Jumat, 23 November 2007

Radikalisme Komunis Antikolonial di Silungkang

Oleh Basilius Triharyanto
Sepanjang rezim Soeharto, gerakan komunis, tepatnya Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah kelompok yang harus ditumpas dan dimusnahkan. Orde Baru mengartikan kelompok komunis sebagai kelompok yang penuh catatan hitam pada peta politik bangsa Indonesia. Kejam, sadis, pembantai para jenderal, anti agama. Pendek kata, peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965) menjadi cermin tunggal untuk meneropong kelompok komunis di Indonesia. Generalisasi atas peristiwa G30S yang dikontruksi oleh penguasa Orde Baru sampai detik ini masih melekat kuat dalam memori masyarakat di negeri ini. Inilah sumber utama yang mengacaukan pemahaman mengenai sepak terjang gerakan komunis di Indonesia.

Satu karya dari Mestika Zed yang bertajuk Pemberontakan Komunis Silungkang 1927: Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat menampilkan sudut dan sisi lain dari gerakan komunis di Indonesia, jauh sebelum indung telur Orde Baru dibentuk dan dilahirkan di negeri ini. Kehadiran buku ini memberikan kontribusi signifikan dalam mempelajari gejolak protes dan gerakan perlawanan terhadap rezim penguasa. Seperti yang ditulis Mestika dalam kata pengantar, bahwa isi dari buku ini tetap relevan menyelami dinamika yang berubah. Siapa pun bisa memetik manfaat dari sebagian unsur masa lalu yang bertahan dan hadir di masa sekarang.

Kajian pemberontakan Silungkang 1927 telah banyak dilakukan, terutama oleh peneliti luar negeri. Bagaimana kajian peristiwa Silungkang 1927 yang dilakukan para peneliti luar negeri itu? Mestika memberikan catatan kritis atas hasil kajian yang mereka lakukan. Di antaranya, Schrieke. Schrieke adalah guru besar di Sekolah Tinggi Hukum Batavia. Ia membongkar akar-akar pemberontakan komunis di Silungkang, lebih luas Sumatera Barat. Data yang dikumpulkannya cukup lengkap, tetapi ia terperangkap dalam prasangka kolonial dimana pembrontakan kaum komunis disebabkan oleh pembusukan di dalam internal masyarakat, bukan dampak dari kebijakan kolonial yang menindas. Hasil penelitian ini termatup pada satu bagian dari Indonesian Sociological Studies (1960). Karya ini dianggap mencoreng gelar kehormatan sebagai guru besar di sekolah tinggi terkemuka pada 1920-an karena diabdikan kepada rezim penguasa.

Lalu Petrus Blumberger dalam DeCommunistische Beweging in Nederlansch-Indie pada 1953. menurut Mestika karya ini mewakili sejarah kolonial. Ia terlalu menekankan kelemahan dan kejelekan dari gerakan komunis. Arnold C. Brackman juga menelorkan karya penting, Indonesia Communism: A History,1963. Buku setebal 350 halaman yang mendeskripsikan pergerakan komunis di Indonesia telah mengabaikan peristiwa Silungkang. Ruth T. McVey sendiri menghasilkan karya bertajuk The Rise of Indonesian Communism, diterbitkan Cornell University Press pada 1965. Buku ini dianggap kaya data disertai analisis tajam dan mendalam.

Silungkang Berontak!


“… datanglah ke Silungkang! Muhammad Yusuf di rumah tinggi telah memotong kerbau…” Pesan disampaikan dari mulut ke mulut. Orang-orang Silungkang dan sekitarnya ramai berdatangan. Tentu sesuai undangan mereka berpestaria, menyantap daging kerbau dan makanan yang enak-enak. Pesta kerbau terkesan sangat istimewa. Di tengah-tengah pesta hadir tokoh-tokoh pergerakan Sarekat Rakyat setempat. Tak seorang pun perempuan terlihat hadir. Semua laki-laki yang di kanan-kirinya tampak kapak, klewang, linggis. Ada juga pistol, granat tangan dan kareben. Urusan logistik pun laki-laki. Begitulah acara kenduri di rumah tinggi milik Muhammad Yusuf gelar Sampono Kayo pada petang menjelang detik-detik tahun baru 1927. Yusuf adalah orang kaya di Silungkang. Rumahnya tak jauh dari pasar Silungkang, bisa dikata strategis. Kenduri petang itu adalah awal pemberontakan Silungkang yang bermarkas di rumah tinggi.

Pada jam 20.00, orang-orang gelisah. pucuk pimpinan tak segera memberikan perintah. Limin yang diutus menemui Arif Fadillah di Padang Panjang tak kunjung datang bawa berita. “… kita bicarakan lagi masalah pemberontakan, tapi cukup untuk terakhir kali. Tidak ada pilihan lain kecuali meneruskan rencana ini. Barang siapa yang hendak mencoba menunda. Atau menghentikan rencana ini, maka harus dibunuh saat ini, sekalipun orang itu mamak dan ayah kita sendiri. ….orang-orang dari suksesi komite pun, yang menentang rencana ini berarti mau mati” (hal.125). Luapan emosional itu dilontarkan Kamaruddin alias Mangulung, ketua DO (dood organisatie) sebagai protes sikap ragu Arif Fadillah, pemimpin di wilayah Padang Panjang. Protes keras dan emosional itu mendesak para pimpinan. Akhirnya diputuskan jam 00.00 tepat, aksi pemberontakan dimulai.

Namun jam 23.00 aksi telah dimulai. Muhammad Djamil gelar Rang Kajo Na Gadang pasukan berhasil membunuh sasaran. Aksi berjalan mulus. Aksi dipimpin Salim Emek, masih kemenakan sang korban. Aksi berikutnya membunuh Mahmud, Djumin, dan Rahman. Ketiga guru itu tewas di rumahnya. Berikutnya tukang emas Karis Sutan dan Menek, juga terbunuh secara brutal oleh gerombolan itu. Suman anak mereka ikut terbunuh. Aksi pertama selesai, selanjutnya kembali ke markas.

Sekitar 01.00 aksi berikutnya tertuju pada kepala Stasiun Kereta Api Silungkang. Kali ini sasaran lolos karena lari sebelum rombongan pemberontak sampai di rumahnya. Malam dini hari itu keributan muncul di kediaman Hamid gelar Sutan Pamuncak. Rupanya aksi dialihkan ke rumah penjual karcis, bersebelahan dengan kepala stasiun. Hamid dan anaknya tewas mengenaskan karena tebasan golok dan tembakan peluru setelah usaha kabur dilihat para pemberontak. Berahim dan anak buahnya memutus sambungan telepon. Jalur komunikasi kota Sawah Lunto dan Padang Panjang putus.

Di rumah tuan beoenjit Leurs, kepala BOW (Departemen Pekerjaan Umum), ketukan dan gedoran pintu disambut teriakan histeris-ketakutan minta belas kasih. Mereka masuk secara paksa karena pintu tak segera dibuka. Di kamar tengah, rentetan peluru menghujani tubuh tuan boenjit Leurs. Kali ini anak-anak dan isteri tidak dibunuh atas permintaan Leurs.

Aksi-aksi pemberontak mulai kacau ketika di Muara Kelaban terjadi ledakan bom dan aksi tembak-menembak antara pemberontak dengan aparat polisi. Pertempuran itu di luar rencana. Semula serangan di Muara Kelaban akan dilakukan serentak dengan kota-kota lain, di pos-pos tangki dan tambang-tambang. Kondisi ini kemudian memunculkan keraguan dan kegelisahan karena siasat dan aksi pemberontak telah diketahui oleh pemerintah. Mulailah aksi-aksi pemberontak dihadang dan mendapat perlawanan dari aparat kepolisian. Konvoi, patroli dan siaga di pos-pos penjagaan diperketat. Kali ini aksi pemberontakan menemui rintangan.

Di pagi hari, pemerintah sangat kaget dan tidak menyangka pemberontakan telah terjadi malam itu. Walaupun sebelumnya pemerintah telah mengetahui gejala-gejala gerakan pemberontakan dari orang-orang yang ditangkap. Radikalisme pemberontak malam itu sangat cepat dan brutal di berbagai daerah. Namun aksi mulai bisa diredam, polisi telah menguasai dan mengendalikan kondisi yang kacau, bahkan polisi menangkap para pemberontak. Dampaknya, aksi pemberontakan yang dipandang akan meledak-ledak seperti yang dicita-citakan dalam revolusi tak terlihat. Aksi pemberontakan dan perlawanan yang seru hanya terjadi di beberapa titik, yaitu Silungkang, Muara Kelaban, Padang Sibusuk, dan Tanjung Ampalu. Cita-cita revolusi menggulingkan rezim kolonial untuk meraih kemerdekaan berujung pada kekalahan, kegagalan.

1927, kenapa gagal?

Perpecahan di tubuh PKI mengenai resolusi Prambanan, revolusi di berbagai daerah di Jawa dan Sumatera, bisa dikata penyulut prahara kekalahan dan kegagalan revolusi. Karena resolusi Prambanan: menjalankan revolusi umum, pada rapat rahasia Comite Central (CC) PKI 25 Desember 1925 di Prambanan Yogyakarta tidak mendapat dukungan penuh dari pucuk pimpinan teras. Tan Malaka, tokoh kharismatis PKI menolak keras resolusi Prambanan. Bagi Tan Malaka pemberontakan untuk menjalankan revolusi sangat prematur dan belum matang (de tijd nog niet rijp). Selain itu revolusi yang sesungguhnya (true revolution) tidak menggantungkan bantuan dana luar negeri. Sebaliknya kawan-kawan di CC PKI mengharapkan bantuan dana dari Rusia. Baginya kondisi itu dianggap sebagai kelemahan paling fundamental dalam revolusi. Revolusi murni itu dimatangkan oleh situasi dalam negeri dan kematangan organisasi gerakan itu sendiri. Jika kedua butir itu dipatuhi, “maka sejarah toh sudah mengajarkan kita,” kata Tan Malaka. Pandangannya itu mungkin bisa disimak pada Naar de Republiek Indonesia, yang ia tulis tahun 1925 (hal. 108-109).

Tetapi tesis Tan Malaka tidak digubris oleh pimpinan di Jawa, Alimin, Muso dan kawan-kawannya; Budisutjitro, Subakat, Winata. Di Sumatera Barat polarisasi perpecahan internal PKI juga cukup kencang. PKI Sumatera Barat terbelah dua kubu, Baharuddin Saleh, tokoh “Komite Revolusi” yang segaris dengan teras pimpinan di Jawa, dan Arif Fadillah, tangan kanan Tan Malaka, memimpin PKI di Padang Panjang. Perselesihan tak kunjung padam itu menyebabkan jalan pemberontakan tersendat-sendat. Kabar yang tak segera datang dari Arif Fadillah ke rumah tinggi milik Muhammad Yusuf pada detik-detik jelang tahun baru, mungkin sebagian bentuk ketegangan yang berbuntut lemahnya konsolidasi antar kekuatan. Tan Malaka benar, pemberontakan 1926 dan 1927 mengukir sejarah kegagalan sebuah revolusi.

Kondisi politik internal PKI satu kondisi pemberontakan berakhir kekalahan, ada kondisi lain kenapa pemberontakan yang menggelagar itu tertelikung dan ditekuk oleh rezim kolonial Hindia Belanda yakni perihal politik pengamanan pemerintah Hindia Belanda yang ternyata cukup dasyat.

Pemerintah Hindia Belanda membentuk tim penyelidik untuk kasus pemberontakan komunis 1926-1927 di Jawa dan Sumatera. Tim penyelidik bertugas mengendus, menelusuri akar dan penyebab munculnya pemberontakan. Dua tim penyelidik dibentuk. Tak tanggung-tanggung para ahli dimasukkan dalam tim itu. E. Gobee yang menjabat penasehat pemerintah urusan boemipoetra, J.W Meyer adalah asisten Residen Pati, dan Raden Tumenggung Soemitro Kolopaking Poerbonegoro-bupati Banjarnegara, adalah panitia penyelidikan pada karesidenan Banten atau wilayah Jawa. Tim ini bekerja dari Januari 1927 sampai November 1928. Sedangkan penyelidikan di Sumatera Barat dimulai 13 Februari 1927 dan selesai 24 November 1927. Tim Penyelidik di Sumatera Barat adalah A.J. Hammerster merupakan pegawai tinggi Departemen Dalam Negeri, Dr. B.J.O Schrieke adalah guru besar Fakultas Hukum di Batavia, W. Groeneveldt residen yang diperbantukan, M.H. Fievez de Malines van Ginkel dan C.L. van der Plas-keduanya kontrolir dalam negeri, serta Datoek Madjolelo Kepala Distrik Maninjau (Abdurrachman Surjomihardjo, Penempatan Kamp Konsentrasi Digul dalam Penulisan Sejarah Indonesia, Prisma 7, 1988, hal. 16).

Kemudian pemerintah menghidupkan kekuatan aparat polisi untuk meredam pemberontakan. Kekuatan polisi umum meningkat pesat dari 26.796 pada 1925 menjadi 32.990 pada 1928. kekuatan detektif juga ditingkatkan dari 720 menjadi 1.668, juga dalam periode sama (Takashi Shiraishi, Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial, LkiS, 2001, hal.79). Jadi ketika pemberontakan terjadi di seluruh daerah di Jawa dan Sumatera Barat, aparat polisi telah menyebar dan ada ditengah-tengah pemberontakan itu. Maka pemberontakan Silungkang pun bernasib sama seperti di Jawa, tertelikung dan bertekuk dalam cengkraman polisi pemerintah Hindia Belanda. Mestika mencatat di Silungkang sendiri sebanyak 1300 pemberontak ditangkap pada 12 Januari 1927. Di penghujung Februari jumlah mereka menjadi 4000 (hal. 142). Dan kondisi tahanan politik itu sangat mengenaskan. Penjara di Sawah Lunto berkapasitas 150 dihuni ratusan orang. Lalu sebagian dikirim ke Durian, tapi penjara tetap menyensarakan. 1 sel sewajarnya diisi 1-2 orang diisi 15 sampai 20 orang dan sel yang normalnya untuk 20 orang dihuni 100 lebih.

Geliat pemberontakan semakin kecil karena para dedengkot komunis Silungkang dijatuhi hukuman berat. 5 orang dijatuhi hukuman mati, yaitu Muhammad Zen merupakan tokoh dari Padang Sibusuk, namun putusan berubah menjadi seumur hidup. Lalu Komaruddin alias Mangulung, ketua DO Sarekat Rakyat Silungkang. Pemilik rumah tinggi, Muhammad Jusuf Sampono Kayo, dan propagandis Sarekat Rakyat, saudara Pakih A’in atau Pakih Berahim tak luput dari hukuman mati. Usai riwayat mereka, seolah tamatlah riwayat komunis di Silungkang. Lebih-lebih tokoh-tokoh Silungkang lainnya telah dibuang ke Boven Digoel. Seperti, Datuk Begindo Ratu bersama Salma isterinya, Talaha Sutan di Langit, Saleh Mangkuto, Talaha Sutan Jambi, Jamal Basri, dan Upik Itam (145).

Radikalisme komunis dan media gerakan antikolonial

Pemberontakan komunis pada 1926 hingga 1927 kurang mendapat perhatian istimewa dan diperbincangkan ramai-ramai serta dianggap kurang heroik dalam pergerakan Indonesia, daripada peristiwa gerakan 30 september 1965 (G30S 1965). Padahal agitasi komunis juga pernah terjadi di Madiun 1948, bahkan sejak pergerakan pembebasan bangsa dari rezim kolonial PKI telah bercokol dan lantang memperjuangkan kemerdekaan, buntutnya pada pemberontakan di Jawa dan Sumatera pada 1926-1927.

Serangkaian pemberontakan komunis punya perbedaan dari berbagai konteks politik, sosial, ekonomi. Menurut Abdurrachman Surjomihardjo, pemberontakan komunis 1926 harus dibedakan dengan pemberontakan berikutnya, baik yang meletus tahun 1948 maupun 1965. Pada 1926 dan 1927, aksi pemberontakan didasari kondisi sosial-ekonomi, sekaligus merupakan bagian dari perkembangan awal politik radikal di Indonesia. Selain itu tidak banyak diantara anggota PKI yang mengerti konsep ideologi komunis dan marxisme secara mendalam. Orang-orang seperti Alimin, Semaun dan Tan Malaka masih langka (Prisma 7, 1988, hal. 17).

Pada 1926-1927 sebagian besar kekuatan menyatu dalam gerakan kelompok antikolonial Belanda, yaitu Islam, Komunis, dan Nasionalis serta peran kepemimpinan yang dimainkan oleh pengusaha lokal. Kekuatan ideologi itu melebur dalam komponen sosial; komunitas perdagangan baik pedagang kecil maupun sekala besar atau saudagar, pemimpin agama, guru dan pelajar di sekolah swasta, petani, aktivis politik, dan juga penguasa tradisional di desa. Menurut Audrey R. Kahin dalam The 1927 Communist Uprising in Sumatra: A Reappraisal, interaksi breagam komponen mengutakan teriakan suara antikolonial, tak terkecuali jaringan sekolah religius dan sekolah swasta (private schools) menanamkan gagasan politik antikoloial (Indonesia No. 62, 1996, hal. 21).

Lalu bagaimana gerakan komunis tumbuh subur? Gerakan komunis tumbuh bukan seperti dari biji yang ditaburkan, tapi melalui organisasi Sarekat Islam (SI). Di Sumatera Barat SI mulai masuk tahun 1915. Kelas pedagang adalah kelompok yang pertamakali dimasuki. Bahkan tokoh-tokoh pemimpin dan anggota-anggotanya berasal dari pedagang. Sulaiman Laba adalah ketua SI yang juga pemilik perusahaan tenun “Sulaiman Labai & Zoon”, tokoh lainnya Bagindo Ratu dan Talaha Sutan di Langit. Lewat SI inilah organisasi komunis nantinya mengembangkan sayap ke berbagai penjuru Sumatera Barat. Keberhasilan komunis menelusup ke tubuh SI adalah meleburnya SI menjadi 2, SI Merah yang berhaluan dengan kelompok komunis dan melahirkan Sarekat Rakyat sebagai onderdeel PKI. Satu lagi SI putih atau ada yang menyebut SI hijau. Kelompok ini yag tetap kokoh bertahan dan berkiblat kepada Tjokroaminoto.

Sarekat Rakyat cepat masuk di hati rakyat. mereka tak peduli Sarekat Rakyat itu komunis atau bukan. Rakyat memandang Sarekat Rakyat tampak radikal melawan rezim kolonial, pemimpinnya beragama dan taat pada syariat Islam. Rakyat Sumatera Barat tak ragu lagi bergabung ke Sarekat Rakyat atau SI merah. Daerah Silungkang, misalnya, menurut Muhammad Jusuf Sampono Kayo berjumlah 1140 pada pertengahan 1926. Sebelumnya Sarekat Rakyat di Sumatera Barat pada pertengahan 1924 anggotanya 158 orang, bulan Desember bertambah 660 orang, sampai Februari 1925 terhitung 840 orang.

Media cetak baik koran, buku, pamflet, selebaran dan diktat punya peran besar dalam memekarkan gerakan komunis dan gerakan antikolonial lainnya. Media cetak, terutama koran menjadi sarana menyusun taktik dan strategi perlawanan. Selain itu bagi aktivis politik, koran bermanfaat untuk mematangkan pemikiran, pergumulan intelektual, juga mencerdaskan para anggotanya. Maka suratkabar diyakini sebagai manifestasi sangat besar bagi gerakan menentang pemerintah Hindia Belanda.

Selama periode 1923-1925 di Sumatera Barat terbit sekitar 10 Suratkabar yang diterbitkan oleh organisasi komunis: Pemandangan Islam, Djago-Djago, Doenia Achirat, Petir, Sasaran Ra’jat, Signal, Soeara Tambang, Panas, Persamaan, Torpedo (hal.69). surakabar yang dianggap paling efektif menyiarkan perlawanan dan propaganda adalah surakabar bulanan Panas dan Soeara Tambang, keduanya bermarkas di Sawah Lunto, khusus redaksi Panas pengolahan redaksi terkadang dikerjakan di Silungkang dan dicetak di Padang. Kedua koran itu adalah koran paling populer di masa itu dengan oplag 10.000 eksemplar. Pelanggannya tersebar ke seluruh kota Solok, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Batusangkar dan pelosok kampung-kampung di Sumatera Barat (hal.119).

Suratkabar-suratkabar itu banyak menampilkan pemikiran tokoh-tokoh pemimpin, aktivis politik tentang komunisme, teori Marxis, beragam kritik terhadap pemerintah Hindia Belanda. Tentu juga dijadikan alat propaganda oleh organisasi gerakan komunis. Tak jarang isi surakabar kental slogan-slogan dan istilah perjuangan, seperti “kemerdekaan”, “kapitalis”, “melayu kopi daun.” “Melayu kopi daun” adalah simbol kerakusan pemerintah Hindia Belanda pada tanam paksa di perkebunan kopi selama abad ke-19. Dalam Panas 5 Agustus 1925, pernah seorang pemimpin gerakan melontarkan “kemerdekaan” dengan , ”... kemerdekaan jang kita maksoed ialah kemerdekaan dari genggaman kaoem kemodalan...; mendapat kemerdekaan jang seperti itoe. Soedah tentoe bermaksoed soepanja kaoem kapitalis djangan menindas lagi...” mendapatkan kemerdekaan tak lain djalan selainnya mempergoenakan ichtisar sendiri walaoe tjara apa poen joea...” (hal. 81-80).

Ungkapan bercorak lokal juga senjata ampuh propagandis komunis untuk ditampilkan di suratkabar. Seperti, ”Kapi-se-tali” berasal dari kata “kapi” (kafir) dan “setali” (setalen), yakni uang 25 sen, digunakan simbol eksploitasi pemerintah”kafir” kolonial yang memungut pajak belasting dari rakyat. “Dajjal” adalah tokoh eskatologis yang senang berbuat binasa dan kejam dalam sebuah kisah kepercayaan Islam. Istilah ini menampilkan sosok “kapitalisme” kolonial. “Dajjal” harus dilawan dengan menyusun kekuatan. Maka kaum komunis dianggap sang juru selamat (mesias), diidentikan dengan Imam Mahdi, datang sebagai juru selamat karena menertibkan kondisi yang dirusak oleh “Dajjal”.

Percikan dari silungkang

Sudah 20-an tahun lebih skripsi Mestika ini mengonggok di rak buku atau rak referensi perpustakaan kampus, sekarang hadir dalam bentuk buku. Dua puluh tahun mungkin waktu yang lama-sejak 1980 ditulis, justru sekarang hadir mengingatkan kita akan gerakan komunis di zaman kolonial. Bukankah saat ini kita sulit menemukan kosakata komunis antikolonial?

Dalam perjalanan Palembang-Jogja, di atas jalan Muntilan-Magelang saya membaca spanduk putih besar-besar dengan tulisan merah,”Awas Bahaya Laten Komunis!”, dikeluarkan oleh Komunitas Anti Komunis. Setelah sampai di Jogja, di jalan perempatan Janti saya kembali membaca spanduk besar, bunyinya,”Waspada, Komunis Bangkit Lagi!”. Akankah spanduk itu terus dikibarkan selama negeri ini berdiri di atas bumi?

Dari Silungkang kita bisa berkaca bahwa PKI juga pernah melawan rezim kolonial yang menindas, PKI dengan berbagai elemen baik dari kelompok Islam maupun Nasionalis pernah bersahabat dan berjalan bersama mengobarkan semangat antikolonial. Kejujuran memahami dinamika PKI mungkin bisa meringankan dan menyelamatkan beban sejarah anak, cucu, cicit generasi negeri. Jalan rekonsiliasi masih terbentang panjang, rasa sakit masih menyimpan dendam, amarah. Karena itu, beban sangat berat adalah kebesaran hati mendamaikan sejarah kelam itu sendiri.


Tidak ada komentar: