Jumat, 23 November 2007

Sang Penujum

Oleh Ag Wahyu



Cerita tentangnya bermula dari sebuah kebetulan yang mengagetkan. Tanggal 31 Desember, hampir satu tahun yang silam, aku menonton televisi secara tidak sengaja. Kukatakan tidak sengaja karena sejak beberapa tahun lalu aku memutuskan untuk tidak melihat tayangan televisi kecuali dalam keadaan yang tak mampu kutolak. Misalnya, aku sedang mengunjungi kawan baruku dan ketika obrolan nampaknya akan habis, kawanku menyalakan televisi sebagai selingan obrolan. Uh, aku sebenarnya ingin memintanya untuk mematikan saja televisi itu. Tapi, sering kurasai ada kekuatan yang menahan lidahku untuk mengatakan permintaanku itu. Akhirnya, terpaksa aku menonton televisi.

Kami, aku dan kawan-kawan fotografer, sedang berkumpul di sebuah kamar hotel di dekat pantai selatan Yogyakarta untuk merayakan pergantian tahun. Rencana merayakan ini pun datang tiba-tiba saja ketika seorang temanku mengirimkan pesan sms kepadaku. Isinya aku masih ingat: cepat bersiap-siap, kita sudah dalam perjalanan ke apartemenmu. Ke pantai selatan, kita merayakan tahun baru. Siapa tahu jodoh kita ada di sana? Hahaha... .

Pukul 9 malam, kami sudah tiba di hotel; itupun dengan susah payah karena jalan menuju pantai macet sekali. Semua orang nampaknya ingin pergi ke pantai dan tidak mau kehilangan pergantian detik yang merubah angka tahun, tentunya dengan melihat laut. (tapi aku heran juga, bagaimana mau melihat laut saat malam? Paling hanya suara ombak yang terdengar, itu pun jika tidak kalah oleh bunyi-bunyian terompet.) Ah, sudahlah, kulanjutkan saja ceritaku.

Hotel yang kami tempati berada di pucuk gunung dengan tebing curam di bawahnya. Dari sana, pemandangan nampak sangat indah. Kami bisa melihat kerlip lampu-lampu jalan, kapal-kapal yang berada di tengah laut, lampu-lampu motor yang merayap di jalan, dan gubug-gubug penjual minuman, juga terompet. Nampaknya, salah seorang kawanku memang sudah merancang acara ini beberapa hari silam karena ia sudah memesan kamar hotel ini. Aku memang mendengar kalau ia sedang ketiban rejeki karena proyeknya lancar; sebuah perusahaan pakaian dalam mengontraknya untuk pemotretan model. Atas hal itu, ia mengajak sesama kawan fotografer untuk bersenang-senang, sekaligus merayakan pergantian tahun.

Karena masih pukul 9, aku dan beberapa kawan merebahkan badan dulu di kamar. Ada yang langsung mandi. Ada juga yang memesan minuman. Setengah jam kemudian, minuman yang dipesan datang, lengkap dengan kacang-kacangan. Kami beranjak dari tempat tidur dan duduk di sofa yang memang didesain untuk suasana mengobrol. Pada saat itulah, salah seorang kawanku menyalakan televisi.

Ia memindah saluran-salurannya. Dan, aku merasa terganggu dengan suara dan gambar-gambar yang keluar dari televisi tersebut. Konsentrasi obrolan jadi buyar. Ketika aku hendak memintanya untuk mematikan saja televisi itulah, tiba-tiba seorang yang dulu sangat kukenal nampak jelas di layarnya.

“Tahan, tahan.” Kataku.

“Hu... katanya nggak doyan televisi.”

“Iya, ini perkecualian. Orang itu, ah, aku tentu tak salah lihat dia, Ratih Fajar Bumi, kawanku dari SD hingga SMU, tetanggaku juga waktu aku masih tinggal di Malang. Wah, ngapain dia muncul di Teve?” kataku sambil memelototi wajahnya.

Nampaknya, kawan-kawanku juga ikut menikmati kebingunganku. Mereka ikut diam dan memperhatikan acara televisi itu. Mungkin, mereka ingin menghormatiku sebagai satu-satunya kawan mereka yang tak pernah menonton televisi. Sementara itu, di layar televisi nampak Ratih sedang berbicara tentang kemungkinan menjamurnya wabah penyakit baru yang akan menyerang bagian barat pulau Jawa, juga tentang banjir yang akan melanda beberapa daerah di bagian barat Indonesia, yang tidak ia sebutkan pulaunya, dan sebuah pesawat yang akan mengalami kecelakaan. Ketika mengatakan ramalan terakhir itu, matanya terpejam beberapa waktu.

Sesaat kemudian, seseorang yang kelihatannya berperan sebagai pewawancara memotong ucapan Ratih sambil sedikit tersenyum, nampaknya sebagai permintaan agar Ratih makhlum karena acara harus dipotong dulu oleh beberapa iklan, tulang punggung acara tersebut.

Katanya, “Pemirsa, menarik sekali apa yang diungkapkan oleh Ibu, Nona, Jeng, ah, saya harus menyebut anda apa ya.... ?”

“Mbak saja.” Jawabnya sambil tersenyum, manis dan persis senyumnya ketika SMU.

“Ya... sangat menarik apa yang diungkapkan oleh Mbak Ratih tadi. Tentunya, anda masih bertanya-tanya, ada apa lagi di Indonesia tahun depan? Kita saksikan setelah beberapa pariwara berikut ini.”

Dan layar berganti dengan selingan: rayakan tahun baru anda dengan penuh cita rasa. Dapatkan segalanya di XXX, kondom yang mengerti anda.

***
Ratih Fajar Bumi, ia pernah dikira mati ketika kelahirannya karena tidak menangis dan diam saja. Seorang suster mencubitnya tapi ia tidak memberikan reaksi apa-apa. Pun ketika ia diletakkan pada gendongan ibunya dan diberi air susu. Ia diam saja. Namun nafas dan denyut nadinya normal ketika diperiksa. Karena khawatir terjadi apa-apa, bapaknya yang percaya terhadap kekuatan-kekuatan mistis mengundang seorang pintar dari lereng Gunung Batu, Malang tidak jauh dari rumah sakit tempat Ratih lahir.

Orang pintar itu, ia seorang perempuan yang sudah berumur delapan puluhan tahun dan selalu memakai ikat di kepalanya, bernama Watu Kinasih; nama yang sangat terkenal di kalangan orang-orang mistis di belahan Timur Jawa, datang beberapa jam setelah Ratih lahir. Beberapa suster yang berkerubung bingung menangani bocah cilik itu diminta untuk pergi dari ruangan tempat bayi dan ibunya tidur. Tapi, mereka masih ragu-ragu karena anak itu masih dalam wilayah penanganan rumah sakit. Baru setelah ayah Ratih sendiri yang meminta dan mengatakan bahwa ia sendiri yang akan bertanggung jawab terhadap apa saja yang akan terjadi pada anaknya, suster-suster itu beranjak dari ruangan tersebut.

Perempuan berikat itu mendekati Ratih mungil. Ah, dulu anak itu belum diberi nama. Nenek pintar itu juga yang nantinya memberi nama Fajar Bumi, dan ayahnya menambahkan Ratih di depannya. Ia merasa anaknya sangat cantik dengan diamnya, persis Dewi Ratih. Di depan Ratih, Nenek Watu berdiam dan memandangi dengan takjub anak itu. Tiba-tiba wajahnya –di antara kerutan yang sudah ada- nampak semakin berkerut dan bibirnya setengah tertekuk. Ayah Ratih mencoba bertanya sesuatu tetapi mulutnya seperti tersumbat hingga akhirnya ia diam saja dan bergantian mengamati ekspresi Nenek Watu dan anaknya.


Sesaat kemudian, Nenek Watu menumpangkan tangan di atas kepala bayi itu. Mulutnya mengatakan sesuatu yang tidak jelas bagi sang ayah. Tapi, sang ayah tetap diam karena ia tahu kata-kata itu tidak ditujukan baginya melainkan bagi anaknya yang baru lahir, anak pertamanya. Kemudian, Nenek Watu menggerakkan tangannya seperti mengusap bayi itu dari kepala hingga kaki, kembali lagi dari kepala hingga kaki sampai tiga kali. Dan, ia mengucapkan kata-kata yang lagi-lagi tak dapat ditangkap oleh sang ayah namun akhirnya sang ayah percaya bahwa Nenek Watu sedang berdoa.

Beberapa waktu kemudian, Nenek Watu tersenyum, dan matanya berbinar. Ia melihat bayi itu lagi, memastikan bahwa semuanya telah selesai dengan sempurna. Lalu, ia mengecup anak itu. Tapi, Ratih kecil masih diam dan belum menangis.
Nenek Watu nampaknya telah selesai dengan tugasnya karena ia segera berjalan menuju pintu. Dan benar, ia berpamitan pada sang ayah.

“Jenengana anakmu Fajar Bumi. Aku mulih dhisik, wis rampung sik tak enteni.”

“Nanging pripun Eyang, anak kula kok dereng nangis?” tanya sang ayah sembari khawatir.

“Kowe ora ngerti. Anakmu linuwih. Aku ndelok Semar neng praene. Nanging ndedonga wae amarga aku uga ndelok wayahe mung sedhela. Pasrahna kabeh marang sing kuasa urip lan pati. Wis, aku bali dhisik.”

Nenek Watu membuka pintu dan keluar dari ruangan. Ia seperti membiarkan sang ayah menikmati kebingungan ucapannya. Dan seketika pecahlah tangis bayi itu. Pecah pula kegembiraan ayah dan ibunya. Para suster yang menunggu di luar ruangan bergegas masuk dan heran dengan apa yang baru saja terjadi. Tetapi mereka memilih diam dan membiarkan rasa gembira pasangan suami istri itu ikut menyentuh perasaan mereka, menutupi rasa ingin tahu mereka.

***

Sejak peristiwa malam tahun baru di hotel itu, pikiranku tentang Ratih seperti tak habis-habisnya. Ia datang siang dan malam mengganggu waktu-waktu senggang dan kerjaku. Aku merasa tidak berurusan lagi dengan Ratih kecuali bahwa dia memang temanku dari SD hingga SMU, juga tetanggaku, tetapi aku juga tidak memiliki hubungan atau keterikatan batin yang lebih dari sekedar teman. Dulu aku memilih untuk tidak menyapanya karena nampaknya dia sudah sangat asyik dengan dirinya sendiri dan seperti enggan bercakap-cakap dengan siapapun. Paling-paling hanya mengucapkan hai atau halo, itupun jika kebetulan kami berpapasan.

Gelisah itu tak kunjung hilang juga, dan malahan bertambah hebat. Akhirnya, aku memutuskan untuk sesegera mungkin menemuinya. Aku merasa bahwa apa yang aku rasakan bukan lagi menjadi urusanku semata. Ratih telah memasuki hidupku, dan menggangguku pikiranku. Bagiku, dia juga musti ikut bertanggung jawab terhadap apa yang kurasakan.

Kuhubungi beberapa teman SMU yang nomer handphonenya masih kusimpan. Ah tidak, mereka hanya kukirimi sms supaya aku nampak tidak begitu membutuhkan informasi tentang perempuan itu atau agar aku kelihatan seperti orang iseng yang punya banyak waktu luang saja. Aku tidak ingin mereka salah duga, maksudku, aku tidak ingin supaya mereka mengira yang bukan-bukan atas permintaanku.

Akhirnya, balasan demi balasan datang.
Satu: wah, aku sudah lama sekali tidak ketemu Ratih, sejak lulus itu. Tapi aku dengar dia sekarang tinggal di Magelang. Nomernya aku tidak tahu.

Dua: sorry prend, gua malah udah gak inget wajahnya. Dia anak yang pendiam itu, kan? Coba lu cek ke departemen orang hilang. Hahaha... emang ada apa sich?

Tiga: wah, ini ni... fotografer andalan kita mau beraksi. Emang Ratih masih jomblo ya? Lu beneran mau deketin dia? Sukses aja deh, nomernya gue gak tau.

Empat: kok yang dicari Ratih sih? Aku juga masih single lo. Eh, sekalian ngasih tau, 2 minggu lagi aku nikah. Kamu bisa datang, kan? Harus bisa, soalnya pengantin laki-lakinya belum ada. Ha...ha...ha....

Lima: kamu pingin diramal sama Ratih ya? Aku lihat di teve kemarin. Hati-hati, boy, jangan-jangan garis hidupmu kebaca semua. Aku denger dia tinggal di Magelang. Tapi gak tau juga sih sekarang dimana.

Enam: nyet, lu salah kirim ya. Ratih Fajar Bumi? Kalau Ratih yang fotomodel seksi itu aku tau nomernya. Nih: 081x xxx xxxx. Dia bisa dipakai coy.

Tujuh, Delapan, Sembilan, dan seterusnya. Tak ada balasan yang memberi informasi pasti. Demi menghormati mereka, kukirimkan balasan yang sama ke semuanya: ok deh. Makasih infonya. Sukses buat kamu. Kapan kita reuni? Kabar-kabar ya.

Tidak mendapat jawaban dari teman-teman SMU, aku menghubungi teman-teman kampungku dulu. Beberapa mengatakan kalau Ratih tinggal di Magelang, tapi nomer teleponnya tidak tahu. Teman-teman yang lain hanya tau kalau dia pernah muncul di televisi, tapi tidak untuk informasi tentangnya.

Jadi, Ratih sekarang tinggal di Magelang, pikirku. Tidak sampai 50 kilo dari tempat tinggalku. Tapi Magelang itu luas juga. Ah, bukankah dia sudah cukup terkenal hingga muncul di televisi? Tentu orang-orang sana tahu dimana dia tinggal. Atau.... kenapa aku tidak menghubungi stasiun televisi yang kemarin menayangkan Ratih saja? Bodohnya diriku.

Jam 9 malam. Tidak terlalu malam untuk menghubungi stasiun televisi. Toh televisi bekerja hingga pagi, 24 jam perhari. Tentu jam 9 malam bukan jam yang larut. Pertama kupencet 108 Jakarta karena aku tidak tahu nomer telepon stasiun televisi itu. Dan, suara yang manis menyahut dari kejauhan, “Ini nomernya, Pak: 021 xxxx xxx.”

Kucatat nomer itu dengan harapan yang berlebih. Aku sudah memegang kunci. Sebentar lagi skak match, pikirku.

Kutekan nomer demi nomer di telepon selularku. Sebelum angka terakhir kutekan, sebuah pesan masuk. Fran Goro, besok pagi aku mau ke Jogja. Kamu ada waktu? Maaf kalau aku mengganggumu. Berilah kabar.

Pesan pendek itu cukup menggangguku karena nomernya tidak tercatat di memori handphoneku. Kuurungkan sebentar niat untuk menghubungi stasiun televisi itu. Kubalas singkat: maaf kalau saya lupa. Tapi nomer anda belum tersimpan di handphone saya. Besok pagi sampai siang sepertinya saya luang. Boleh saya tau nama Anda?

Kutekan lagi nomer stasiun televisi itu. Dan terhubung.

“Selamat malam, ini stasiun televisi X?”

“Ya benar.”

“Saya mau bertanya, beberapa hari yang lalu saya melihat acara Ramalan Indonesia bersama Ratih Fajar Bumi. Boleh saya minta nomer telepon atau alamat rumah Mbak Ratih? Saya ingin menanyakan beberapa hal.”

“Oh, sebentar. Saya sambungkan dulu dengan redaksi, Pak.”
........(terdengar nada sambung)

“Iya, redaksi televisi X, ada yang bisa saya bantu?”

“Seperti saya ceritakan kepada penerima telepon tadi, Pak, saya, Fran Goro, ingin menanyakan beberapa hal kepada Mbak Ratih Fajar Bumi. Karena itulah saya ingin minta nomer telepon atau alamat rumahnya.”

“Oh ya, Ratih Fajar Bumi ya... sebentar.” (jauh dari gagang telepon terdengar orang itu berteriak pada temannya, “Nomernya Ratih Fajar Bumi berapa sih?” Dan temannya menyahut dari kejauhan juga, “kosong delapan satu ...”). Nampaknya mereka sedang sibuk sehingga tidak ingin membuang waktu dengan menanyakan lebih jauh siapa aku dan untuk keperluan apa aku menginginkan nomernya.

“Ini Pak, kosong delapan satu ... xxx...xxxx...” ucapnya menirukan temannya.

“Baik, terima kasih banyak Pak. Selamat malam...”

Kuamati nomer itu. Skak matt juga, pikirku. Aku ingin segera menghubungi Ratih, saat itu juga. Entah nanti mau bicara apa, kuserahkan saja pada waktu.

Tapi lagi-lagi sebuah pesan masuk dari nomer yang tadi, dari orang yang ingin menggangguku esok hari. Isinya: Ratih Fajar Bumi. Kabarmu bagaimana Fran?

Aku tertegun membaca isi sms itu. Kuulangi lagi siapa tahu aku, karena terlalu banyak berpikir tentang Ratih, jadi salah membaca. Ternyata isinya tetap sama: Ratih Fajar Bumi. Kabarmu bagaimana Fran?

Kucocokkan nomer pengirim pesan itu dengan nomer yang diberikan oleh stasiun televisi tadi. Sama persis. Aku makin tertegun dan untuk sekian menit aku hanya bisa diam, kagum dengan apa yang baru saja terjadi dan bingung dengan apa yang harus kulakukan?

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh dering handphoneku. Sebuah nomer yang belum kusimpan dengan nama pemilikinya. Pengirim pesan itu menelponku.

***

Sejak kejadian di rumah sakit itu, ayah Ratih tak pernah menceritakan kepada siapapun tentang apa yang dikatakan Nenek Watu kepadanya. Ia hanya bercerita kepada istrinya, ibu Ratih, dengan pesan keras agar cerita tersebut disimpan sendiri saja. Orang-orang di kampung hanya tahu kalau Ratih harus dipanggilkan orang pintar agar dapat menangis. Pun kepada Ratih sendiri, suami istri itu berjanji untuk tidak bercerita sampai kelak Ratih sendiri menanyakannya, menanyakan bagaimana proses lahirnya, mengapa dan apa arti namanya, dan sebagainya. Jika Ratih belum bertanya tentang dirinya kepada mereka, cerita itu tak akan mereka ceritakan.

Ratih kecil adalah seorang pendiam, sangat. Kemauannya keras dan harus dituruti. Jika tidak dituruti, ia akan jauh lebih diam dan tak mau berkomunikasi sebagai ungkapan marahnya. Pun ia tak mudah tergoda oleh mainan-mainan baru yang dibelikan orang tuanya atau paman-bibinya. Karena sifatnya yang pendiam itu, sebuah senyum yang tersembul dari bibirnya menjadi harta yang sangat berharga dan menawan. Setiap orang yang melihat senyum anak kecil itu pasti akan merasakan kesejukan yang luar biasa.

Kelebihan Ratih seperti yang dikatakan oleh Nenek Watu baru kelihatan setelah Ratih bisa bicara. Waktu itu ia sedang diasuh oleh tetangganya yang diminta ibunya untuk mengasuh Ratih. Tidak biasa-biasanya Ratih kecil berganti-ganti mainan. Setelah semua mainan disentuhnya, ia berjalan mondar-mandir seperti orang bingung. Dan tiba-tiba ia menyebut nama seorang tetangga yang kerap datang ke tempat Ratih dan kerap pula menggendongnya. “Om Heri.. Om Heri...” katanya putus-putus. Ekspresinya biasa saja, sama seperti ketika ia minta diantar ke tempat teman-temannya.

Karena dianggap biasa, pengasuhnya membiarkan saja permintaan Ratih. Malah ia memberi sebuah boneka untuk mengantisipasi permintaan Ratih tersebut. Tetapi Ratih malah membuang boneka itu dan ia berteriak makin keras, “Om Heri... Om Heri... Ke tempat Om Heri...!”

“Om Heri sedang bekerja. Pulangnya masih nanti sore, sayang.” Pengasuh itu mencoba meredakan.

Akhirnya pecahlah tangis Ratih diiringi teriakan menyebut nama Om Heri. Tangis itu pula yang akhirnya membuat pengasuh itu menggendong Ratih dan berjalan menuju rumah Om Heri.

Mata Ratih masih berair ketika sampai di rumah Om Heri. Dan beberapa orang yang berkerumun di rumah tersebut ternyata sedang menangis histeris. Sebuah ambulans terparkir di halaman rumah Om Heri. Om Heri baru saja tertabrak mobil ketika menyeberang dari tempat kerjanya menuju sebuah rumah makan. Orang-orang melarikannya ke rumah sakit tapi nyawanya tak tertolong satu jam setelah ia tiba di rumah sakit.

Pengasuh Ratih terisak. Tapi rasa bingungnya terhadap Ratih kecil memenuhi perasaannya. Dan ia menyimpan sendiri rasa bingung itu. Di rumah Om Heri, Ratih kecil terdiam saja. Matanya menerawang.

***

Di sebuah rumah kopi kami bertemu. Tidak banyak yang berubah dari dirinya kecuali bahwa dia lebih bisa memulai pembicaraan dan menempatkan diri dengan sempurna. Wajahnya, senyumnya, tatapan matanya dan gaya bicaranya nyaris sama seperti dulu. Semalam dia menelponku sebelum aku sempat menata diri dengan baik. Peristiwa itu nampaknya menjadi hal yang paling kukagumi dan paling takkumengerti sepanjang hidupku meski ia nyata-nyata kualami; nyata-nyata dan bukan dalam alam imaji!

Dalam telepon, dia tidak berbicara banyak. Dia hanya menceritakan kalau selama beberapa hari tidurnya tidak tenang dan banyak peristiwa yang ia alami mengingatkannya padaku. Ia juga bertemu beberapa orang yang pernah terlibat dalam hidupku; Nafa Urceh, seorang fotomodel yang pernah menjadi pacarku yang kebetulan dulu adalah kawan SMU ku, kawan Ratih juga., dan yang kedua adalah Nadia Goro, adik kandungku, kawan akrab adiknya semasa SMP. Ternyata, ia mengetahui nomerku dari Nadia.

“Aku melihatmu di televisi.” Kataku mengatasi sisa-sisa rasa bingungku.

“Ya, aku sudah menduganya. Apa sejak saat itu kamu tak bisa berhenti berpikir tentang aku? Hahaha...”

Sialan, pikirku. Perempuan ini ternyata memiliki selera humor juga.

“Tapi bagaimana kamu bisa tahu kalau aku sedang merasa gelisah karena kamu, padahal kita tak pernah menjalin hubungan apapun sejak lulus SMU. Bahkan bertemanpun kita juga tidak dekat-dekat amat, kan?” tanyaku.

“Bagaimana ya? Hm... ini susah sekali dijelaskan. Aku hanya merasakannya saja. Tapi mungkin penalarannya begini: ketika kamu terus menerus berpikir tentang aku dan pikiranmu itu over dosis, kamu semacam mengeluarkan energi yang berbeda dari biasanya. Nah, orang-orang di sekitarmu pun menerima energi yang berbeda itu juga. Dan karena energimu itu besar, ia masih bisa terasa bahkan sampai deretan kesekian, sampai ke aku ini misalnya. Tapi itu juga tergantung dari tingkat kepekaan orang terhadap energi-energi yang dibawa orang. Nah, sialnya, aku sepertinya peka terhadap energimu yang berlebihan itu. He.he..he..”

Hm, dia sudah dua kali melemparkan ejekan humornya. Sedang aku belum sekalipun meladeninya. Baiklah, sepertinya aku memang harus diejek.

“Tapi bagaimana kamu bisa yakin bahwa itu energi dariku?” aku mencoba memperdalam pertanyaanku.

“Nah, itu juga yang semula aku bingung, apa ini benar-benar dari kamu atau tidak. Gambaran tentang dirimu pernah terbayang, tapi aku tidak yakin, dengan alasan yang sama persis dengan alasanmu: kita tak pernah menjalin hubungan yang mendalam. Sampai akhirnya aku bertemu foto model yang mantan pacarmu itu dan juga adikmu. Dua pertemuan itu yang akhirnya membuatku yakin kalau kamulah yang mengirimkan sinyal-sinyal itu, meskipun kamu sendiri tidak sadar kalau kamu sedang mengirimkannya melalui sekian banyak orang. Nah, nampaknya keyakinanku benar. Sekarang aku gantian bertanya, kenapa kamu tiba-tiba berpikir tentang aku dan gelisah karena aku?”

Seorang pramusaji datang dengan nampan berisi dua gelas kopi. “Ini kopi Brazil, untuk Tuan Fran, dan ini kopi Tionghoa, untuk Nyonya Ratih. Aha, bukannya Nyonya Ratih ini pernah muncul di televisi? Senang sekali saya melihat anda di sini.”

Ratih tersenyum saja menanggapi omongan pramusaji itu.

“Ah ya, silakan menikmati kopi racikan kami.”

“Terima kasih!” kata kami berdua hampir bersamaan.

Paling tidak, ya, paling tidak, kedatangan pramusaji tadi cukup memberiku waktu untuk menahan jawaban atas pertanyaan Ratih yang memang belum kudapatkan.

“Aku sendiri juga tidak tahu, Ratih. Setelah melihatmu di televisi itu, aku jadi bengong sendiri. Ya, mungkin aku terpesona oleh kehebatanmu meramal waktu. Dan mungkin sudah saatnya kamu meramalku. Bagaimana? Mau melihat garis tanganku? Ha.ha..ha..”

Ratih balas tersenyum. Katanya, “Aku tidak bisa meramal, Fran. Sejak kecil aku, jika akan ada kejadian yang biasanya berupa tragedi, bayangan tentang kejadian itu biasanya muncul sendiri. Aku juga tidak tahu apa namanya. Mungkin intuisi. Kamu ingat waktu SMU dulu, kakak-kakak kelas kita piknik ke Jogja. Tiba-tiba, ketika mereka berangkat dari sekolahan, aku seperti melihat sebuah bayangan salah satu bus rombongan itu tergelincir dan masuk jurang. Tapi aku tidak melihat ada yang meninggal. Waktu itu aku tidak berani mengatakan kepada siapapun tentang bayangan yang melintas di kepalaku itu. Kepada Septi, sahabat dekatku pun aku hanya mengatakan kalau aku punya firasat buruk terhadap perjalanan mereka.”

“Ya, dan di daerah Cemara Sewu, Lereng Gunung Lawu, salah satu bus memang terperosok ke jurang. Semuanya luka tapi untung tak ada yang meninggal.” Timpalku.

“Seperti itulah, Fran. Aku jadi takut terhadap diriku sendiri, takut menghadapi bayangan-bayangan itu. Semuanya, Fran, semuanya, semua bayangan yang datang itu terjadi semuanya. Kadang aku sudah menyadarinya sejak awal bayangan itu datang. Kadang pula aku baru mengetahuinya setelah peristiwanya terjadi. Menakutkan, Fran.”

Ia diam sebentar, menarik nafas yang lumayan panjang. Kemudian mengambil gelas kopinya dan meminumnya pelan.

“Boleh minta rokokmu? Aku belum sempat membeli tadi.”

Segera kuulurkan tanganku. Rokok kretek xxx. Katanya cita rasa paling sempurna. “Aku baru tahu kalau kamu merokok.”

Ia tersenyum saja. Dan segera mulutnya menghembuskan asap.

“Baru setelah kejadian bus itu, aku berani bercerita pada ayahku. Semuanya kuceritakan sepanjang aku mampu mengingatnya, dari kejadian yang menyangkut banyak orang sampai yang hanya terjadi pada satu orang. Heranku, ayah nampak tidak kaget. Ia langsung percaya ceritaku. Pada saat itulah ia mulai bercerita tentang Nenek Watu Kinasih, tentang Semar, linuwih, nama Fajar Bumi-ku, dan wayahku yang sebentar. Ia menceritakan semuanya apa adanya. Tapi giliran kutanya apa maksudnya, ia tak dapat menjelaskan barang satu pun.”

Dari cerita Ratih itulah aku dapat bercerita kepada kalian tentang kelahiran Ratih, Nenek Watu, dan pesan-pesannya.






“Waktu itu aku ingin sekali menemui Nenek Watu dan menanyakan kepadanya apa arti kata-katanya itu. Tapi ayah bilang kalau Nenek Watu meninggal tujuh hari setelah kelahiranku. Dan itu yang membuat ayah paham arti kata Nenek Watu wis rampung sik tak enteni. Ternyata Nenek Watu menungguku lahir lebih dulu untuk meninggal.”

“Jangan-jangan kamu ini pengganti Nenek Watu?”

“Mungkin. Tapi aku juga tidak yakin. Nenek Watu memang juga punya kemampuan lebih dalam hal membaca masa depan. Tapi ia membaca dari tanda-tanda yang ia hubungkan dengan ilmunya, kebatinan. Itu yang membedakan dariku. Aku tak memiliki kemampuan membaca tanda. Yang ada padaku hanya ketiba-tibaan, menyeruak datang begitu saja.”

“Dan kamu tak memiliki kekuatan juga untuk menolak bayangan-bayangan itu datang?”

“Tidak. Atau belum aku tidak tahu. Pun aku tak memiliki kekuatan untuk tidak
membiarkan bayangan-bayangan itu terjadi. Sama sekali. Karena itulah aku merasa sangat lelah menanggung hidupku. Aku bisa sangat mengetahui banyak hal, tapi aku tak memegang kuasa atasnya.”

“Tapi bukankah kelebihanmu itu bisa membantu banyak orang?”

“Ya. Membantu mereka yang percaya. Tetapi bagi yang tidak percaya, aku tak lebih dari orang gila yang cari nama. Dan yang lebih memberatkanku, aku tak sanggup melihat kecemasan dari orang-orang yang kuberitahu tentang apa yang akan terjadi pada mereka. Bayangkan sajalah, kamu diberitahu seseorang kalau orang yang kamu cintai akan menerima malapetaka, atau kampung halamanmu akan diguncang gempa besar. Aku merasa telah melangkahi waktu dan sangat bersalah dengan adaku.”

Dari raut wajah dan tatapan matanya, aku tahu Ratih sedang mengatakan hal yang sejujur-jujurnya. Dan aku bisa membayangkan bagaimana perasaannya ketika mengatakan apa yang akan terjadi. Ini bukan seperti permainan tebak-tebakan benar atau salah. Dan mereka yang mendengarkan omongan Ratih, kukira mereka tak akan lepas dari kekhawatiran itu: khawatir yang barangkali obatnya hanya pasrah kepada sang pemberi hidup dan mati, dengan mencoba untuk tetap berjuang karena menyadari juga bahwa mereka adalah pelaku sejarah, pelaku hidup masing-masing. Tapi, dalam kecemasan yang meradang, apa harapan tidak mengelupas?

“Oh ya, sejak kapan kamu tinggal di Magelang?” tanyaku setelah agak lama kebisuan itu datang.

“Itu juga ada ceritanya, Fran. Tiga hari setelah kelahiranku, ayah pergi ke tempat Nenek Watu memberi oleh-oleh. Ya, ucapan terima kasih karena membuat anaknya menangis. Pada waktu itu Nenek Watu berpesan agar kelak jika Ratih ingin mengetahui lebih banyak tentang dirinya, suruhlah ia pergi ke Magelang, tepatnya di lereng pertemuan antara Merbabu dan Merapi, dusun Panembahan. Di sana ada seorang yang wicaksono, namanya Eyang Duwong. Tapi orang-orang seperti Nenek Watu memanggil Eyang Duwong dengan sebutan Kresna karena mereka percaya bahwa di dalam diri Eyang Duwong itulah Sang Kresna bersemayam.”

“Dan apa yang kamu lakukan di sana?”

“Aku sendiri juga tidak tahu sampai sekarang. Ya, hidup saja di sana. Ikut Eyang Duwong pelihara itik, ke sawah pelihara tembakau. Bertukar pikiran dengan Eyang. Kalau malam diajak meditasi.”

“Terus, pekerjaanmu?”

“Hehe.. kamu tahu kan, sejak kecil aku senang menari. Sampai sekarang aku masih menari. Sejak enam bulan lalu aku menari di kraton. Sultan senang melihatku menari. Nanti malam aku juga menari kok. Ada tamu dari India dan Cina. Aku juga melatih anak-anak menari di Magelang. Ya, kegiatan sore hari.”

“Kamu tinggal di rumah Eyang Duwong?”

“Ya, Eyang sangat baik orangnya, juga nenek. Awalnya lucu, Fran. Waktu aku datang pertama kalinya, seorang diri saja, kurang lebih dua tahun lalu, Eyang sedang minum teh di dapur. Di sana kan orang lebih senang minum teh di dapur daripada di teras. Nah, setelah bertanya pada beberapa orang dimana rumah Eyang Duwong, aku berjalan menuju rumahnya. Sepi sekali meski pintunya terbuka lebar. Belakangan aku tahu kalau pintu rumahnya tak pernah ditutup. Kulanuwun, kataku. Dari dalam terdengar sahutan eyang, mempersilakan aku masuk saja ke dapur. Aku langsung masuk. Saat pertama kalinya Eyang melihat wajahku, ia menatapku lama sekali dan seperti menerka-nerka wajahku.”

“Ia mengenalmu?”

“Kurasa belum karena kami belum pernah bertemu. Tapi Eyang, setelah beberapa saat menatapku, langsung menyebut namaku, Weh, Fajar Bumi. Katanya, ia sudah lama menunggu datangku.”

“Dari mana ia tahu namamu?”

“Aku juga tidak tahu, Fran. Ketika kutanyakan pada Eyang, ia hanya tersenyum. Tapi menurutku ia tahu dari Nenek Watu. Kata Eyang, waktu aku lahir, ia melihat sebuah cahaya putih terang sekali melintas di antara gunung Merapi dan Merbabu. Ia sedang bersama Nenek. Tapi Nenek tak melihatnya. Nah, malam sebelum aku datang ia mengalami kejadian yang sama. Tapi kata kakek, cahaya itu melintas cepat sekali, tidak seperti saat kelahiranku.”

“Dan apa arti cahaya putih itu?”

“Eyang tak pernah mengatakannya. Katanya, aku akan mengetahuinya sendiri kelak. Tapi sampai sekarang aku juga belum mengetahuinya. Hehehe...”

Ah, Ratih Fajar Bumi, kamu perempuan penuh misteri yang tiba-tiba datang dalam hidupku. Akan seperti apa dunia menjagamu? Akan seperti apa kamu menjaga dunia? Namamu sendiri, tidakkah telah menyiratkan keberadaanmu, apa kamu diharapkan menjadi cahaya? Tapi apa artinya cahaya jika ia melintas sangat cepat? Dan aku sendiri, bagaimana harus kuartikan peristiwa ini? Orang asing yang sejak kecil kukenal ini telah menceritakan banyak hal kepadaku. Tentu akan ada cerita-cerita yang menyusul belakangan nanti. Atau, apakah ini berarti bahwa aku akan banyak terlibat dalam hidupnya?

Nampaknya pikiranku sedang melayang ke banyak sudut hidup ketika Ratih mengulangi perkataannya, “Fran, kamu sedang melamun, sampai tak mendengar jeritanku?”
Aku tergagap sejenak. “Eh, kamu berkata apa tadi?”

“Aku bertanya, kamu sibuk apa selain motret?”

“Oh, aku sedang belajar di Universitas XXX, coba-coba ambil S2. Kalau lancar, sih.”
“Wah, kalau kamu sih aku yakin lancar. Murid paling cerdas seangkatan, paling dijagokan guru. Hehehe..”

“Nah, kalau kamu sudah bilang begitu, aku jadi tambah yakin kalau bisa tamat. Kan ucapanmu sudah laku di tivi.”

“Wah, kena nih. Yeah, hitung-hitung buat pertanggungjawaban atau antisipasi terhadap rasa bersalahku sendiri sih. Kamu ambil jurusan apa? Fisika ya?”

“Ya, kamu keliru. Aku ambil sejarah pemikiran Jawa.”

Ratih tertawa lumayan keras demi mendengar kata-kataku terakhir. “Wah, ini baru berita gembira,” katanya, “ilmuwan Fisika kita ternyata menyukai ilmu yang sudah tua.

Menarik tentunya, Fran?”

“Sangat menarik. Ah, aku jadi ingat. Mungkin sekarang aku bisa menjawab pertanyaanmu di awal tadi, tentang bagaimana aku bisa gelisah setelah melihatmu di tivi. Dalam pemahamanku, aku menganggap bahwa apa yang terjadi saat ini, detik ini, adalah kenyataan yang merengkuh masa lalu dan masa depan.”

“Maksudmu?”

“Apa yang kualami saat ini bisa jadi adalah penggenapan atas masa laluku yang belum lengkap. Jadi ini menjadi semacam bayaran yang harus kulalui, bukan yang lain. Atau bisa jadi juga, apa yang kualami saat ini adalah tabungan atau persiapan untuk suatu hal di masa depan. Tanpa melewati yang kualami ini, barangkali hidupku menjadi kurang genap, atau paling tidak, kegenapan itu tertunda.”

“Ya... Dan kamu tentu juga mengandalkan intuisimu, berpikir dengan rasa, apakah kamu, juga aku, memang benar-benar tepat melakukan apa yang sudah, akan atau sedang kita lakukan?”

“Kamu benar, Ratih. Ini semacam area kita sebagai manusia yang dilahirkan bebas, dan bebas pula menentukan hidup kita. Sementara kebebasan selalu memiliki pilihan-pilihan sebagai anak kandungnya.”

“Dan kita memilih satu ruang dan waktu saja sebagai wilayah nyata hidup kita. Tepat atau tidaknya pilihan kita, nampaknya tergantung dari ketajaman pikir dan rasa kita ya, Fran.”

“Ya, termasuk pilihanku untuk bertemu kamu hari ini. Nampaknya ini pilihan yang sangat keliru. Hahaha...”

Akhirnya aku bisa membalas selorohnya di awal pertemuan tadi. Kami tertawa bersama. Tapi wajahnya sedikit merah: cantik.

***

Hari sudah hampir sore ketika kami meninggalkan rumah kopi tersebut. Ratih langsung pergi ke kraton untuk persiapan pentasnya nanti malam. Sedianya aku ingin ikut dan melihat dia menari. Tapi aku sudah ada janji dengan seorang model untuk tiga sesi pemotretan. Yah, belum waktunya, pikirku. Dan berpisahlah kami dengan hidup kami masing-masing.

Setidaknya, aku merasa lega karena sudah bertemu Ratih. Tapi mendengar kisahnya seperti menciptakan sesuatu yang berbeda dalam hidupku. Aku sangat kagum pada kelebihan Ratih, kelebihan yang nampaknya terberi begitu saja. Tapi di sisi lain, aku juga merasakan sisi kemanusiaannya yang menderita karena kelebihannya itu.

***

Aku masih sering bertemu Ratih sejak pertemuan itu. Pernah ia mengajakku ke Magelang, ke tempat Eyang Duwong. Tempatnya nyaman sekali, sejuk dan membuat orang kerasan. Apalagi dengan kebaikan hati Eyang Duwong dan Nenek, aku seperti disambut keluarga sendiri, tinggal di rumah sendiri.

Hubunganku dengan Ratih kian hari juga kian dekat. Aku sering melihat diriku di dalam apa yang dikerjakan Ratih. Maksudku, aku melihat kekurangan-kekuranganku sendiri. Dan dengan itu, aku belajar banyak darinya.

Ratih sendiri masih sering mendapat bayangan-bayangan yang tiba-tiba datang dan lantas terjadi itu. Apa yang dikatakannya di stasiun televisi X pada akhir tahun lalu beberapa memang sudah benar terjadi; di bagian barat pulau Jawa, sebuah wabah yang membuat banyak orang tak dapat tidur menyebar, dan banjir besar terjadi di kota-kota besar di belahan barat Indonesia. Dan perempuan itu hanya terdiam menyaksikan bencana itu terjadi silih berganti.

Sudah hampir satu tahun, seperti kuceritakan di awal kisah ini, aku berhubungan dekat dengan Ratih. Ini berarti akhir tahun sudah dekat. Tiba-tiba aku ingin sekali melihat Ratih menari. Kubiarkan beberapa hari keinginan itu. Tapi lama-lama aku tak kuat juga menahannya. Ah, apa ia mau menari untukku?

Kuputuskan untuk pergi ke Magelang tanpa memberi kabar lebih dulu. Aku merasa Ratih sedang ada di sana. Dan ternyata aku tidak keliru. Ia sedang berbincang-bincang dengan Eyang Duwong ketika aku datang pada suatu sore. Nampaknya mereka sedang cukup serius bercakap-cakap.

Mereka menyambutku dengan kegembiraan yang biasanya. Sepertinya mereka merasa juga kalau aku akan datang.

“Kemarilah, Kamajaya!” kata Eyang Duwong.

Aku bingung demi mendengar ucapan Eyang. Tidak ada orang lain selain aku dan Ratih di tempat itu. Tapi ia memanggil Kamajaya. Dan bukankah dalam cerita pewayangan, Begawan Kamajaya itu suami Dewi Ratih? Dan matanya menatapku. Kamajaya, tanyaku dalam hati.
“Ya, kemarilah kamu, Nak. Duduklah sini. Teh ini sudah menunggumu.” Nampaknya Eyang melihat kebingunganku dan lalu merubah kata-katanya. “Kamajaya itu kamu, Nak!”

“Maksud Eyang?”

“Hahaha... sudahlah. Nanti juga kamu akan mengerti.”

Aku menjadi tambah bingung. Tapi jika Eyang sudah bicara demikian, aku tak akan berani bertanya lebih. Kami minum-minum sebentar dan berbincang tentang beberapa hal yang tidak membingungkan seperti bagaimana perkerjaanku, juga tentang pendadaranku untuk S2 yang tinggal sebentar lagi.

Sesaat kemudian, Eyang Duwong mengajakku ke pendapa tempat biasa anak-anak belajar menari. Ratih masuk ke kamarnya.

Tak ada siapa-siapa di pendapa itu kecuali sebuah tape yang mengeluarkan bunyi gending Jawa. Enak sekali, pikirku. Kami duduk di pinggiran pendapa tersebut. Tiba-tiba, dari kejauhan, seorang perempuan dengan dandanan penari yang lengkap berjalan ke arah pendapa. Segera kukenali bahwa perempuan itu adalah Ratih. Ya Tuhan, ia cantik sekali.
Ratih segera menuju ke tengah-tengah pendapa, berdiri di hadapan kami. Eyang berjalan menuju tape dan mengganti kaset. Belum terdengar bunyi dari kaset itu ketika kakek kembali duduk di sebelahku.

“Gending ini berjudul Uriping Pati, sama seperti judul tariannya. Ratih sama sekali belum pernah menarikan tarian ini. Dan sekarang, dengan busana yang lengkap, ia akan menarikan untuk pertama kalinya.”

Aku diam saja karena memang tidak tahu apa yang harus kukatakan.

Sesaat kemudian gending itu terdengar. Ketukannya sangat pelan dan membuat telingaku seperti tidak sabar ingin mendengar nada-nada selanjutnya. Ratih maju menghampiri kami dan melakukan sungkem pada Eyang Duwong. Setelah itu, ia mendekatiku, duduk bersimpuh di hadapanku. Kedua tangannya terlipat di dada. Kemudian ia menarik kedua tanganku dan menciumnya lama sekali. Kubiarkan Ratih melakukan semua itu karena aku seperti tak merasakan apapun selain takjub.

Setelah itu, Ratih kembali ke tengah-tengah pendapa dan berdiam sebentar. Eyang Duwong beranjak dari tempat duduknya, pergi agak jauh dari pendapa. Sambil berdiri, ia melihat ke pendapa. Aku tetap duduk di tempatku. Menikmati gending itu, menikmati kebingunganku, menikmati ketakjubanku, dan menikmati Ratih yang mulai menggerakkan badannya.

Tangan kanannya mulai meliuk ke samping dan nampak hendak mendorong seseorang. Sedangkan tangan kirinya tetap berada di depan dadanya, seperti Budha yang sedang bersamadi. Ia bertumpu hanya pada jari-jari kakinya, dengan kaki kanan di belakang kaki kiri. Demikianlah ia menari mengikuti irama gending yang sangat lambat. Kepalanya mengikuti gerakan tangan kanan dengan kedua mata yang menatap ujung jari tangan tersebut. Ia gemulai sekali.

Setelah beberapa saat, gending terdengar lebih cepat temponya. Ratih kulihat mengikuti tempo tersebut. Tangan kanannya bergerak lebih cepat, juga kepala dan kedua kakinya. Tangan kirinya masih berada dalam posisi samadi. Sesekali ia nampak seperti Gatotkaca yang hendak berangkat perang, gagah sekali dan matanya seperti menantang siapapun yang menatapnya. Sesekali pula ia nampak seperti Arjuna yang tegas tapi lemah lembut.
Apakah ia, perempuan yang menari di hadapanku, Ratih? Tidak, ia bukan Ratih lagi. Ia sudah menjadi sebuah tarian yang sempurna. Bahkan sekarang kulihat ia sudah menjadi Semar. Tariannya seperti orang yang sedang berada dalam kesempurnaan yang samar. Ia seperti Semar yang mendem, Semar yang mabuk.

Irama gending dengan tempo cepat tersebut memuncak setelah Ratih memutar badannya beberapa kali. Ia hanya bertumpu pada ujung jari kaki kirinya sedang kaki kanannya ia letakkan pada lutut kaki kirinya sehingga membentuk segitiga. Tangan kanannya menjulur ke samping kanan dan matanya masih menatap tangan kanan tersebut. Ia berputar sangat cepat dan berhenti tepat dengan bergantinya tempo gending tersebut.

Sekarang gending tak berirama cepat lagi, juga tidak lambat. Ia memberi ketukan seperti detik-detik jam yang melewati titik-titik lingkaran waktu. Ah, sekarang tariannya tampak erotis. Matanya memiling ke kanan dan ke kiri seakan mengajak siapapun yang melihatnya untuk sesegera mungkin mencumbunya. Tak kusadari, bahuku ikut bergerak mengikuti irama gending.

Tiba-tiba Ratih menghampiriku dan menarik tanganku. Ia mengajakku menari?

Di tengah pendapa itu, aku seperti tidak ingat sedang berhadapan dengan siapa. Kesadaranku mengatakan kalau aku sedang berhadapan dengan sebuah tarian yang sempurna dan bukan berhadapan dengan orang. Dan tarian itu seperti membimbingku sehingga aku pun turut menggerakkan seluruh tubuhku.

Aku tak pernah menari, pun belajar menari. Tapi aku merasa diriku juga telah menjadi sebuah tarian. Aku merasa diri kosong dan tak memikirkan apapun selain menjadikan diri sebuah tarian.

Sementara itu dari kejauhan, Eyang Duwong melihat dua orang yang tengah menari dengan sempurna. Dalam hidupnya, baru sekali ia menyaksikan tarian seperti itu. Dan ia sungguh seperti melihat Begawan Kamajaya dengan Dewi Ratih lah yang sedang menari di tengah pendapa tersebut. Tidak salah, pikirnya. Dialah Kamajaya.

Beberapa waktu kemudian, irama gending berubah lagi menjadi sangat lambat seperti pada awal tarian tadi. Aku menyadari perubahan tempo tersebut karena tiba-tiba aku sudah berada di tempatku duduk tadi. Dan kulihat sebuah tarian masih mengikuti irama gending di hadapanku. Ia masih menari, seorang diri. Atau apakah sebenarnya aku masih menjadi bagian dari tarian itu sendiri? Aku berdiri menatap tarian itu dengan kedua telapak tanganku bertemu di dadaku. Aku sedang bersamadi?

Suara gending itu makin melemah ketika tarian itu mendekatiku. Dan tarian itu seperti merubah dirinya menjadi seorang gadis lagi, menjadi Ratih lagi ketika ia menyentuh kedua tanganku dan mencium tanganku. Aku tidak menyadari apa yang kulakukan tapi tiba-tiba aku ingin sekali mencium keningnya. Dan kulakukan itu seiring dengan berhentinya suara gending, seiring pula dengan detak jantungku yang bergetar lebih cepat dan seluruh tubuhku yang merinding; ekstase.

***

Menjelang Isya, aku pamit Eyang Duwong untuk kembali ke Jogja. Ternyata Ratih juga sekalian ikut ke Jogja. Ia memintaku untuk mengantar ke bandara karena pukul sembilan malam ia harus berangkat ke Jakarta. Sultan dan rombongannya tengah menantinya di Jakarta untuk menari. Sebelumnya Ratih telah mengatakan kalau ia akan menyusul saja dan setengah tidak yakin apa bisa turut menari karena ia harus melakukan sesuatu yang sangat penting. Untungnya Sultan mau mengerti dan memberi kebebasan padanya untuk berangkat sendiri. Rencananya esok hari Ratih akan menari.

Kami tidak banyak bercakap selama perjalanan ke bandara. Nampaknya terlalu sulit mencari bahasa untuk mengungkapkan perasaan kami masing-masing. Ia hanya mengatakan kalau dirinya yakin bahwa aku akan menjadi pemikir yang hebat dan ahli dalam pemikiran Jawa. Aku tertawa saja mendengarnya karena aku tahu betul kemampuanku yang terbatas. Tapi tertawaku terhenti ketika aku menyadari kalau Ratih punya kemampuan melihat masa depan. Semoga, pikirku. Dan lantas aku membayangkan diri menjadi pembicara dalam seminar-seminar filsafat di Inggris, Belanda, atau Jerman yang membahas tentang pemikiran Jawa. Demi membayangkan itulah aku tersenyum lagi. Selebihnya, kami hanya mendengarkan suara hujan yang dan deru mobil yang lain.

Pukul delapan malam kami sampai di bandara. Hujan masih turun meski tak lagi deras. Tak satu pun bintang tampak. Aku mengantarnya sampai ke ruang tunggu, sampai akhirnya waktu meminta Ratih untuk segera berjalan ke pesawat.

“Ratih, apakah kita akan bertemu dan menari lagi?” tanyaku. Tapi aku sendiri tidak tahu darimana asal pertanyaanku.

“Dewi Ratih memang menari, Fran. Tapi untuk Kamajaya, kekasih hatinya, ia hanya menari sekali. Dan hidupnya telah genap dengan tariannya itu. Bukankah kita telah menjadi sebuah tarian yang sempurna tadi?”

“Ya Ratih, kita telah menjadi sebuah tarian yang sempurna.”

Ratih memejamkan matanya sesaat. Kulihat wajahnya begitu sempurna dan bahagia. Dari bibirnya keluar senyuman yang paling membahagiakan. Ia membuka kedua tangannya memintaku untuk masuk ke dalam pelukannya. Ah, ketentraman yang luar biasa, akankah ia menghampiriku sesaat saja?

Ia mencium keningku.

“Selamat tinggal, Fran. Selamat tinggal Kamajaya. Tidak ada yang lebih membahagiakan Dewi Ratih kecuali menari bersama Kamajaya!”

Ah, kata-kata itu, keluar dari mulut Ratihkah? Atau ia sedang mencoba mengatakan sesuatu yang lain? Dan ia mulai melangkahkan kakinya ke pesawat, diiringi rintik-rintik hujan.

Aku pulang setelah memastikan pesawat yang ditumpanginya telah meninggalkan landasan.

Berjalan meninggalkan bandara, perasaanku menjadi tak karuan. Aku gelisah sekali. Semua bayangan tentang Ratih datang silih berganti dan tak menentu. Aku seperti tak punya kekuatan untuk menghentikan bayangan-bayangan itu. Semua yang muncul adalah pengalamanku dengan Ratih. Tapi perasaan ini, siapa yang menguasainya? Kenapa tiba-tiba aku menjadi cemas? Kenapa tiba-tiba aku bingung?

Masa-masa dengan Ratih seperti tak mau berhenti mendatangiku, ia menarikku mundur mulai dari ciuman di keningku, pelukannya, kata-katanya, keyakinannya akan diriku, tarian kami berdua, sms-smsnya, obrolan kami di rumah kopi, dan seterusnya. Ah, ternyata waktu bisa menarikku mundur ke pusaran. Dan ingatanku yang datang silih berganti itu memang semakin membuat cemasku tak karuan.

Sampai di tempat parkir, aku tidak langsung pulang. Aku duduk dulu di dalam mobil sambil mencoba menarik nafas dalam-dalam dan mencoba membuatnya teratur. Ingatan-ingatan itu, kenapa mereka tidak datang memberiku senyum? Ah, mereka malah membuatku teriris-iris. Kupejamkan mataku agar aku bisa lebih cepat menata diri. Tapi malah ingatan-ingatan itu mencongkel keluar dari liang-liang persembunyiannya dan serentak merengkuhku dari kekinian.

Akhirnya kubuka kembali mataku. Dan tiba-tiba dari dalam mobil aku melihat sebuah cahaya putih terang benderang melesat di ujung selatan langit, dari timur ke barat. Meski sangat cepat, aku melihat dengan sangat jelas kilatan cahaya putih itu. Dan aku tahu pasti, cahaya itu bukan kilat. Ia menyerupai bola, putih terang benderang dan nyaris membuat mataku silau.

Pada saat yang bersamaan, ingatan-ingatan yang melintas di kepalaku berhenti pada satu titik yang mengagetkan aku sangat. Di televisi itu, hampir satu tahun silam, Ratih sedang mengatakan ramalannya; tentang banjir, tentang penyakit baru, dan tentang pesawat yang akan mengalami kecelakaan. Pesawat? Kesadaranku tidak bisa beralih dari pesawat yang ditumpangi Ratih dan kata-kata yang keluar dari mulut Ratih setahun silam. Ia terpejam beberapa saat setelah mengatakan ramalannya itu, aku ingat betul. Apakah ia membaca nasibnya sendiri. Dua ramalannya telah benar-benar terjadi. Dan pesawat? Setahun ini aku tidak pernah mendengar kabar tentang kecelakaan pesawat terbang. Penujum itu, apakah ia tengah menjalani tujumannya sendiri?

Seketika kuambil telepon selularku dan kupencet nomer Ratih. Tidak aktif. Aku tahu, dalam penerbangan, handphone tidak boleh diaktifkan. Tapi aku merasa tidak aktifnya handphone Ratih terjadi bukan karena peraturan itu. Sesuatu, apakah yang sedang terjadi?

Kata-katanya di ruang tunggu tadi, apakah itu kata-kata perpisahan?

Hampir setengah jam aku tidak beranjak dari kursi mobil. Bingung dan cemas. Akhirnya aku keluar dari mobil dan berjalan menuju tengah-tengah lapangan parkir, duduk di bawah tiang lampu dan membiarkan air hujan menerpa tubuhku. Ayo..ayo... segarkanlah aku sekarang juga!

Satu jam telah berlalu. Kupikir sudah cukup untuk satu penerbangan ke Jakarta. Kutelepon lagi Ratih tapi masih tidak aktif. Pikiranku semakin buruk saja.

Eyang Duwong, ya, Eyang Duwong. Aku teringat dia. Dan aku ingin segera kembali ke tempatnya, mencoba mencari kepastian akan kecemasanku. Aku rasa Eyang, saat ini, hanya Eyang yang bisa membantuku menata diri.

Segera aku membawa mobilku ke Magelang lagi. Aku tidak tahu berapa kecepatan lajuku. Yang jelas, aku ingin sesegera mungkin menemui Eyang Duwong.

Satu jam perjalanan terasa begitu lama bagiku. Eyang Duwong sedang duduk bersamadi ketika aku datang. Ah, apakah ia juga mengetahui sesuatu? Apakah mereka, Eyang dan Ratih, telah tahu apa yang akan terjadi dan tidak mengatakannya padaku?

Melihatku kedinginan, Nenek memberiku segelas teh panas. Ia tidak mengajakku bicara lebih selain mengatakan kalau Eyang sedang bersamadi dan memintaku menunggu sebentar. Dan engkau Nenek, apakah engkau juga mengetahui sesuatu?

Sesaat kemudian, Eyang telah selesai dari samadinya. Ia datang menghampiriku dan bertanya, “Ana apa, Ngger? Kok praenmu pucet banget?”

Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi kata-kata Eyang tadi cukup membuatku tenang.
“Saya mengkhawatirkan Ratih, Eyang.”

Eyang diam saja untuk beberapa saat. Aku tambah curiga telah terjadi sesuatu pada Ratih.

“Coba, sekarang teleponlah. Siapa tahu ia sudah melewatinya.”

Melewatinya, melewati apa? Aku bertanya saja dalam hati dan segera menuruti kata-kata eyang. Kuambil handphoneku di kantong jaket. Ternyata ada satu pesan masuk. Kusempatkan diri untuk membukanya sebelum menelpon Ratih.






Jika Ratih dan Kamajaya sudah menjadi tarian, bayangan-bayangan yang melintasi waktu itu telah kembali menjadi milik masing-masing manusia. Terima kasih banyak, Kamajaya. Ratih.

Kubaca berulang-ulang kalimat itu. Bukan untuk mengetahui lebih dalam isinya melainkan untuk memastikan memang benar Ratih lah yang mengirimkan pesan tersebut.

Eyang Duwong masih mengamatiku dengan senyumannya ketika aku memencet nomor Ratih dan ketika beberapa nada sambung terdengar jelas di handphoneku. Tiba-tiba nada sambung itu berhenti dan terganti oleh suara perempuan yang telah sangat aku kenal.

***

Glodogan, Mei 2005.

Tidak ada komentar: