Jumat, 23 November 2007

Kisah Burung Dara Putih dan Sebuah Lukisan

Oleh Sihar Ramses Simatupang



Tidak pernah ada yang tahu, burung dara putih milik siapa yang kerap keluar dan terbang dari rumah itu. Orang-orang kota ini hanya tahu bahwa seekor demi seekor burung dara selalu keluar dari rumah, dan terbang pergi dengan memperlihatkan kedukaan di wajahnya.

Burung yang usianya sangat muda, terlihat indah bulunya, terbang dan menghilang ke langit lepas. Terbang dan tak pernah lagi kembali.

Rumah itu memang sejak dulu tanpa penghuni. Tak ada suara, kecuali mereka sering mendengar setiap waktu selalu saja ada suara burung piyik mencicit sebelum akhirnya seekor burung dara putih muda muncul tiba-tiba dari wuwungan rumah, dan hinggap sejenak untuk kemudian terbang dan pergi.

Suara cicit piyik itu kadang teramat enak untuk didengar, terkadang mirip sebuah keluhan dan kerinduan. Suara yang terdengar mulai pagi, siang, sore, namun berhenti di saat malam hari. Agak lain dari biasanya, suara itu memang bukan misteri dan ganjil, yang mengundang tafsir takhyul buat sekelilingnya.

Tidak setiap orang adalah penduduk asli di sekitar rumah itu, tetap merasa akrab pada suara yang diperdengarkan dari rumah itu. Hingga berminggu-minggu, suara burung dan burung dara putih yang terbang itu selalu muncul. Hingga berbulan-bulan. Hingga bertahun-tahun.

***

"Pasti pemiliknya adalah remaja yang pernah bercinta di tempat itu…"

"Tiga tahun yang lampau, sepasang remaja memang pernah ke rumah itu."

"Tapi, mereka hanya datang sesekali. Itu pun tak lebih dari dua atau tiga hari. Bagaimana mungkin tiga tahun kemudian, dari rumah itu, sering keluar burung dara putih dengan wajah yang penuh duka"

"Ya, kita tak tahu apa yang mereka lakukan di rumah itu tiga tahun yang lalu. Kita hanya tahu apa yang telah terjadi setelah mereka tiga tahun tak lagi kemari."

"Apa yang telah mereka lakukan?"

"Kalau pun bercinta tiga tahun lampau, mereka tentu tak akan bisa menitipkan burung-burung di rumah itu. Apalagi, menciptakan telur burung dara putih, atau mempersiapkan sarang buat cicit burung piyik, yang tahu-tahu bisa terbang beberapa tahun kemudian lalu pergi ke langit," ujar yang lain.

"Siapakah mereka?"

Ya, siapakah mereka?

***

Orang-orang lalu mulai sibuk merenung, dan mengingat semua kenangan tentang sepasang remaja yang pernah datang ke tempat itu. Tiga tahun yang lampau, mereka berdua berjalan ke rumah yang selalu kosong itu dengan pakaian yang telah penuh debu. Seakan, angin telah mempermainkan pakaian kedua remaja itu sejak berhari-hari sebelum mereka akhirnya tiba.

Tak ada yang menegur kedua remaja hingga akhirnya mereka beristirahat di rumah itu. Kedua wajah yang penuh kelelahan, membuat para penduduk mengunci mulutnya, dan membiarkan pertanyaan terus bergelayut di benak mereka masing-masing. Bahkan, saat keduanya menutup pintu rumah kosong yang sudah tak terawat itu. Mereka berdua dibiarkan dalam kelengangan. Bahkan hingga malam berganti malam selanjutnya. Dua hari mereka tak pernah keluar kecuali untuk mandi di bilik kamar mandi yang sejak dulu kosong dan tak terawat itu.

Lelaki itu sempat keluar sebentar mengambil embernya dari sungai di belakang rumah kosong. Ah, apakah cukup dua ember untuk pasangan muda itu?Tapi, tak ada yang bertanya. Mata seakan telah mereka tutup untuk cinta si remaja. Seakan, para penduduk di tempat ini merasakan cinta antar keduanya yang telah begitu erat, dan membiarkan mereka larut dalam keabadian dan kesucian hatinya. Seakan, para penduduk menyaksikan sebuah kisah romantika seperti yang kerap ditayangkan di televisi yang menyala di rumah mereka atau juga kisah cinta lama mereka yang kurang lebih sama dengan kedua remaja.
Para bocah dan remaja anak-anak para penduduk itu pun ikut diam, dan tak ikut campur. Namun, mereka saling bercakap dengan kawan-kawannya tentang kehangatan cinta dua remaja, sibuk mengingat legenda cinta kuno, dan menghubung-hubungkannya dengan kisah lelaki dan perempuan muda itu. Kakek-kakek dan nenek-nenek ikut tersenyum, dan mulai menyelipkan kisah cinta keduanya di antara kisah klasik saat mendongeng buat cucu mereka. "Demikianlah, mereka sungguh tak berbeda dengan Joko Tarub-Nawang Wulan dan Proncitro-Roro Mendut," ujar seorang guru kepada para muridnya, pada suatu pagi yang cerah. Guru itu kemudian menatap rumah yang berisi kedua anak muda itu dari jendela kelas, sibuk membayangkan cinta suci antara keduanya terus terjadi, dan akan berlangsung dengan abadi.



***

“Kenapa kakek masih sering bercerita tentang rumah itu?"

"Sebab disanalah kakek pertama mengenal cinta."

"Maksud kakek, jatuh cinta kepada nenek…"

"Tidak, cinta pertama kakek hanya kepada perempuan itu."

"Ah, kakek ada-ada saja."

"Hmmm. Kamu, anak sekarang, memang tak akan pernah tahu tentang cinta sejati. Tak akan pernah tahu…"

"Akh, kakek ini, bisa saja. Nyindir, ya? Mentang-mentang saya playboy…"

"Tak ada maksudku menyindirmu, cucuku…"

"Siapa dia?"

"Seorang perempuan, dan dia bersayap."

"Kakek ada-ada saja. Memangnya perempuan yang kakek cintai itu seorang bidadari…"

"Barangkali, dia memang seorang bidadari…"

"Kakek mulai pikun. Saya serius, siapakah dia?"

"Aku pun tak pernah tahu. Kecuali, dia perempuan. Dan, dia bersaya. Barangkali, dia bidadari seperti katamu. Atau, dia malaikat…."

"Terlalu sulit dimengerti, Kek…."

"Tak perlu engkau mengerti. Cinta memang tak selalu untuk dimengerti, tapi dirasakan…"

"Ah, kakek kayak filsuf!"

"Hmmm…."

"Kakek tak pernah menyebutkan di kota mana …."

"Tak akan pernah aku menyebutkannya padamu. Sedang, seluruh orang di kota itu pun tak pernah tahu."

"Kenapa? Kenapa kakek merahasiakannya. Kenapa tak memberitahu di kota mana itu terjadi? Kenapa harus pake rahasia segala?"

"Tiap orang punya rahasia, cucuku…"

Si cucu pun diam mendapatkan jawaban yang mengunci dari kakeknya itu. Bila sudah berkata begitu, dia tak akan bisa lagi mendapat jawaban yang lain dari kakeknya itu.
Itu yang selalu terjadi pada akhir percakapan mereka.

"Kakek…!" ujarnya pelan.

"Hmmm?"

"Seberapa besarkah cinta kakek kepada nenek bila nyatanya kakek selalu bercerita tentang bidadari itu?"

Kali ini, si kakek tak menjawab. Kecuali, diam dan menghisap cerutunya. Kenangannya kembali menembus tentang masa lalunya, saat bercengkerama dan bersenda-gurau bersama kekasih di masa lalunya itu. Pada sebuah rumah, di tengah kota.
Kisah pertemuan masa silam itu, suatu saat, pasti akan terhapus juga oleh peta-peta waktu. Serupa beberapa lembar uban di rambutnya yang lepas, kulitnya yang keriput dan mengelupas, masa lalu hanya tinggal debu yang tertimbun kerumunan padang pasir.

***

"Apa yang kau lukis itu, anak muda?"

"Seekor burung dara…”

"Dan, lelaki itu?"

"Brotosilo, namanya.…"

"Nah, kalau perempuan yang menebar rambutnya dan menciptakan tangga-tangga untuk ke langit itu siapa? Kayaknya, dia jadi fokus di lukisanmu. Gede banget kamu nggambarnya .”

"Itu nenekku…"

"Pantesan, kamu nggak berani gambarin gadis di lukisan itu nude." ujar lelaki itu menggoda. Tawa ngakak terdengar. Namun, berhenti saat menyadari kalau si pelukis muda itu tidak ikut tertawa.

Muka si seniman itu malah menyiratkan ketersinggungan.
Si lelaki penikmat lukisan menyadarinya.

"Maaf, kalau saya lancang. Ngomong-ngomong, Brotosusilo itu kakekmu?"

"Bukan, nama kakekku Bayu Sutedja. Entah siapa, Brotosusilo itu.…"

"Kok , nggak tahu? Karanganmu saja?"

Pelukis muda itu menggeleng. Dengan mimik yang serius dan getir, dia menatap lukisan di hadapannya. Si pelukis muda pun mengucap pelan, "Nama itu, yang kerap mengalir dari bibir nenekku bertahun-tahun menjelang dia wafat."

"Siapa dia?"

"Aku tak pernah tahu. Tapi, katanya, dia seorang lelaki suci. Berwajah terang. Bersayap malaikat. Sampai sekarang, aku masih takjub pada perkataan nenekku itu…"

"Kau tak pernah menanyakannya?"

"Sudah. Tak pernah berhasil," ujar si pelukis muda.

"Akh, perempuan. Memang, selalu pandai menyimpan rahasia," ujar si lelaki penikmat, masih terus menyimak kisahnya tadi dengan heran.

"Ya, perempuan selalu penuh rahasia," tanggap pelukis muda itu lagi.

Si pelukis pun melanjutkan. "Itu sebabnya saya memutuskan untuk tidak menikah," ujarnya.

Dia pun kembali menggoreskan kwas pada lukisan yang belum selesai. Diguratnya lagi, sebuah rumah di antara lelaki dan perempuan yang berjalan dengan rambut ke atas pelangi. Di latar semua obyek, dilukisnya orang-orang berkerumun. Dilukisnya juga burung-burung darah putih yang keluar dari rumah itu. Sekarang, lukisan terbarunya sudah sempurna. Hasil karyanya jelas. Obyek orang-orang di dalam lukisannya itu sedang berusaha untuk menangkap burung-burung dara putih yang terbang. Tapi, tangannya tak mampu menjangkau. Burung darah putih itu terbang terlalu tinggi dan menghilang di balik awan. Tentu saja, semua usaha orang-orang itu, jadi sia-sia.

"Hmm, lantas, apa maksud burung dara putih itu?"

"Jawab saja dengan cintamu. Dengan hatimu. Bukan dengan otakmu. Itu juga perkataan nenekku. Sampai sekarang pun, aku masih merenungkannya," tandas si lelaki muda itu sambil terus menggores kuas di atas permukaan kanvas.


Jakarta, 2003

Tidak ada komentar: