Jumat, 23 November 2007

Mitos Gender dalam “Komik Monika & Teman-temannya”, Dekil Cinderela






Oleh Yuli Purnama


Putih-putih melati… Ali Baba
Merah-merah delima… Pinokio
Siapa yang baik hati… Cinderela
Pasti disayang Mama!

Apa itu Mitos?

Pemikiran tentang mitos muncul dari Roland Barthes. Dengan akar ilmu semiotik, Barthes mengungkapkan bagaimana posisi tanda-tanda dalam nilai-nilai suatu sistim nilai yang dominan – atau ideologi- dalam masyarakat tertentu dan membuatnya seolah-olah alami.

“...how signs take on the values of the dominant values of the dominant value system –or ideology- of a particular society and makes these values seem natural “ (Lacey: 1998; 67).

Mitos dapat juga dijelaskan dengan suatu keadaan dimana makna konotasi suatu tanda telah menjadi denotasi. Untuk memahami bagaimana mitos bekerja, kita perlu mendekonstruksi makna dari mitos.

1. Signifier 2. signified
3. Sign
I. SIGNIFIER
II. SIGNIFIED
III SIGN
Sumber: Roland barthes, Mythologies (St. Albans: Granada 1973: 115)

Untuk mendekonstruksi sebuah mitos, kita dapat melakukan sebuah commutation test. Selain itu, kita juga dapat melakukan sebuah cara pandang yang berlawanan dari kebiasaan dalam membaca sebuah teks. Dengan selalu mempertanyakan dan tidak menerima segala sesuatau sebagai alami, kita dapat menemukan mitos-mitos di keseharian kita.

Cinderela, Mitos Putri Sepatu Kaca


Siapa sich yang tidak mengenal Cinderela? Seorang gadis yang menderita akibat perlakuan semena-mena dari ibu tirinya dan saudara-saudara tirinya. Ialah yang harus mengerjakan segala pekerjaan rumah dan melayani orang tua dan saudari-saudarinya.

Pada suatu hari, diadakanlah sebuah pesta dansa di istana. Cinderela yang mengetahuinya sangat ingin mengikuti pesta dansa itu. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Saudari-saudari dan ibu tirinya mengunci Cinderela ke dalam kamar yang gelap.

Dalam keadaan putus asa, datanglah seorang peri. Dengan kekuatan yang dimiliknya, peri itu membantu Cinderela keluar dari tempat itu. Tidak berhenti disitu, ia meyakinkan Cinderela untuk datang ke pesta itu. Dengan sedikit mantra, seketika Cinderela telah berbaju pesta. Sungguh indah bak puteri raja. Sepasang kuda lengkap dengan kereta di belakangnya telah siap menunggu di halaman rumah. Seorang kusir tersenyum hormat menyapa Cinderela.

Berangkatlah Cinderela ke pesta itu. Saudari-saudarinya yang konyol pun tak dapat lagi mengenalinya. Kecantikkannya telah memukau semua yang hadir. Termasuk sang pangeran.

Sesuai dengan janji peri, ia tidak boleh melebihi jam sembilan malam. Maka, dengan tergesa, ia meninggalkan istana. Sayangnya (atau untung ya?) ia tersandung tangga dan sepatu kaca yang dikenakannya tertinggal satu.

Sang pangeran yang terpesona, mengambil sepatu itu dan melakukan sayembara. Singkat cerita, Sang Pangeran akhirnya bertemu Cinderela dan hidup bahagia selama-lamanya.

Dekil Cinderela

Untuk menyampaikan kritik atau sindiran, cerita-cerita komik seringkali kita temukan dalam bentuk parodi. Dekil adalah salah satu tokoh dalam Komik Monika.

Berbeda dengan Cinderela “yang sebenarnya”, Dekil Cinderela tidaklah cantik dan berparas ayu. Sesuai dengan namanya, Dekil adalah seorang anak kecil yang anti air, malas membersihkan diri dan selalu terlihat kotor.

‘Kisah sengsara’ yang dialaminya tidak berasal dari ibu tirinya. Diceritakan ia memiliki ayah dan ibu kandug yang menyayanginya. Pada suatu hari, orang tuanya memutuskan untuk mengadospsi dua anak kembar dari panti asuhan, Klotilde dan Kremilde. Merekalah yang menjadi awal malapetaka bagi keluarga Dekil Cinderela.

Kedua orang tua Dekil Cinderela tersesat di pasar pada saat mereka berbelanja kentang, khusus untuk simungil Dekil Cinderela. “Mereka tersesat di Pasar di tengah kerumunan orang di pasar… dan nggak pernah ditemukan lagi”.

Hal lain yang menarik adalah ketika dekil Cinderela dikurung di gudang kentang, ia didatangi tiga lalat yang tak lain adalah teman-temannya sendiri: Monika (perempuan kuat, pemarah, pemimpin perkumpulan), Meggi si gila makan dan Jimmi Lima yang suka menggoda Monika.


Ketiga temannya mengundang seorang penolong. Peri yang menolongnya bukanlah seorang perempuan cantik, namun seorang laki-laki dan sangat dekil, namanya Kapten Kotor.

Dihantar oleh Monika dan Jimmi Lima yang telah disulap menjadi kuda yang dikendarai kusir Meggi, berangkatlah Dekil Cinderela ke istana. Singkat cerita, kedua saudaranya ditangkap oleh penjaga kerajaan. Akhirnya, ia bertemu dengan kedua orang tuanya yang disembunyikan didalam peti oleh saudari-saudari tirinya selama beberapa tahun.

“Kalian tahu nggak, yang paling aneh?” ungkap Dekil pada Jimmi dan Monika. “pada cerita Cinderela yang asli, dia tersandung di tangga dan sepatunya tertinggal…tapi pada versi ini tidak ada yang tersandung”, celoteh Dekil bangga sambil berlari.

Jimmi yang salah paham segera “menolong” temannya itu dengan mengganjal kaki kirinya. “Beles, puas?”, ungkap Jimmi sok pahlawan. Dekil terang saja marah besar. Akhirnya, Jimmi dilempar sepatu kanannya yang masih melekat di kaki. Dan, Jimmi pun belum sadar juga, “Kamu lupa akhil celita itu? Dimana ’Dan meleka bahagia untuk selamanya?

’Cinderela adalah Candu’

Cerita pengantar sebelum tidur merupakan sesuatu yang sangat mengesan bagi anak-anak, apalagi apabila hal itu dilakukan selama berulang-ulang. Nilai-nilai yang ada dalam cerita tersebut akan menetap dalam pikiran sang anak. Bisa jadi si anak bermimpi sesuai cerita ibunya dan masuk kedalam cerita tersebut sebagai salah satu tokohnya.

Selama beberapa waktu, cerita Cinderela diangap sebagai sebuah cerita bacaan wajib bagi seorang anak perempuan. Tidak hanya anak-anak, seorang gadis remaja atau dewasa pun kadang masih memimpikan dirinya agar suatu saat datanglah seorang pangeran berkuda putih datang menjemputnya dan akhirnya hidup bahagia selama-lamanya.

Penceritaan Cinderela yang berulang-ulang membuat nilai-nilai tentang bagaimana seorang perempuan bertindak, bagaimana perempuan baik itu berlaku meresap pada diri anak. Penanaman nilai-nilai Cinderela itu tidak hanya dalam bentuk cerita sebelum tidur, tapi juga melalui lagu yang sering dinyanyikan anak-anak: siapa yang baik hati…, Cinderela pasti disayang Mama! Salahkah hal itu?

Marx pernah mengatakan bahwa ‘agama adalah candu’ karena membuat seseorang menjadi lebih pasrah dan menyerah dengan keadaan. Tak berbeda jauh dengan pemikiran Marx, kali ini candu itu adalah Cinderela. Mengapa candu?

Cerita-cerita Cinderela telah membuat perempuan menjadi lemah, pasrah dengan keadaannya. Penelitian Susan Darken Smith (dari Universitas Derby, London, Inggris) menunjukkan sebuah fakta yang mengejutkan. Dongeng Cinderela membuat perempuan cenderung menjadi pasrah dan submisif (Tempo 2-8 Mei 2005, rubrik Kesehatan hal. 82).

Fakta ini diperkuat oleh survei yang dilakukannya. Penelitian terhadap sejumlah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menunjukkan bahwa sebagian besar mempunyai latar belakang ingatan yang kuat atas dongeng Cinderela dan dongeng serupa lainnya.

Ada Apa Dengan Cinderela?


Cerita Cinderela menggambarkan seorang perempuan yang baik hati. Bagaimana seorang perempuan harus menjadi baik hari inilah kiranya yang perlu kita kritisi. Semua penggambaran tentang seorang perempuan yang baik hati telah semakin memojokkan perempuan dalam bias gender yang semakin dalam.


(1) Baik hati berarti ia selalu menuruti perintah orang tua, meskipun tahu hal itu tidak adil baginya. Ia selalu menerima kenyataan dengan sikap berserah.

(2) Semua pekerjaan rumah tangga dilakukannya. Bahkan, perintah dari saudari tirinya yang jahat kepadanya pun dilakukannya dengan baik. Dalam pandangan feminis, hal ini semakin memojokkan perempuan selalu di ranah domestik.

(3) Dengan keadaan seperti itu, ia tetap dapat merasa bahagia dan terhibur. Ia masih bisa bernyanyi-nyanyi dengan burung-burung sahabatnya. Dengan semua itu, seolah-olah mengajarkan kepada perempuan untuk menerima begitu saja keadaannya sebagai takdir.

(4) Nasib baik tidak datang dari usaha yang keras dari dirinya sendiri, tetapi dengan mengharapakan pertolongan seorang peri atau seorang Pangeran yang baik hati –yang dalam kenyataan hampir mustahil terjadi-.

(5) Untuk dapat menarik hati Pangeran, ia harus tampil cantik dan berpakaian serba gemerlap. Dalam kehidupan nyata, hal ini nampak dalam iklan-iklan kecantikan. Definisi cantik pun kini telah distandardisasi. Media massa selalu menyatakan cantik adalah langsing, putih, berambut lurus, dll.

(6) Kebahagiaan bermula dari kecocokan ukuran sepatu. Dalam versi film Cinderela Story, peran sepatu itu digantian oleh hand phone (HP). Dengan kata lain, kebahagiaan itu bermula dari kelengkapan aksesoris yang dimiliki oleh seorang perempuan.

Kebahagaian selama-lamanya berarti hidup bersama seorang Pangeran. Jelas, kebahagaiaan seolah-olah hanya diperoleh dari laki-laki. Perempuan itu lemah dan perlu mendapat perlindungan dari laki-laki.

Enam point itu adalah mitos-mitos dalam cerita Cinderela yang dapat menjelakan efek dari Cinderela. Konsep tentang kepatuhan, “pekerjaan perempuan”, dan kebahagaiaan dalam cerita tersebut sangat kental.

Oleh Althusser, inilah yang disebut sebagai agen-agen ideologis atau Ideological State Aparatus (ISAs) (Althusser; 1971. 76) dalam arti luas. Filosof Marxis dari Prancis ini menyebut keluarga, sekolah, agama dan media massa sebagai ISAs. Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak. Nilai-nilai mulai ditanamkan melalui keluarga.

Dalam suasana hegemonis itulah nilai-nilai ditanamkan secara menyenangkan, secara tidak langsung. Istilah hegemoni pertama kali digunakan oleh Antonio Gramsci. Hegemoni dalam bahasa Itali egemonia, berarti kehadiran dari kekuasaan (....presence of the power [Inglis; 1990: 81]). Istilah ini pertama kali digunakannya untuk menggambarkan kehadiran kekuasaan negara dalam diri masyarakat secara halus.

Hegemoni bekerja melalui budaya (‘Hegemony’ goes beyond ‘culture’ [ Williams: 1977; 108]). Semua yang ada pada akhirnya diterima begitu saja sebagai sesuatu yang alami dan semestinya terjadi.

Cinderela dalam Fungsi-Fungsi Propp

Vladimir Propp, seorang pakar cerita rakyat dari Rusia telah mengamati berbagai cerita rakyat dari berbagai daerah. Hasil penelitiannya itu dibukukan dalam Morphology of the Folktale pada tahun 1928. Buku itu berisi morfologi atau bagian-bagian mendasar dalam sebuah cerita rakyat dan 7 karakter pola dalam cerita rakyat (Propp: 1968).

Analisis fungsi-fungsi Propp atas cerita Cinderela adalah sebagai berikut:

a Situasi awal: anggota keluarga atau sosok tokoh dikenalkan
b Ketidakhadiran: ibu dan ayah Dekil Cinderela pergi ke pasar
d Kekerasan: Dekil diminta melayani Kremilde dan Klotilde, mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga.
E Pengintaian : Dekil mengetahui akan diadakan pesta dansa di kerajaan
H Pengiriman : Dekil bermaksud untuk datang ke pesa tersebut
Z Tipu daya : Dekil dimasukkan ke dalam gudang kentang.
A Kekejian : Dekil dikunci di dalam gudang tersebut dari luar
8 Keberangkatan : Dekil berangkat dengan kereta ke Kerjaan.
G Pemindahan Ruang: Dekil pergi ke pesta dansa di Kerajaan
H Perjuangan: Dekil memergoki saudari tirinya dan membuat pangeran memasukkan mereka ke penjara
I Kemenangan: Kremilde dan Klotilde dimasukkan ke dalam penjara
W Pernikahan: Dekil tidak menikah dengan Pangeran.

Selain itu, terdapat pula 7 karakter dalam pola yang disusun Proop:

1. Penjahat: Kremilde dan Klotilde
2. Penderma: Kapten Kotor
3. Penolong: Meggi, Monika, dan Jimmi Lima
4. Putri, ayah dan ibu : Dekil, ayah dan ibunya.
5. Pengirim : Kapten Kotor
6. Pahlawan : Pangeran
7. Pahlawan palsu : Kremilde dan Klotilde yang berlaku baik di depan pangeran

Mengkritisi Parodi

Komik “Monika & Teman-teman” merupakan sebuah komik dengan penceritaan model baru. Monika, tokoh utama dalam buku komik ini, merupakan seorang anak perempuan yang kuat. Pada salah satu sampul komik, digambarkan ia sedang mengangkat seekor gajah karena menindih boneka kelinci kesayangannya. Atau, di buku lain, ia sedang mengangkat sisi kiri sofa yang sedang ditiduri ayahnya supaya ia bisa menyedot debu di bawahnya.

Monika seorang gadis cilik yang kuat, pemarah, pemimpin perkumpulan. Boneka kelincinya merupakan senjata paling ampuh pada saat ia marah-marah. Ia disegani oleh Jimmi, Dekil maupun Meggi (kecuali masalah makanan, Meggi sangat gila makan).


Dalam cerita lain, diceritakan tentang Monika yang berebut untuk bisa bermain games dengan Dekil dan Jimmi. Meskipun awalnya permintaan itu ditolak kedua temannya, dengan banyak ngotot, akhirnya Monika berhasil ikut main games. Ia membantah perkataan Jimmi, “ Permainan ini kan bukan untuk cewek!”, katanya. “Oh, ya? Karena itu aku mau belajar”, desak Monika. “Aku mau main”, desaknya sambil marah-marah hingga diperbolehkan main.

Komik ini merupakan komik terjemahan. Sebuah komik terbitan M&C, kelompok Kompas Gramedia. Judul aslinya, Monika & Friends. Komik ini merupakan karya dari Maurisio De Sousa.

Khusus dalam cerita Dekil Cinderela, saya menangkap beberapa hal yang dikritisi dalam cerita Dekil Cinderela ini.

(1) Untuk menjadi putri tidak harus cantik (mitos cantik). Dalam pandangan psikoanalisis, merawat penampilan selalu diasosiasikan dengan narsisme. Freud menyatakan bahwa narsisme merupakan ‘sifat asli dari libido’ (Freud; 1957: 81), dimana seseorang merasakan kepuasan dengan melihat atau menyentuh tubuhnya sendiri.

Narsisme bermula dari kesadaran yang fatal dari para perempuan bahwa mereka tidak mempunyai penis. Ia merasa ada sesuatu yang kurang, tubuhnya tidak sempurna. Selanjutnya, ia mencoba menghilangkan perasaan itu dengan membanggakan tubuhnya sendiri. Ia menggantikan perasaan malu dan kebencian pada dirinya dengan penghargaan diri dan kesombongan yang semu.

Semua analisis Freud itu tidak akan kita dapatkan dalam diri Monika. Ia tidak pernah merasa berbeda dengan teman laki-lakinya. Ia merasa mempunyai hak yang sama, bahkan ia ditakuti oleh teman-temannya (Monika terkenal suka ngamuk memakai boneka kelincinya kalau sudah marah).

Kecantikan sebagai sebuah wacana budaya berfokus pada imaji tentang kecantikan perempuan sebagai sebuah media untuk mengeksplore hubungan antar gender/ kekuasaan berjalan. Tubuh perempuan merupakan teks yang dapat ‘dibaca sebagai sebuah pernyataan budaya, pernyataan gender’ (Bordo1989: 16).

Masing-masing kebudayaan mempunyai wacana mereka sendiri tentang apa itu kecantikan. Hal ini akan menjawab pertanyaan mengapa seorang perempuan asyik memperhatikan penampilan mereka.

Pemikiran Barat memandang manusia sebagai sebuah dualisme antara jiwa dan tubuh. Dalam kerangka ini, tubuh perempuan menjadi metafor dari sisi ke-tubuh-an itu. Tubuh perempuan digambarkan sebagai berbahaya, selera makan, dan emosional. Hal itu dipertentangkan dengan rasionalitas, kekuasaan sosial, dan pengendalian diri. The female body is always the :other”: mysterious, inferior, threatening to erupt at any moment and challenge the patriachal order (Bordo 1990: 103).

Fokus dari wacana yang kedua adalah pada keasyikan terhadap kontrol dan penguasaan dalam masyarakat industrial Barat. Mirip dengan pandangan sosiologis, Bordo berpendapat bahwa penemuan teknik untuk mempercantik penampilan merupakan sebuah collective cultural fantasy yang menyatakan bahwa kematian dan kebusukan dapat diatasi. Ia bependapat bahwa tubuh dapat dikontrol melalui sebuah kekuatan kehendak yang didukung oleh kekuatan hubungan antar jenis seks.

Kaum perempuan merasa bahwa dengan menguasai atau memiliki semua kecantikan itu akan melepaskannya dari lingkaran setan dari kekurangan yang dirasanya selama ini. Bahkan, mereka merasa dapat ikut dalam penguasaan kaum laku-laki dengan menyesuaikan diri dengan morma kecantikan yang ada –yang justru, sebenarnya, memperbudak mereka.

Pandangan ini juga dibantah habis-habisan dalam Komik Monika. Untuk mempunyai pengaruh yang sama dengan laki-laki, Monika tidak harus cantik. Ia terkesan tomboy, pemarah, dan lebih kuat dari teman laki-lakinya.

Wacana ketiga muncul dari kaum feminis. Wacana feminitas dalam sebuah kebudayaan ditampakkan dalam tubuh perempuan. Dalam pandangan feminis, wacana kecantikan digunakan untuk menghilangkan perbedaan yang ada dalam masing-masing perempuan. Kecantikan ditampilkan sebagai normalisasi feminitas dalam semua bentuknya (feminim=cantik).

(2) Ibu tiri tidak selalu jahat. Apabila kita mencermati cerita-cerita sinetron di TV akhir-akhir ini, kita menemukan banyak sekali figur ibu tiri yang menyiksa anak tirinya. Semua mempunyai pola yang kurang lebih sama dengan cerita Cinderela.

Demikian banyaknya cerita dengan versi serupa membuat penonton, anak-anak seolah disuguhi sebuah kebenaran tunggal bahwa ibu tiri itu jahat. Seolah-olah tidak ada seorang ibu tiri pun yang baik di dunia ini.

Dalam cerita Dekil Cinderela, tidak diceritakan tentang seorang tokoh ibu tiri yang jahat. Terdapat kisah yang menarik dalam cerita ini. Penindasan terhadap Dekil Cinderela bermula ketika orang tua Dekil tersesat di pasar. Mengapa di pasar?

(3) Mitos kebahagiaan perempuan. Kebahagiaan perempuan selalu diceritakan berada di tangan laki-laki. Perempuan yang selalu berbuat baik tinggal menunggu datangnya sang pangeran yang akan menjemputnya. Seolah-olah, kebahagiaan tidak akan didapatkan tanpa laki-laki.

Dalam kehidupan sehari-hari, wanita yang belum menikah di usia dewasa dianggap sebagai aib bagi keluarga, apalagi tidak menikah sampai tua. Banyak stereotip negatif atas perempuan yang ‘belum laku’ atau ‘tidak laku’ tersebut. Selain perempuan yang telat menikah, seorang janda juga mendapat perlakuan yang kurang positif. Ia dicap sebagai penggoda, ancaman bagi para istri, dll.

(4) Mitos Bidadari. Bidadari, seorang penolong, seorang yang baik hati tidak selalu identik dengan penampilan yang rapi, cantik dan bersih. Kapten Kotor adalah seorang laki-laki, kotor dan tidak rapi. Akan tetapi, ia berhati baik dan mempunyai kekuatan ajaib layaknya peri dan bidadari.

Figur bidadari sendiri merupakan sebuah mitos yang menunjukkan betapa lemahnya perempuan. Ia membutuhkan seorang penolong yang luar biasa sekaligus hampir tidak mungkin ditemuinya.

Sekian banyak mitos berserakan di sekekeliling kita. Seringkali, kita tidak menyadarinya. Media, kebudayaan maupun masyarakat seringkali membuat mitos-mitos untuk memperkuat dominasi kelompok yang dominan. Semua kebenaran yang ada bagi Roland Barthes hanyalah sebuah mitos. Anda?


Daftar Pustaka

Althusser, Louis. 1971. Lenin and His Philosophy. Oxford: New Left Books

Barthes, Roland. 1973. Mythologies. St. Albans: Granada

Bordo, Susan. 1989. A Feminist Appropriation of Foucault. in Alison Jaggar and Susan

Bordo (ed.). Gender/body/knoeledge. New Brunswick: Rutgers University Press

Bordo. 1990. Feminism, Postmodernism and Gender Skeptism. New York: Routledge

Freud. Sigmund. 1957. General Selection from the Works of Sigmund Freud. “On Narcisism: An Introduction”. New York: Doubley

Inglis, Fred. 1990. Media Theory: An Introduction. Oxford: Basil Blakwell ltd.

Lacey, Nick. 1998. Image and Representation. New York: ST. Martin's Press, Inc.

Maurisio De Sousa. 2002. Monika dan Teman-teman No. 44. Jakarta: Gramedia

Maurisio De Sousa. 2002. Monika dan Teman-teman No. 69. Jakarta: Gramedia

Propp, Vladimir. 1968. Morphology of the folktakle. Austin: University of Texas Press

Tempo 2-8 Mei 2005

Williams, Raymond. 1977. Marxism and Literature. New York: Oxford University

film ‘Cinderela Story’

Tidak ada komentar: