yang meregang untuk mengangkat batu raksasa, menggelindingkan dan mendorongnya di lereng berulang-ulang tanpa berhenti… Di ujung usaha yang lama, dalam dimensi ruang tanpa langit dan waktu tanpa dasar itu, tercapailah tujuannya…

Saya melihat laki-laki itu turun kembali dengan langkah berat tetapi teratur ke arah siksaan yang tidak ia ketahui kapan akan berakhir. Saat yang bagaikan nafasnya sendiri, dan yang pasti kembali lagi seperti halnya kesengsaraannya, saat itu adalah saat kesadaran. Pada saat ketika ia meninggalkan puncak gunung dan sedikit demi sedikit masuk ke sarang para dewa, ia lebih tinggi dari pada takdirnya. Ia lebih kuat dari pada batunya. …

Seluruh kegembiraan Sisifus terletak di sana. Nasibnya adalah miliknya. Batunya adalah bendanya. …Tiada matahari tanpa bayangan dan kita harus mengenal malam. Manusia absurd mengatakan ya, dan usahanya tak akan pernah berhenti. Jika takdir pribadi itu ada, tak ada takdir yang lebih tinggi, atau setidaknya hanya ada satu yang dinilainya fatal dan nista. Selebihnya, ia tahu bahwa dirinyalah yang menguasai hari-harinya. …Sisifus kembali lagi ke arah batunya, merenungi rangkaian tindakan tanpa kaitan itu yang menjadi takdirnya, yang diciptakan olehnya, terpadu dibawah tatapan ingatannya… semua yang manusiawi bersumber pada manusia… .”

Pemaparan yang luar biasa itu diakhiri dengan; “Perjuangan ke puncak gunung itu sendiri cukup untuk mengisi hati seorang manusia. Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia.” Anda bisa bayangkan seberapa besar energinya? HAAH !!!

~~~~=*$$$$$$$$$$$$…….

Baik, kita toh harus mengalah pada akhirnya. Langit hanya satu. Musim tak bisa lebih according to mister Gunawan Mohamad: hidup Utan Kayu, betapapun kita tak lagi punya utan belantara! Tapi, dengan sadar, saya memang akan berlaku agak curang. Seperti saya sampaikan di awal tadi, saya dan susunan simbol fonetik yang dihasilkan atau yang terlahir kembali melalui saya, sebisa mungkin, akan sampai pada tahap mempertemukan kedua tokoh itu. Saya beranggapan bahwa dengan demikian keduanya telah bertemu. Apa yang akan terjadi kemudian dan apa yang akan mereka lakukan, tidak akan saya panjang-lebarkan. Namun, sisifus telah mengajarkan kesetiaan lebih tinggi yang menyangkal para dewa, dan mengangkat batu-batu besar. Ia juga menilai bahwa semua baik adanya(Mite Sisifus, hal. 159).


Dalam keseluruhan bangunan fisik cerita yang berbeda, Jaka Tarub juga menyampaikan hal atau tema yang sama pada akhirnya. Namun, dengan laku yang berbeda, anda akan mendapatkan ilmu dan tingkat energi yang berbeda pula. Setidaknya, kita tahu bahwa Jaka Tarub sendiri, maupun imajinasi kita yang menghidupinyasetidaknya sampai saat inidicegah untuk mempertemukan Jaka Tarub dengan penanggung jawab swarga, dan meminta supaya Nawang Wulan dikembalikan lagi ke dunia. Atau, melompati tembok swarga begitu saja, dan sekali lagi, mencuri Nawang Wulan dengan kereta impiannya.
Batas itu, kesia-siaan itu, begitu saja menerkamnya. Dan, dia merasakan keterbelahan yang sama. Absurditas? Saya belum menemukan istilah lain. Konon kabarnya, begitu kita lahir kita sebenarnya mengalami tidur panjang. Jadi, kehidupan ini adalah mimpi. Kematian berarti terjaga, dan bangun lagi. Waking life (?). Waktu memang bisa terasa amat keras terhadap siapa saja yang bisa bermimpi….

Republik Indonesia, Propinsi DIY, Kabupaten Bantul, Kecamatan Kasihan, Kelurahan Tirtonirmolo, Dusun VII Jogonalan Lor, September , 2003

Tidak ada komentar: