Jumat, 23 November 2007

Reliabilitas Kebenaran: Studi Kepercayaan atas Ingatan

Oleh Cindy Hapsari
K e m a n a b u n y i p e r g i ?

Bagaimana proses bunyi1/ suara baik secara biologis, psikologis, maupun ideologis dari tubuh manusia terbentuk? Bagaimana (proses) tiga item tersebut terangkai dan bergerak menjadi kenyataan yang terlihat maupun sebaliknya?

Pertanyaan itu selalu mengejar saya, bahkan hingga hari ini. Hingga ketika kegagalan menjawab menyeruak menjadi sebuah pintu yang hadir tepat didepan mata, saya lalu berlari, sedikit berputar, untuk mengeja proses awal sebelum bunyi / suara terjadi. Satu asumsi dasar yang saya pegang hanyalah kenyataan bahwa bunyi / suara, yang sampai pada gendang telinga maupun yang tak (pernah) tersampaikan sesungguhnya menyampaikan potensi yang sama, yakni potensi untuk diperlihatkan.

*

Hingga suatu malam, kami berbincang, saya dan beberapa kawan lain tentunya. Kami mencari tahu apakah sesungguhnya bunyi / suara, dari mana ia datang dan kemana ia menghilang (paling tidak setelah diucapkan atau terdengar). Kami juga mencari tahu apakah sebenarnya bunyi adalah semacam mahluk sama seperti kita manusia. Pertanyaan-pertanyaan itu menggiring kami untuk terus berasumsi. Awalnya kami mengatakan, mungkin bunyi / suara adalah 'semacam mahluk'. Yang kedua, sama seperti waktu, kami menganggap bumi memiliki sifat kelampauan. Asumsi ini sudah pasti diteruskan bahwa ia juga memiliki sifat kekinian, dst2. Perkara bukti empirik yang meneguhkan sifat-sifat itu memang sulit dirumuskan. Tapi sama seperti contoh asumsi Jorge Luis Borges (1999:31) ketika ia menuturkan “penalaran-semu-benar” pada kisah Tlon, Uqbar, Orbis Tertius3, pada perkara ini pun kami sepakat.

Sampai di suatu ujung, kami yakin bahwa, bunyi / suara, adalah manifestasi dari kerja dialektik manusia yang bergerak karena sebuah rumus, yakni pertarungan gagasan antara kisi eksternal dan internal subjektif manusia sebagai seorang individu sekaligus sebagai mahluk sosial yang bersifat historik. Turunan mudahnya adalah lahirnya pertarungan antar gagasan. Ini terjadi karena pola sebagai seorang manusia mengharuskan ia untuk selalu merumuskan nilai, kepercayaan, paham sebagai sebuah realitas yang dapat diamininya sebagai kebenaran. Bunyi / suara kemudian menjadi sebuah pernyataan sikap4. Ia sama dengan t i n d a k - t u t u r.

*

Kisah bunyi / suara itulah yang pada akhirnya mengingatkan sekaligus mengantar saya kepada tradisi lisan, sebuah pola tutur yang diteruskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Konsep yang cenderung tradisional itu, pada penyebarannya mengandalkan 'semangat untuk berbagi'. Satu kisah diceritakan dari satu kepada yang lain. Kabar itu seperti bunyi / suara yang datang terburu-buru dan pergi tak lama kemudian, hingga kadang fenomena itu justru dianggap sebagai gossip. Kebenaran pada titik itupun bersaing memenangkan pasar wacana. Namun perkara tersebut semakin 'menjadi-jadi' lantaran perang kepentingan termasuk kekuasaan yang melingkupinya5.

Sebagai akibat, lahir apa yang disebut mitos, legenda, dongeng, gosip, dsb.

***

Aku berdiri memandang garis batas cakrawala. Matahari belum muncul meski hari bergerak siang. Suasana asin melekat pada tubuh. Anak-anak menendang bola, tertawa tak hirau. Tak ada ikan hari ini, tak ada hasil hari ini, suara-suara disekitarku saling bersaut. Rona coklat keras berkeringat. Kini sebuah perahu bernama Mawar Samudra unjuk gigi. Mereka tak peduli berita tengah samudra. Tidak ada layar dan mereka terus berjalan. Tiga laki-laki menyurung kapal, minggir-mingir! Suara mereka menghardik orang disekitarnya, termasuk aku. Tenaga-keringat, dan niat berduyun-duyun disatukan dalam harapan. Dalam hitungan menit saja mereka berhasil berdiri ditengah gelombang.

Di hadapanku sebuah perahu nelayan menerjang ombak, terhuyun-huyun melewati gulungan. Semua orang berteriak-seakan membantu keseimbangan sang perahu. Tak nampak apapun, hanya kemenangan gelombang berdiri diatas manusia. Segala laksana habis. Jerih terkulai, asa singgah pada entah. Mata memapar tindak ucap. Tak ada doa, tak ada doa, hanya hati berdegup kencang….

*

Simbahku bilang, ada kisah yang tidak boleh di kabarkan, dan peraturan itu tidak boleh dilanggar. Lebih-lebih jika berkait suara tanpa rupa; hawa kehidupan.

***

Awalnya kisah ini dituturkan dalam beberapa lembar daun lontar bertulis hurup Arab pegon. Entah canggah keberapa yang menyalin bahan tersebut kedalam bahasa kawi, ratusan tahun silam. Aku sendiri tidak begitu pandai bahasa Jawa, apalagi Kawi, syukurlah dahulu ibu sudah pernah menterjemahkannya. Digenggamanku kini, sebuah gulungan kertas berisi kisah Ganjur menuturkan riwayatnya. Walau naskah tak lengkap dimana-mana, demikianlah kira-kira gubahannya:

Adalah pasti bahwa kisah ini dituturkan langsung dari tetes kebaikan, semata demi menjadi samudra kebenaran dalam hidup manusia, juga embun penyejuk hatinya.

[catatan: pada bagian awal ini sama sekali tak terdapat sengkala atau waktu penanda teks lainnya. Termasuk pembagian naskah berdasar asmaradana, dhandanggula, sinom, juga pasal pembagian nomor dan lainnya. Aku yakin seluruh bahan telah disalin hanya saja selip untuk beberapa kasus. Naskah dibawah disusun berdasar pembacaanku saja]



Demikianlah awalnya, alkisah seorang Raja terkemuka, yang bertahta antara samudra-giri, pada tanah subur tak kurang karena kaya, gulana karena puteri kesayangannya, Roro Madhura yang kemudian waktu disebut dengan Dewi Galuh Sekarmadhi, terpaut hati dengan seorang pemuda jelata nan gagah lagi bijak, Bara Mahetala. Hubungan mereka yang demikian mendapat tentangan, karna raja memiliki rencana berbeda bagi sang puteri. Waktu itu kerajaan bersitegang dengan Nagari Sabrang Timur, sebuah negeri tak besar namun kaya armada laut. Oleh karenanya, demi membangun perluasan negri serta mengikat penaklukan dengan jalan damai, sang puteri diajukan demi berjodoh dengan putera mahkota Nagari Sabrang Timur. Hubungan demikian sudah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. Galuh Sekarmadhi terikat janji dengan Kambanaswara.

Sang raja yang terkenal bijak kali ini seperti masuk pada perangkap. Ia tak mufakat dengan kehendak sang puteri. Dalam dirinya perkara nagari jauh lebih penting. Lagipula menjadi satriya kulandara selain tugas adalah kewajiban yang patut disangga setiap putera nagari dan tak berbeda, berlaku demikian jua bagi puteri-puterinyanya. Hal demikian, turun temurun berlaku bagi segenap bhumiputra. Sebab ada sabda bertutur 'kalengka nagari' (mustika negri) mudah terwujud apabila penyatuan wilayah dapat dilakukan tanpa pertumpahan darah. Semakin sedikit darah membayar adalah semakin baik, lebih-lebih tiada darah yang melunasi sebuah kisah.

Dewi Galuh Sekarmadhi, sang jelita yang sohor karna budi pekerti juga hati mulia diseantero negri, tak alang gigih memohon pada ayahandanya tercinta. Pada pikir juga hatinya, tugas demikian patut dilaksanakan dan benar adalah kewajiban anak nagari. Namun perkara yang disebut hanya dapat dilaksanakan apabila jiwa-raga-suksma menerimanya. Jika perkara ini gagal dilalui niscaya kalengka nagari juga tak akan terwujud. Yang demikian tentu menyulitkan seluruh putera-puteri nagari dan dapat menjadi ganjalan. Bagi Dewi Galuh Sekarmadhi, keutuhan hanya dapat dicapai dengan penemuan kesejatian, dan salah satu cara yang disebut adalah dengan merekatkan hati pada buah kehidupan sebenarnya; rahsa dan demikianlah seseorang menjadi kasatriya sesungguhnya. Perjalanan disebut, dipercaya sang dewi, jauh memiliki guna serta manfaat ketimbang menegakkan nagari dengan kepincangan pribadi.

Sang raja semakin gulana, ia merasa diri laksana Drestaratya. Kurawa dan Pandawa sama anak-anaknya. Kekuasaan dan kedamaian puterinya sama patut diperjuangkan. Tapi bukan semata kekuasaan nagari yang hidup dibenaknya, adalah satu perkara lebih rumit tumbuh subur bersamaan. Adalah Bara Mahetala, laki-laki pujaan hati anaknya, diketahui memiliki bibit Wanabaya yang satu waktu kelak menurunkan Mangir II. Dan hal demikian tak mungkin berlaku sebab kalengka nagari jauh lebih terancam karena runut masalah disebut.



Suatu kali demi membicarakan perkara, tiga Patih utama dikumpulkan. Patih Tirtanagara, Parangteja dan Rodha Askara datang menghadap. Tak lupa juga raja mengundang bibi penasehat kerajaan, Sekar Cakrabawa. Silang kata tak terhindar. Pembicaraan berjalan meski lepas malam bergulir. Raja calawenthah, dipikir putri dan masa depan nagarinya.

[sampai bagian ini, salinan tidak jelas. Tinta termakan umur dan kertas termakan karat waktu. Dari sisa kata yang terbaca dapat dikira bahwa ada pertentangan pendapat dalam memecahkan masalah itu. Sekar Cakrabawa berkeras menggagalkan niat ketiga patih untuk meniadakan Bara Mahetala. Para patih mengkhawatirkan nagari apabila Bara Mahetala memiliki akses kekuasaan. Terutama mengingat latar belakang Bara Mahetala. Menurut mereka bukan tak mungkin akan muncul pergolakan sebagai upaya balas dendam demi membayar darah yang dahulu pernah tertumpah. Sekar Cakrabawa mengatakan alur sejarah pada waktunya tak dapat ditiadakan. Meniadakan Bara Mahetala hanyalah menunda waktu bagi ledakan yang lebih besar. Sebab Kalacakra, menggiling-menggulung sama seperti Amos yang datang dengan tiba-tiba atau sama pula dengan Anakonda yang mungkin meluluhlantahkan mangsanya dengan cepat. Kalacakra tidak dapat ditiadakan ia hanya mungkin dialihkan namun demikian biaya pengalihan akan lebih besar dibanding biaya apapun yang pernah dikeluarkan manusia. Hanya kerelaan yang sepadan dengannya. Demikianlah sekitar perbincangan mereka pada bagian ini. Sulit menjelaskan selebihnya]

Setelah purnama pasang lewat beberapa waktu dan musim berganti, demi keteguhan hati sang puteri yang kokoh laksana hawa nirkala terus hidup, sang rajapun tegas menetapkan putusan. Ia demi kasihnya pada sang puteri, akhirnya merelakan Galuh Sekarmadhi dan Bara Mahetala pergi. Keduanya diasingkan pada hutan dalam jauh masuk pelosok wilayah selatan yang gelap. Sebagai denda nagari keduanya tidak diijinkan memiliki buah turunan. Demikianlah, takut menjadi ingatan tak lekang oleh jaman. Ia berbuah tindak yang dibenarkan surat ketetapan nagari.

Berat hati melepas kepergian. Pada pagi buta, dihantar secarik sabit keduanya tentram berjalan meninggalkan jejak tak bernama pada nagari. Sejak saat itu tak ada lagi kisah Galuh Sekarmadhi dan Bara Mahetala disebut. Tak terdengar barang seucap kata terlontar. Penyelesaian perkara Kambanaswara tiada jelas. Hanya diketahui nagari tersebut remuk redam sebab alam, setelah waktu berselang.

Demikianlah pasangan bahagia itu. Dalam hutan gelap mereka membangun bersama. Sukacita karna kerja dan karya. Lahan terbangun, wilayah cadas berbalik barokah. Tiada galau membuntuti hati.


Pula Bara Mahetala, paham diri dan berjanji teguh pada laku. Meski tak ayal godaan kerap datang bertanya: gerangan apakah salahnya, hingga ia wajib lalui segala. Seketika itu peneguh menghampiri dan berkata-kata: “sebab semata dirimulah yang pada waktunya akan meneguhkan apa makna juang, himpun, dan ikhwal pengorbanan. Demikianlah kelak dinda akan dikenang”. Meski demikian Bara Mahetala terkadang sempat berbantah lidah, ia merasa tak layak karna banyak perilaku demikian. Tapi sang suara kembali meneguhkan hatinya dan mengucap: “ada baiknya dinda percaya sebab jagadpun tak kan genap bila kenal bahagia tanpa sengsara. Itulah sangga dunia”. Godaan makin hari gagal melemahkan, ia malahan meneguhkan jua menguatkan Bara Mahetala dan Galuh Sekarmadhi. Pada Sang Hyang sembah diujudkan.

Hingga akhir hayat tiada kembali mereka pada nagari. Pada kematian, keduanya meninggalkan: Asokha Ahimsa.

Mati bukan habisnya kisah. Perjalanan panjang lapis kedua harus dilampaui. Putaran haruslah dilewati. Demikianlah, ia sebab dianggap batu ganjalan, menjalani hidup di bawah tekanan dan banyak cobaan. Bukan saja semasa hidupnya, bahkan setelah kematiannya, tidak banyak orang mengetahui dengan pasti kisahnya. Seluruh catatan itu seperti keong pada cangkang hanya pada saat yang tepat dapat keluar diperlihatkan.
Suatu waktu, sebelum tahta genap sepuluh diturunkan. Raja muda yang paham perkara temurun itu muram. Hatinya galau sebab kisah demikian dikubur demi menghapus sejarah kehidupan. Tapi iapun tak kuasa berbuat, lebih-lebih nenek moyangnya sendiri yang mendera. Limbung karna nurani benar, raja muda diam-diam meninggalkan kerajaan. Ia menepi di atas gunung tertinggi. Tapabrata lebih dari 33 purnama dibuat dengan hening sempurna. Selama perginya nagari dipimpin oleh Yudhanagara, patih yang bijak. Ia menjalankan titah dengan baik. Pada waktunya tiba, turunlah raja muda kembali pada peraduan. Dalam hatinya berkumandang gending. Demi tak lama lahir Kolo Ganjur sebagai tanda bhakti serta cinta pada pasangan tersebut dan sejarah tersimpan.

Karang kuasa yang angkuh tiada benar serta menurunkan derajat perikehidupan dikikis satu persatu, dibayarnya hutang terdahulu dengan peluh jua semangat. Perkara demikian sudah barang tentu jauh dari mudah, beberapa caci tiba dengan tuduhan raja muda meniadakan harkat juga martabat leluhur.

[bagian ini menceritakan kisah mangkatnya raja muda. Hanya tertulis: Raja muda akhirnya mangkat cepat dari tahta sebab moksa. Tiada padhang turunan penerus tahta juga kisah para patih bijak. Tapak mereka tiada lain semata debu dalam alas Persi. Tidak ada keterangan lebih yang membicarakan silsilah raja penerus. Juga tak ada penjelasan tentang jatuhnya raja muda dan pengikut juga bagaimana nasib mereka akhirnya]

Kini gending raja muda menjadi pengiring pengantin ketika memasuki pelaminan. Kolo sama paham dengan tali sementara ganjur berangkat dari gonjo, yang punya arti serat inti. Inilah Gending lambang ikatan dasar yang jadi jembatan bagi manusia untuk kerja, karya sekalian arung hidup sampai utuhnya

[gubahan masih menyisakan beberapa lembar halaman terakhir. Sayangnya lagi-lagi tinta samar. Mungkin aku ringkas saja patahan-patahan kata itu. Lembar-lembar terakhir ini aku rasa berisi semacam bacaan jaman pada kelak walau tetap terikat dari waktu dan kisah yang kita bicarakan tadi. Aku pastikan bahwa pasangan yang disebut adalah Galuh Sekarmadhi dan Bara Mahetala yang kemudian beroleh sebut Demang Ganjur atau Ki Jo Ganjur dan Nyi Jo Ganjur, sesuai Gending buatan sang raja muda. Demikianlah suatu hari ada nagari yang disebut dengan namanya]

Kelak ada masa, kuburnya tak lagi dikenal. Orang tak tahu apa atau siapa. Mereka berdua akan berada pada bata tanpa Srengenge mengunjungi: tepat disamping manusia bertemu dan saling ria. Tak ada paham datang mengetahui, sebab ruang dan waktu menyembunyikan kisah. Batara Kala belum lagi sudi. Hanya hawa menutur berjalan. Baik-buruk pada salah-benar menjadi kerudung wajah tiada terbaca.

[naskah terputus]

Sebuah tempat luas, sangat indah, menaungi bata tanpa srengenge. Itulah pondok bagi seorang asing yang bernegri jauh dari timur. Mereka akan mengusung apa yang telah diolah oleh pasangan itu. Ladang lebar, keuntungan melimpah, juga tempat-tempat tinggal bagi sakit dibuat. Rupanya demikianlah nasib menyatukan pasangan tersebut dengan segala asing sekaligus besar. Setelah itu akan tiba masa, bahkan nisan merekapun tak akan tersisa, juga kerangka yang ada di padanya.

[penjelasan selanjutnya sama sekali tak terbaca. Hanya kalimat terakhir yang jelas terkutip: Adalah asa, kelak manusia kenal warta berkat lara teramini… Demikianlah kisah ini]

*

Sebuah candi bertengger ramai dikunjungi warga. Mereka berurutan berharap berkah dari tanah yang kaya dan air murni yang terkandung di dalamnya. Doa-doa berlompatan darinya. Dahulu, tak berjarak jauh, komplek pabrik gula, rumah besaran, gereja, candi, sekolah dan panti dibangun oleh seorang Belanda. Dalam salah satu kamar di rumah besaran itulah, kali terakhir nisan pasangan tersebut ditemukan. Kini lepas ratusan tahun, lahan berganti menjadi rumah toko dan lapangan bola. Alas menthaok tempat pengasingan, hanya berjarak 20 kilometer saja dari Jogjakarta. Kini, jika saja kalian paham, risalah pembuangan belum lagi kenal kata usai. Ini, satu yang tersebut, diluar… masih banyak kisah berserak. Dan tuas kembali berputar.



***

Simbahku pernah berkata: ada kisah yang tidak boleh di kabarkan, dan peraturan itu tidak boleh dilanggar. Tapi kali ini aku akan ceritakan sebuah kisah. Mungkin sebuah kisah yang tidak masuk akal, tapi aku mempercayainya. Karena semakin besar aku tahu, tingkat kebenaran tak semata-mata dihitung berkat perkalian empirisisme dalam deret hitung tapi juga berkat reliabilitas dalam aturan acak yang memiliki pola serupa. Dan kebaikan, itu adalah hal yang berbeda…

*

Di hadapanku, sebuah perahu nelayan menerjang ombak, terhuyun-huyun melewati gulungan. Semua orang berteriak-seakan membantu keseimbangan sang perahu. Tak nampak apapun, hanya kemenangan gelombang berdiri diatas manusia. Dimenit-menit penghabisan, saat raut semakin kecut, setitik tiang menggambar dalam pandangan. Masih terhuyun-huyun, olala.. angin membawa tegap. Suara tawa dan syukurpun gemuruh.

***

Lalu bagaimana dengan cerita diatas?

Bagaimana reliabilitas kebenaran dalam cerita tersebut? Sebagai awam mungkin kita akan cepat mengambil kesimpulan bahwasanya cerita diatas lebih cenderung dekat dengan mitos. Andai saja kita mau berhati-hati sejenak, ditengah gelombang tafsir makna yang sedang pasang itu, kita tetap akan melihat potensi benar dalam kisah.

Sebagai bahan rujukan kita dapat pula menggunakan kisah / legenda Aji Saka. Selain dianggap sebagai perumus konsep hurup Jawa Ha Na Ca Ra Ka, Aji Saka juga dianggap sebagai Raja I di Pulau Jawa. Kisah ini sudah turun temurun diakui bahkan sudah sejak dahulu. Pada dasar pahamnya, tokoh Aji Saka bagi sebagian orang dianggap fiktif. Seorang kawan malah mengatakan bahwa Aji Saka adalah rumusan manipulatif karena sejak awal ia mengetahui kisah itu, tidak ada keterangan barang sedikit yang mendukung gambarannya sebagai seorang anak kecil. Apakah kisah itu rekaan ataukah Aji Saka sesungguhnya pernah ada dan hidup di Negri ini, sulit dipastikan. Namun yang jelas dan tidak dapat digugat sebagai sebuah dasar kebenaran adalah; kenyataan bahwa ha-na-ca-ra-ka tetap digunakan (bahkan hingga saat ini!) sebagai abjad Jawa, sebagai simbol bahasa mereka6.

*

Bunyi / suara yang pada awal tulisan ini menjadi bahan kajian utama, menemukan konteksnya terutama ketika kita bicara mengenai tradisi lisan. Ia, dengan sebuah kehendak diturunkan terus hingga melampaui jaman berganti. Seperti telah disebut, bunyi / suara kemudian menjadi sebuah pernyataan sikap. Dan tradisi lisan dapat menjadi satu fenomena menarik yang dapat kita kaji, diluar paradigma lain yang bersifat empirik. Kyai Jo Ganjur dan Aji Saka, kali ini menjadi bahan referensi awal untuk memahami bagaimana bunyi / suara dapat menjadi media budaya dan tidak semata-mata hanya dipandang sebagai mitos tanpa guna. Atau seperti kata Gunawan Moehamad dan Tony Prabowo: Mengembalikan kata pada bunyi.

C.C. Berg, seorang sejarahwan Belanda pernah menolak setiap informasi yang disampaikan babad (Al Qurtuby, 2003:95) sebab paparan yang ada didalamnya dianggap penuh mitos. Tetapi pada dasarnya mitos juga berguna sebagai bahan pembacaan. Al Qurtuby (2003:98) menyebut mitos berguna untuk melihat kembali asal-muasal kehidupan, dasar kebudayaan, dan tingkatan terdalam pikiran manusia. Mitos, katanya lagi, berurusan dengan makna. Mitos dalam suatu masyarakat memberi manusia konteks yang membuat kehidupan rutin mereka masuk akal. Mitos mengarahkan perhatian mereka pada yang abadi dan yang universal.

Barthes (dalam Fiske, 2004: 183) mengatakan mitos berbasis kelas: maknanya dikonstruksi oleh dan untuk kelas dominan secara sosial, namun makna disana seolah-olah adalah suatu yang alami. Sementara Levi-Strauss mengatakan mitos sebagai cara menghadapi kecemasan dan masalah yang dihadapi bersama oleh seluruh masyarakat7.

Meski kedua pendapat diatas berbeda namun gambaran diatas setidaknya membawa kita untuk memahami bagaimana rangka dan cara kerja budaya dan sistem sosial. Terutama untuk melihat bagaimana tradisi lisan memiliki kecenderungan untuk berubah atau bergerak menjadi mitos. Hal itu malahan membuat kita satu langkah lebih maju dalam memetakan perkembangan kebudayaan manusia. Tema ini terutama diperkokoh dengan apa yang dikatakan Foucault berkenaan dengan genealogi dan arkeologi pengetahuan.

Bagi Foucault sejarah perkembangan peradaban manusia, terutama selalu dilihat dari struktur wacana dominan yang berhasil membuat kultus baru dalam masyarakat. Konsep pengetahuan yang ada telah jalin menjalin dengan konsep kekuasaan yang akhirnya bermuara pada lahirnya wacana dominan. Keadaan tersebut membuat catatan sejarah tidak pernah dapat merangkum kenyataan yang sesungguhnya. Didalamnya akan selalu ada bias terutama akibat sistem keberpihakan dari si pencatat dan struktur hegemoni yang telah menjadi rangkaian memori kolektif baru dan justru dipercaya umum. Kebenaran dalam tingkatan ini menjadi hal yang patut dipertanyakan secara mendasar. Misalkan bagaimanakah sesungguhnya kenyataan dan struktur eksternal (baca hegemoni wacana dominan) dalam hal ini dapat menghasilkan sebuah pemahaman baru dan dipercaya oleh umum. Untuk mengeliminir hegemoni tersebut, Foucault menawarkan konsep sub altern8 lewat genealoginya.

Genealogi terutama berusaha memberi kesempatan kepada sejarah-sejarah pinggiran atau catatan terbuang agar memperoleh tempat yang layak. Bagi Foucault, kebenaran akan menjadi proses dialektika yang menarik ketika sub altern dapat hadir kepermukaan. Dengan demikian peran yang dimainkan keduanya dapat terus saling melengkapi kenyataan yang ada. Pernyataan Foucault itu tentu sangat relevan terutama jika kita bicara dalam konteks Indonesia.

*

Sejarah perkembangan budaya termasuk kekuasaan didalamnya cenderung bergerak dalam pola yang hampir sama, yakni mengelola makna, memanfaatkan mitos dan mengendalikan ingatan dalam memori kolektif yang ada.


Karna kecenderungannya pengelolaan makna tersebut, kisah-kisah formal yang dihasilkan dari produk kekuasan selalu memiliki bias ideologi. Akibatnya, kebenaran dalam fenomena sosial selalu bersifat bertingkat. Pada titik inilah tradisi lisan bergerak menjadi oposan yang berguna untuk mengimbangi sekian catatan formal yang telah dilegalisir menjadi sejarah kebenaran. Akibatnya, diluar catatan sejarah yang tercatat, berkembang pula cerita rakyat atau folkore9 yang juga diyakini nilai, makna dan kebenarannya dalam masyarakat10.

Oral history is an account of something passed down by word of mouth from one generation to another. Oral history is considered by some historians to be an unreliable source for the study of history. However, oral history is a valid means for preserving and transmitting history. Experience within literate cultures indicates that each time anyone reconstructs a memory, there are changes in the memory, but the core of the story is usually retained. Over time, however, minor changes can accumulate until the story becomes unrecognizable.
-- http://encyclopedia.laborlawtalk.com/Oral_tradition

Oral history is a history built around people. It thrusts life into history itself and widens its scope. It allows heroes not just from the leaders, but from the unknown majority of the people. It brings history into, and out of, the community. It helps the less privileged, and especially the old, towards dignity and self-confidence. It makes for contact and thence understanding between social classes and between generations… oral history offers a challenge to the accepted myths of history, to the authoritarian judgment inherent in its tradition. It provides a means of a radical transformation of the social meaning of history.
in The Voice of the Past, by Paul Thompson

Dan, reliabilitas11 dalam kerangka ini menempatkan kebenaran sebagai sebuah produk jaman yang kadang bahkan- bisa berdiri diluar penilaian empirik positivisme. Bersanding dengan validitas, pada titik ini kita seakan-akan diberi kesempatan untuk dapat mencoba memahami 'yang lain' dari 'aku' atau 'ia' yang cenderung selalu lebih dominan, dengan pola atau alat ukur yang (juga) tetap dapat dipertanggungjawabkan secara sosial12.

Dan justru ketika kecenderungan untuk menempatkan 'yang lain' telah dilahirkan, kita malahan akan dapat melihat perannya sebagai penjembatan, sekaligus sebagai salah satu mata rantai (kita) untuk membaca dan memahami konteks sejarah yang berjalan. Ia dapat menjadi bunyi / suara yang bertahan ditengah jaman dan menjadi pendulum memori kita.

K e m a n a b u n y i p e r g i ?

Adalah sama seperti kita mempertanyakan pasca kematian. Apakah jagad, kebenaran serta manusia sebagai mahluk penutur akan kembali menitis dalam abjad yang tersusun dalam ingatan? Mungkin, kadangkala kita harus mempercayai suatu hal yang tidak dapat kita percayai, termasuk kesempatan dan kebetulan yang terikat dalam buntal kehidupan…

Sebelum mengakhiri tulisan ini, sebuah artikel DR. Leo Kleden, SVD13 menarik untuk dijadikan refleksi “Kebetulan dalam majalah Horison No. 12 (Des 1991) saya membaca sebaris puisi Sapardi Djoko Damono:

dalam setiap kata yang kau baca selalu ada
huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukannya
di sel-sela kenangan penuh ilalang.

Bila kita, sejumlah cendekiawan hari ini, kembali ke kampung halaman (dalam artian kultural), apakah yang akan kita temukan lagi? Sebuah aksara budaya yang hilang `di sela-sela kenangan penuh ilalang`? sebelum semuanya terlambat, sanggupkah kita menemukannya kembali?”

Pawon Pot, Lor Djogja, 2005
Seringkali kita merasa congkak.
Dan adalah hasilnya: sebuah keadilan yang terlalu dipaksakan'

REFERENSI

Al Qurtuby, Sumanto (2003), Arus Cina-Islam-Jawa : Bongkar Sejarah atas Peranan
Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI ,
Yogyakarta : Inspeal Ahimsakarya press.

Borges, Jorge Luis (1999), Labirin Impian (terjemahan), Yogyakarta : LKiS

Danandjaja, James (2002), Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain,
Jakarta, Grafiti.

Fiske, John (2004), Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif (terjemahan), Yogyakarta : Jalasutra.

Kleden, Leo (Des 1993), Bahasa Sebagai Struktur, Wacana, dan Kondisi Eksistensial :
Menggali Tradisi Lisan, Ende-Flores: Pustaka Misionalia Candraditya, Seri II/1.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ed), (1995), Metode Penelitian Survey,
Jakarta, LP3ES.

CATATAN

Cerita diatas diambil dari Kisah Pada Gelombang: sebuah catatan tentang arus kehidupan (diolah dari tradisi lisan kisah pembentukan wilayah Ganjuran: dari berbagai sumber dan versi)

CATATAN AKHIR

1 Bunyi / suara. Definisi kedua item tersebut seperti 'hampir disamakan'. Terlebih dalam tulisan ini konteks bunyi kemudian selalu dilekatkan dengan suara (bunyi / suara). Dasar pemahaman itu adalah, bahwa bunyi maupun suara, bagi penulis selalu berelasi dengan konsep pemaknaan. Konsep pemaknaan ini lahir sebagai dasar peran dan fungsi f i l s a f a t b a h a s a dalam kehidupan manusia. Bedanya adalah bunyi menunjuk sesuatu (atau kita sebuat saja subjek material) yang tidak (begitu) dikenal / berjarak (dengan si pembicara) sedang suara cenderung menunjuk subjek material yang 'dekat', 'dikenal' atau secara psikologis memiliki kedekatan dengan pembicara. Semacam: konsep mengada, lewat suara ia menjadi bunyi. Lebih jelas lihat kamus besar atau sosiolinguistik.

2 Sebagai perumpamaan adalah konsep penguapan air. Air secara material, naik dan kemudian menjadi awan. Ia kembali menjadi air lewat hujan. Lingkar dialektika alam ini menjadi peneguh bahwasanya bunyi / suara memiliki sifat yang sama. Contoh lain adalah perhitungan jarak cahaya dan bunyi pada kasus petir. Hal itu menunjukkan udara menjadi medium penghantar bunyi sepersekian setelah cahaya.

Dengan pola demikian ada proses sebab-akibat yang berulang pada bunyi / suara. Asumsi ini dibicarakan untuk menjawab apakah bunyi / suara memiliki kemungkinan menggugat setelah ia dilepaskan dari ruang dan waktu (kekinian). Mudahnya, bayangkan suara-suara korban kekerasan: 65, Calabai dari komunitas Bissu, Desa Galung, Ulaweng Bone, Sulawesi Selatan dan berbagai kelompok lainnya. Kini setelah waktu bergulir, 'suara-suara' mereka seakan datang bagai bah 'membawa arus balik' menuturkan sekian fenomena mereka, yang mungkin 'pernah tak kita pahami'.

Pernyataan ini sesungguhnya hanya berperan mengingatkan kita, bahwa apa yang kita ucapkan / katakan, suatu hari kelak akan datang meminta pertanggungjawaban kita. Tidak heran bila ada seseorang yang sangat berhati-hati pada diksi, terutama bagi mereka yang paham akar kata. Dan yang demikian sama sekali bukan perkara esoteris semata. Bunyi / suara sebagai mahluk sepadan dengan peribahasa 'lidah bercabang seperti ular' juga 'mulutmu adalah harimaumu'.Atau seperti judul dalam sebuah cover buku: Kata adalah Senjata (!)

3 Untuk jelasnya sedikit petikan dari cerpen 'Tlon, Uqbar, Orbis Tertius' milik Borges, “Pada hari Selasa, X melewati sebuah jalan lengang dan kehilangan sembilan keeping koin tembaga. Hari Kamis, Y menemukan di jalan itu empat koin, agak berkarat akibat hujan hari Rabu. Hari Jumat, Z menemukan tiga koin di jalan tadi. Jumat pagi, X menemukan koin di koridor rumahnya. [Sang penyebal mencoba melakukan deduksi, dari cerita ini, tentang realitas yakni kontinyuitas sembilan koin yang ditemukan kembali itu.] Sungguh muskil [tandasnya] membayangkan empat dari sembilan koin tersebut tidak eksis antara Selasa dan Kamis, tiga koin antara Selasa dan Jumat, dua koin antara Selasa dan Jumat pagi. Adalah logis berpikir bahwa kesemuanya eksis setidaknya secara rahasia, tersembunyi dari pemahaman manusia pada tiap saat dari tiga rentang waktu tersebut”.

Untuk perkara ini seorang kawan mengatakan bahwa mengamini keterbatasan adalah kesalahan. Tapi kami menyadari bahwa keterbatasan adalah bagian dari manusia yang kadang tidak bisa ditolak. Persoalan mendasar yang bisa digagas justru lebih dari itu, yakni bagaimana mengolah potensi yang ada untuk menjawab atau membuka kunci-kunci pengetahuan demi membebaskan diri dari keterbatasan dan bukan memperkarakan batas keterbatasan manusia.

4 Tapi tak lama saya langsung meralat, bahwasanya ini tidak terjadi melulu pada bunyi, bunyi / suara. Hal tersebut juga berlaku pada bentuk penampakan lainnya: gerak, gerak tubuh, perilaku, (yang memiliki sejarah kelampauan) dan akhirnya hal tersebut berlaku ketika kita bicara tentang sebuah karya, apapun tampilan materialnya.

5 Benar dan salah selalu menjadi polemik Hal ini terjadi berkat nilai politis yang dikandung tiap perkara. Sementara baik dan buruk cenderung menegaskan hal-hal dengan sifat yang sangat mendasar. Misal mencuri, sudah barang pasti adalah perilaku yang buruk tetapi bukan tak mungkin ia menjadi 'benar' karena pertimbangan (argumen) lain yang melandasinya: mencuri karena faktor ekonomi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, dsb, dsb. Selain itu kita juga akan mendengar ragam versi dari, misalkan saja, babad. Tiap babad dianggap mewakili kepentingan tertentu. Dan karna penulis (pujangga) pada saat itu bekerja (baca: mengabdi) pada raja, maka ia menghasilkan tulisan 'sesuai pesanan / kehendak' raja.

'Atas nama kebenaran' aksi tandingan lahir dari kaum oposan. Kelompok ini demi 'meneguhkan kepentingannya', juga mengimbangi karya-karya pesanan itu. Salah satu yang memungkinkan adalah melalui penuturan. Alhasil, setelah beberapa waktu kita hanya akan disuguhi aksi saling tuding dari masing-masing kelompok kepentingan itu (ingat kisah kematian Rongowarsito, kontroversi Syeh Siti Jenar, Cabolek, versi masuknya Islam ke Nusantara, Kisah Benua Atlantis, Segitiga Bermuda juga Sejarah Gereja Khatolik). Bersyukurlah bahwa dalam fenomena 'lisan' tersebut kadangkala masih terselip pesan moral, sosial yang dapat digunakan.

6 Dalam artikel “KELAHIRAN HA-NA-CA-RA-KA” pada www. jawapalace.org, disebut “Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.

Secara tradisional beranggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkait erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar (Kats 1939) Lajang Hanatjaraka (Dharmabrata 1949) dan Manikmaya (Panambangan 1981). (...)

Konsepsi secara Ilmiah. Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. ... Dalam sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa menunjukkan penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi (Casparis, 1975 : 29) jauh sesudah bahasa Jawa yang tertua digunakan secara lisan. Setelah ditemukan beberapa prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil deskripsi yang menggembirakan (lihat Molen 1985 : 4). Namun hingga kini masih sedikit jumlah karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis tentang paleografi Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles (1871) Stuart (1863) dan Keyzer (1863).”

7 Perbedaan ini terutama karena pokok kajian Barthes ditujukan untuk mengkaji masyarakat kapitalis akhir abad ke-20 sementara Levi-Strauss lebih berkonsentrasi pada mitos pada masyarakat kesukuan. Lebih lengkap tentang perbedaan ini lihat John Fiske, Cultural And Communication Studies, Jalasutra, 2004.

8 Alternity, sebuah domain relasi dominan dalam prosesi pengetahuan antrosentris, di mana “diri” merumuskan definisinyakeber“Ada”annyadan konteks relasinya dengan “Yang Lain” (atau altern). Sub-Altern merupakan pengembangan akan relasi dominan dalam wilayah domestik sebuah bangsa, khususnya bangsa yang terjajah dan mempelajari pengetahuan dari rasionalisasi sejarah ke-Diri-an Barat. Ini menciptakan tingkat-tingkat kelas yang saling berkuasa dan membentuk wilayah ideologi. Tentang sub altern, lihat Ania Loomba, Kolonialisme / Pascakolonialisme, Bentang, 2000.

9 encyclopedia.laborlawtalk.com/Folklore menyebut folklore sebagai “is the ethnographic concept of the tales, legends, or superstitions current among a particular ethnic population, a part of the oral history of a particular culture.” Lebih lengkap lihat sejarah folklore dalam Danandjaja, James (2002), Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain, Jakarta, Grafiti.

10 Dengan memanfaatkan peran “pewaris aktif” (active bearers) kedudukan tradisi lisan dapat bertambah kuat. Pewaris aktif, menurut Danandjaja adalah orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang satu atau lebih bentuk tradisi lisan. Di samping menikmatinya, seorang pewaris aktif mengamalkan serta menyebarluaskannya kepada masyarakat luas.

11 Reliabilitas dalam definisi Djamaludin Ancok disebut sebagai “istilah yang digunakan untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relative konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih”. Lebih lengkap dan tentang perbedaannya dengan validitas, lihat Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ed), (1995), Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES.

12 Kalimat “…mencoba memahami 'yang lain' dari 'aku' atau 'ia' yang cenderung selalu lebih dominan” digunakan penulis untuk menegaskan keberadaan bagi sesuatu yang biasanya memiliki paham yang berbeda dari konsep yang selama ini diakui dan diamini oleh 'aku' sebagai pribadi, oleh 'ia' yang
berada dalam payung kultus (hegemoni budaya), maupun oleh 'ia' yang berada dalam posisi ideologi superior.

Konsep ini sama sekali tidak berkeinginan meniadakan atau menyingkirkan validitas yang kadang digunakan (baca: diyakini) sebagai bahan tolak ukur perhitungan, tetapi lebih pada sekedar mengingatkan bahwa reliabilitas juga memiliki 'gejala' atau kecenderungan benar, sebagai dasar asumsi perhitungan terlebih bila ia ditunjang dengan kualitas argumen yang 'cukup'. Kualitas 'cukup' tersebut dapat diperhitungkan dari seberapa berani kita menguji dan terus mengkritisi pengetahuan yang kadang dalam perjalanannya seperti mengajak kita memasuki 'black hole' - lubang hitam kehidupan dengan instrument yang memadai.

13 Lebih lengkap baca DR. Leo Kleden, SVD “Bahasa Sebagai Struktur, Wacana, dan Kondisi Eksistensial” dalam Menggali Tradisi Lisan, Pustaka Misionalia Candraditya, Seri II/1, 1993, Ende-Flores.

Tidak ada komentar: